17. Rasa Tidak Sabar

1.1K 138 9
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU

A spritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.
Selama membaca

***

Hujan masih terus mengguyur ibukota dengan deras, air yang jatuh pada atap rumah menimbulkan suara bising yang memekakkan telinga. Berulang kali gadis bermata indah itu mengulang bacaannya akan tetapi sama sekali tidak masuk ke dalam otak.

Cahaya adalah tipikal pelajar yang menyukai ketenangan dalam belajar. Jika tidak, percuma karena semua itu tidak akan bisa disimpan di dalam otaknya. Padahal besok adalah penilaian harian Sosiologi yang merupakan analisa.

Rafiah membuka pintu kamar, dia mengantarkan segelas susu putih untuk cucu satu-satunya itu. Membawa dengan pelan, lalu duduk disampingnya.

"Udah hampir jam sembilan, belum tidur?" tanya Rafiah. Tidak biasanya Cahaya begini.

"Udah mau tidur, Nek. Tapi belum hafal," tutur Cahaya dengan tampang memelas. "Nenek bawa susu buat siapa?"

"Buat kamu, lah. Buat siapa lagi?" Rafiah terkekeh dibuatnya. Ada-ada saja Cahaya, kalau bukan untuknya mengapa dibawa kemari?

"Serius, Nek?" Mata indah itu berkedip pelan, senyuman khas miliknya terpancar dari wajah cantiknya.

Rafiah mengangguk pelan, namun terkejut dengan reaksi Cahaya yang tidak dia bayangkan. Yang wanita paruh baya itu bayangkan adalah ucapan terima kasih dan pelukan hangat, akan tetapi yang didapatkan adalah sebuah isakan kecil.

"Aya ... kenapa? Kamu ga suka?" tanya Rafiah.

"Pertama kalinya nenek nganter susu buat Aya, Aya merasa bunda kembali ada," jawab gadis itu bersamaan dengan air matanya yang jatuh membasahi pipi putihnya.

"Aya ...," panggil Rafiah. Segera dipeluknya cucu kesayangannya itu dan mengusap punggung Cahaya dengan pelan. Rafiah tahu, Cahaya pasti sangat merindukan kasih sayang seorang ibu, dia pasti merindukan momen-momen seperti itu.

"Makasih, Nek!" Dan sekarang Cahaya mengeratkan pelukannya pada Rafiah. Beruntung memiliki keluarga yang begitu menyayanginya. Beruntung menjadi cucu dari seorang Rafiah.

"Minum susunya, gih!" suruh Rafiah.

"I-iya," jawab Cahaya. Dia melepaskan pelukannya dan meneguk susu itu dengan cepat. "Enak!"

"Siapa dulu yang membuat," pancing Rafiah.

"Nenek gaul Aya, donk!"

Rafiah tertawa. "Kamu ada-ada aja," katanya menahan tawa. "Ya sudah, tidur. Kalau belum hafal, besok pagi aja, jam tiga subuh. Nenek bangunin!"

"Iya, Nek. Aya juga udah lelah," katanya dengan jujur.

"Nenek keluar dulu, ya. Tidur yang nyenyak, jangan begadang main hape!"

"Siap Nek!" Cahaya menjawab dengan cepat sembari memberikan hormat pada Rafiah.

"Selamat malam, Aya."

"Malam, Nek!"

***

Gadis itu sudah bersiap untuk tidur, akan tetapi ponsel yang terletak disamping membuat Cahaya ingin menyentuh dan menyampaikan sebuah amanah yang telah diberikan padanya.

Sebenarnya mata Cahaya sudah sangat mengantuk, namun bayangan akan berbalas pesan dengan Fathan yang terasa menyenangkan membuatnya melawan rasa kantuknya.

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang