USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?
A spiritual story by
Dwinda Darapati.
.
.
.••••
Selamat Membaca 🤗
Double up nih😅***
"Katakan alasannya!"
Seulas senyuman terbit di bibir tipis yang sedikit coklat milik Fathan. Dia melangkah sedikit lebih dekat ke arah Cahaya. Tepat berjarak beberapa langkah dia berhenti kemudian senyuman yang tadinya ada lenyap seketika.
"Menolong sesama muslim adalah kewajiban, Cahaya. Dengan saya membantu kamu saya akan mendapatkan pahala atas kebaikan. Guru saya pernah berkata kalau ingin kebaikan menghampiri dirimu, maka lakukanlah kebaikan. Membantu kamu bukan karena keinginan saya, Cahaya. Namun karena takdir Allah yang menuntun saya bertemu denganmu, menjadikan kamu sebagai sarana saya untuk melakukan kebaikan agar mendapatkan pahala. Dan menjadikan saya sebagai penolong kamu."
Raut di wajah Cahaya semakin buruk, dia bahkan mundur satu langkah karena tidak suka dengan posisi sedekat ini dengan Fathan. "Ustadz mengatasnamakan Allah. Padahal ujung-ujungnya Aya merasa berutang budi pada ustadz!"
Fathan ikut mundur satu langkah. "Tidak perlu, Cahaya. Yang saya berikan semuanya ikhlas."
"Lalu gimana ustadz?" tanya Cahaya dengan pelan karena tidak tahu harus berkata apa lagi.
"Kita itu berasal dari Allah, melakukan semua ini karena Allah dan akan kembali pada Allah."
Perempuan bermata indah itu mengedipkan mata pelan, jawaban yang sama sekali tidak menyambung menurutnya.
"Saya izin pulang, assalamualaikum." Dan setelah itu Fathan masuk ke dalam mobil kemudian menyalakannya.
"Waalaikumussalam."
Cahaya masih berdiri disana, menunggu kepergian gurunya yang kadang menyebalkan kadang menyenangkan itu.
Saat ia hendak berbalik, mobil Fathan kembali dimatikan mesinnya. Lelaki itu turun dari mobil membawa sebuah papperbag bewarna merah muda. Berjalan dengan tergesa-gesa menghampiri Cahaya yang masih berada di depan rumahnya.
"Saya lupa, saya membawa ini tadi dan memang di niatkan untuk kamu. Ini ... terimalah," suruh Fathan sembari menyodorkan beda tersebut.
Tanpa sadar Cahaya menerima, melihat apa saja isi di dalamnya. Meski tidak membuka dengan langsung gadis itu dapat melihat ada beberapa gamis dan Al-Quran kecil di dalamnya.
"Bukan barang baru, tapi saya harap kamu memakainya dan bisa kamu gunakan," ujar Fathan mengetahui rasa penasaran Cahaya. "Disana juga ada Ciput, bisa kamu gunakan untuk sekolah. Juga ada jilbab putih sekolah yang panjang, kaos kaki dan semuanya. Lengkap," tambahnya.
"Ini ... punya siapa?" tanya Cahaya.
Kalau Fathan perempuan wajar dia memiliki peralatan dan pakaian itu, tapi tidak. Farhan adalah seorang laki-laki, bagaimana bisa?
"Punya adik saya, sengaja saya berikan pada kamu." Fathan memberikan senyuman getir, bola matanya tampak mengkilat seolah sedang menahan air mata.
"Kenapa ustadz beri sama Aya? Apa dia ga marah?" tanya Cahaya lagi.
"Adik saya meninggal beberapa tahun yang lalu. Kamu tahu peristiwa tsunami Banten? Adik saya salah satu korbannya. Dia berkunjung ke kota itu untuk mengikuti sebuah perlombaan. Namun sayang, sebuah takdir dan suratan sang ilahi menjemputnya saat itu juga." Fathan memberikan senyuman andalannya, menahan air mata yang sebentar lagi keluar dari pelupuk matanya.
Begitu pun dengan Cahaya yang sedari tadi mengigit bibir bawahnya mendengar cerita Fathan. Membayangkan bagaimana air besar dari laut itu menggulung dan menghancurkan daratan dalam satu kali kedipan. Betapa banyak nyawa orang yang terenggut dalam satu kali hempasan.
"Saya kehilangan adik saya membuat saya marah pada dunia, tapi untuk apa? Mencoba berdamai dengan takdir kemudian mendekatkan diri pada Allah. Alhamdulillah, atas rahmat-Nya saya bahagia. Adik saya pun pasti bahagia disana."
Perkataan Fathan menyadarkan Cahaya akan satu hal.
Cahaya menunduk malu, bukan hanya dirinya yang kehilangan dalam hidup. Bukan hanya dia yang merasa takdir tak memihaknya. Ada banyak orang di dunia ini yang bernasib lebih buruk dibandingkan dengan dirinya.
Diatas langit masih ada langit.
Kalimat itu ada benarnya. Seburuk apapun nasib seseorang masih ada orang yang lebih buruk dari pada dirinya. Begitupun sebaliknya, sehebat apapun seseorang masih ada orang lain yang lebih hebat.
"Itulah alasan kenapa saya meminta kamu mengikuti lomba itu, Cahaya. Saya ingin kamu menjadi bintang, kebanggaan semua orang."
"Itulah alasan saya kenapa selalu berbuat baik kepada kamu. Dan kenapa saya memperhatikan kamu seperti saya memperhatikan adik saya."
Cahaya mendongak menatap sang guru yang menunduk dengan air mata yang sudah keluar dari sudut matanya. "Kenapa harus Aya, Ustadz? Masih banyak orang lain!"
Fathan mengangkat kepala dan menatap sang murid. "Karena Saheena mirip dengan kamu, Cahaya. Matanya yang indah menggambar kepribadiannya yang tenang. Karena itu, Cahaya."
"Pada dasarnya kita sama-sama orang yang ditinggalkan. Kita mempunyai rasa sedih yang orang lain takkan pernah bisa mengerti seberapa sedihnya kita. Akan tetapi, jikalau menerima takdir dengan ikhlas lalu mendekatkan diri kepadanya Allah. InsyaaAllah, apapun yang terjadi akan terasa baik-baik saja."
"... karena semua yang terjadi di dunia ini sudah diatur oleh Allah baik itu daun yang gugur dari rantingnya."
Beberapa saat terdiam, Cahaya merenungi perkataan Fathan yang panjang lebar namun menyelipkan makna mendalam disana. Memberikan didikan secara tidak langsung pada Cahaya agar bisa merima takdir dengan ikhlas.
Gadis itu menghapus air matanya yang entah sejak kapan keluar disana. Dia menatap ustadz Fathan dengan tatapan senang---tidak seperti biasanya--- dan senyuman manis yang membuat kedua mata indah itu menyipit.
"Ustadz ... bisa ga kalau ga bikin baper? Aya baper nih!"
***
🧕: Uhm ... Udah liat tanda tanda anu belum?🤣
👧 : Tanda tanda apa Nda?
🧕 : Hayoloh apa?😅Jangan lupa vote yaaaak
Biar banyak yang baca kisah patah hati ini🤣🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅
Random"Ustadz, tunggu lima tahun lagi, ya. Cahaya Nayanika Lengkara akan datang melamar ustadz!"----Cahaya Nayanika Lengkara. "Saya menantikannya, Cahaya."----Elfathan Aarav Ramadhan. *** "Ustadz ... selamat berbahagia." "Maafkan saya, Cahaya." --------- ...