47. Aku Punya Bala Bantuan

151 17 0
                                    

Pesan singkat masuk dan membuat ku murka. Teriakan ku memanggil Suga membuatnya tergopoh masuk kamar. Wajahnya melongo bingung melihat muka ku merah menahan marah.

"Mwoya?"

"Jangan jelaskan apapun. Berani kau menjelaskan, ku usir kau dari sini!" Hardik ku.

Dia mengambil ponsel dari tangan ku. Pesan singkat dari nomor lain dibacanya.

"Tanggal pernikahan kami sudah ditentukan."

Foto pertemuan kedua keluarga. Ditempat yang sama seperti tadi sore. Jantung ku berdegup kencang, kepalaku pening. Aku limbung.

Tak ada siapapun disamping ku saat ini. Jam dinding di atas pintu masuk menunjuk pukul 11 malam. Bau ini menjelaskan tempat keberadaan ku. Klinik, aku pasti pingsan dan pria itu membawaku ke klinik.

Ku coba untuk duduk, pening masih sedikit terasa. Namun nyeri di pergelangan tangan membuatku meringis. Infus terpasang untuk menopang nutrisi ku.

Terdengar sayup percakapan mendekati ruangan ku. Suara yang membuatku naik pitam lagi.

"Baik dok, terima kasih."

Pintu terbuka setelah sebuah langkah kaki menjauh. Suga melihat ku duduk menatapnya nyalang. Wajahnya kuyu, terlihat lelah dan putus asa. Sepertinya dia tau jika aku tak butuh penjelasannya. Makanya dia memilih duduk tak bersuara.

Matanya terpejam seiring tangannya memeluk dada. Punggungnya bersandar mencari nyaman. Kelakuannya itu malah membuat ku makin kesal. Ku punggungi dia sekalian!

Aku bangun saat matahari menyilaukan ku. Tubuhku benar-benar terasa letih. Makanan tersaji diatas meja geser yang terletak diatas kaki ku. Nafsu makan ku hilang. Aku sendirian lagi.

Dering ponsel ku mengagetkan ku. Ponsel yang sejak semalam tak ku hiraukan. Nama Yura disana.

"Boram-aa, tv! Nyalakan tv SEKARANG!"  Teriaknya diujung panggilan setelahnya terputus.

Penyiar sedang menyiarkan berita tentang Suga. Foto-foto pertemuan keluarga dengan samaran nama calon istri Suga terpampang jelas. Aku sendiri tak tau lagi harus bagaimana. Semua kembali seperti sedia kala.

Keberuntungan itu mulai berangsur lenyap. "Gedung tinggi" itu mulai menjauh perlahan dari ku. Kenyamanan bersama dia, hanya singkat. Sesingkat pertemuan pertama kami. Jika waktu bisa kembali, aku memilih kembali saat kami bertemu di depan pintu flat lama ku.

Andai aku tak menolongnya, andai aku tak terbuai dengan pesonanya. Terlebih andai aku benar-benar tegas menolaknya, semua ini tak akan terjadi pada ku. Sakit dan kecewa ini tak akan pernah ku rasakan. Terlebih, janin ku tak akan pernah ada sehingga aku tak akan mengecewakannya.

Aku tak menyesal di bagian aku hamil. Hanya saja jika segalanya sudah tergambar jelas bagaimana masa depannya kelak. Lebih baik aku memilih untuk tidak hamil. Ku usap air mataku yang meleleh seiring pemberitaan yang masih ditayangkan.

"Hai baby, dengarkan ibu. Ibu tak akan menyerah dengan keadaan ini. Jika ibu harus kehilangan ayah mu, maka ibu akan jadi ibu sekaligus ayah bagi mu. Jangan takut! Kita berdua saling memiliki."

Secuil takut terselip dalam hatiku. Tapi aku adalah ibu. Tak ada ibu di dunia ini yang akan berbuat jahat pada anak kandungnya. Sekalipun, bagi orang lain kelihatannya seperti itu. Jujur, aku sendiri tak yakin dengan masa depan ku. Tapi aku yakin TUHAN tak pernah tidur.

"Hai, bumil?" Yura membuka pintu.

"Ibu!" Sora menerobos masuk membuat Yura terkekeh-kekeh.

"Ayahnya akan menyusul katanya." Melihat wajahku yang bengong menunggu kalimat selanjutnya dia tersenyum.

"Ayah kandungnya." Jawabnya sambil mengganti bunga kemarin dengan yang baru.

"Dia belum datang?" Bisik Yura. Aku menggeleng.

"Dari kemarin?" Aku mengangguk. Yura memutar bola matanya sebal.

"Ibu, infus ini pasti membuat ibu sakit." Ucapnya sambil mengelus jari-jari ku.

"Maaf membuat Sora khawatir tapi mengapa Sora tidak ke sekolah?"

Sora dan Yura saling menatap. Yura menggelengkan kepalanya.

"Karena libur. Inikah weekend."

Ku pejamkan mata sebentar menikmati malu yang muncul. Bahkan hari pun aku lupa, tolong jangan bertanya tanggal juga ya.

"Apakah adik ku baik-baik saja? Mengapa ibu harus memakai infus?"

"Jangan khawatirkan adik mu. Dia sangat tenang didalam sana." Mata Sora hilang karena senyumannya.

"Boram, apa kau baik-baik saja?" Kali ini Mac dan Ichiro masuk. Ichiro membungkuk.

"Apa kalian semua tak bekerja?" Tanya ku kesal.

"Weekend ibu, artinya libur." Kembali Sora memberiku jawaban telak.

Sepertinya memang benar, amarah membuat masalah. Bahkan belum hitungan menit, aku sudah melakukan kesalahan yang sama dua kali. Mac dan yang lainnya menyuntikan senyum melihat ku cemberut.

"Apakah jika hamil akan jadi menyebalkan begitu ya?" Yura menatap Mac.

"Tidak! Megumi dulu malah sebaliknya. Dia manja dan posesif." Jawab Mac cepat membawa Sora tertunduk sedih.

"Aku rindu ibu ku."

Kami semua menoleh kearah Sora. Terlihat jelas pernyataannya tadi dari gesturnya.

"Sora-ya, bagaimana jika bibi Yura menemani mu jalan-jalan weekend?"

Sora enggan turun dari kursi yang dia duduki. Namun, uluran tangan Yura tetap disambutnya.

"Bagaimana jika eskrim? Mall? Mungkin juga paman Tae tidak sibuk sekarang. Tadi dia bilang bosan di dorm."

"Benarkah, bibi Yura? Aku boleh bertemu paman Tata?" Kesedihan Sora teralihkan.

Yura tersenyum sambil melambai kearah ku. Dia dan Sora keluar ruang rawat inap ku. Semua orang sangat peduli, tapi Suga? Entah apa yang dia lakukan, dengan siapa dan dimana. Aku rindu, tapi memintanya datang membuat ku akan terlihat mengemis bukan?

"Ichiro." Mac memerintahkan sesuatu pada bawahannya.

Ichiro mengeluarkan ponselnya kemudian menyerahkan pada ku. Sebuah Vidio diputar. Jantung ku berdegup kencang, air mataku tak terbendung. Ku cengkeram selimut yang menutupi setengah tubuh ku.

Sakit dan kecewa yang kurasakan berlipat ganda. Jalan yang ku pilih selama ini apakah sudah betul? Pertengkaran demi pertengkaran yang kami lalui apakah semuanya sepadan? Seluruh pelarian ku, seluruh usaha ku, segalanya yang terjadi pada kami.

Ku kembalikan ponsel Ichiro. Air mata ini tak mau berhenti menetes malah makin deras. Mac menatap ku tanpa kata. Ceritanya hampir sama dengan kisah ku. Dia pun sama, belum ada akhir dalam kisah yang dijalaninya.

"Tentukan sikap mu, jangan salah menggambil langkah. Aku tak ingin kau menyesal seperti ku. Penyesalan ku sudah sangat terlambat."

"Tapi aku...."

"Jangan jadi egois Boram. Tunjukkan jiwa besar mu. Tak cukupkah kau menemaninya selama ini? Seharusnya kau lebih tau siapa kekasih mu itu dari pada kami semua, bukan?"

Nasehat Mac terdengar seperti desakan. Membuat ku pening hanya dengan memikirkannya saja.

"Boram, pikirkan baik-baik!" Nada tegas itu muncul membuat ku keki.

Mr. Cold : Di Pacari ArtisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang