24. Ustadz Haruskah Aku Melamarmu

1.4K 134 5
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.

.

Selamat membaca 😁

***

Suasana siang seusai shalat Zuhur, di waktu istirahat sudah menjadi kebiasaan bagi Cahaya untuk duduk di bangku taman belakang sambil membaca. Entah itu Al Qur'an ataupun buku novel dan pelajaran.

Menikmati semilir angin yang berhembus ditengah udara panas, sebuah botol sosro dingin disodorkan ke arahnya.

"Buat yang sedang rajin menghafal ayat ayat Allah." Fathan datang kesana dan ikut duduk di seberang Cahaya.

"Buat Aya, Ustadz?" tanya gadis itu menunjuk dirinya.

"Iya ... buat hamba Allah yang sedang menghafal ayat-ayatNya," jawab Fathan dengan senyuman manis andalannya.

"Terima kasih, Ustadz. Semoga setiap air yang mengalir ke dalam tubuh Aya, menjadi pahala untuk ustadz. Karena ustadz memberikan minuman bagi orang yang sedang haus." Diakhiri dengan kikikan kecil.

Cahaya membuka tutup botol tersebut lalu dengan cepat meminumnya. Kering di tenggorokannya langsung segar mendapatkan air segar tersebut.

Dia berucap syukur dalam hati, bersyukur pada Allah karena telah menghadirkan Fathan dalam hidupnya. Bersyukur karena dengan hadirnya lelaki itu bisa mengubah banyak tenang dirinya. Dan bersyukur, ketika semua hal tentang Cahaya diperhatikannya.

"Ayah kamu ga pulang?" tanya Fathan saat kehingan melanda diantara mereka.

Cahaya meletakkan botol tersebut di sampingnya. "Belum, Stadz. Ayah di kontrak supaya ga balik-balik."

"Berarti pada hari kelulusan, ayah kamu ga ikut menyaksikan?" tanya Fathan.

Gadis itu menaikkan bahunya ke atas. "Ya gitu, deh, Stadz!" Dia tersenyum lagi. "Tapi ga pa-pa, yang ayah lakuin adalah untuk Aya. Jadi Aya harus kuat tanpa ayah disini."

"Kamu hebat, Aya," sahut Fathan setelahnya.

"Hari ini bertepatan dengan 26 Oktober, untuk pertama kalinya ustadz manggil dengan sebutan 'Aya' keren!" Cahaya bersorak gembira.

"Selama ini ustadz selalu manggil Cahaya, cahaya cahaya. Kadang Aya juga muak, karena semua orang disini manggil Aya!" tambahnya dengan suara lantang.

"Saya memanggil kamu berbeda, Cahaya," jawab Fathan.

"Yah ... tadi udah Aya, kenapa Cahaya lagi sih, Stadz?" rengek Cahaya memanyunkan bibirnya kedepan.

"Oh iya, selamat buat kamu. Kamu lolos di Aceh, ya?" tanya Fathan.

Cahaya mengangguk semangat. "Alhamdulillah ustadz! Dan Alhamdulillah-nya Aya dapat beasiswa disana. Ustadz tahu kenapa?" tanya Cahaya.

Dan Fathan menatap Cahaya, menantikan kalimat yang akan dia sampaikan selanjutnya.

"Karena hafalan Aya, Stadz! Makasih banyak ustadz udah nyuruh Aya untuk murajaah lagi. Hafalan Aya semakin lengket dan lancar."

Fathan tersebut bahagia. Inilah tujuan yang sebenarnya ingin ia capai. "Alhamdulillah, saya senang mendengarnya."

"Ustadz udah lakuin banyak hal untuk Aya, makasih banyak, ya, Stadz," katanya sembari memegang ujung botol minuman tadi dan memainkannya.

"Kebaikan ini berasal dari Allah. Bersyukurlah kepada Allah, Cahaya."

"Ustadz ....," panggil Cahaya lagi.

"Iya?"

"Ustadz ... ustadz itu tampan, pintar, tapi kenapa ustadz belum menikah?" tanya Cahaya sembari menatap mata Fathan yang sama sekali tidak menatap balik pada matanya. Mata indahnya terus berkedip mengikuti arah pandangan Fathan.

"Belum waktunya, Cahaya," jawab Fathan dengan singkat. Dia mengalihkan pandangannya dari Cahaya karena merasa malu.

"Apa ustadz menunggu Aya tamat dulu? Apa karena menunggu Aya ustadz belum menikah?" Cahaya kembali bertanya, sebegitu penasaran dengan rencana Fathan ke depannya.

"Mungkin begitu, Cahaya." Dan lagi Fathan hanya memberikan jawaban singkat namun penuh makna. Cahaya yang mendengarnya langsung mengulum senyuman karena jawaban yang diberikannya.

"Ustadz, haruskah aku melamarmu?"

Fathan menoleh pada Cahaya. "Tidak perlu. Karena hakikatnya bukan perempuan yang melamar laki-laki, Cahaya. Tapi laki-laki lah yang akan melamar."

Cahaya tersenyum kaku, kalimat barusan membuat pipinya memerah.

Itu artinya ustadz Fathan akan melamar Aya?

Tapi gadis itu tidak ingin terlalu percaya diri, bisa jadi Cahaya bukanlah orang yang ingin dilamarnya. Melainkan ada gadis lain yang sudah mengisi hatinya terlebih dahulu.

"Jika Allah takdir kan, jika kita berjodoh. Maka lamaran saya akan datang kepadamu, Cahaya."

***

Pertahanan Gibran runtuh setelah mendengar semuanya. Dua orang yang dia mata-matai sepertinya saling menyukai. Hanya perihal waktu, perihal kemampuan yang membuat mereka tidak bersama.

Cahaya tidak mengungkapkan perasaannya, Fathan pun begitu. Namun Gibran bisa membaca dari raut wajah dan pandangan mereka.

Keduanya saling menyukai.

"Haruskan ini dilanjutkan? Atau gue harus ikhlas jika suatu saat Aya bersama ustadz Fathan?" tanya Gibran pada dirinya sendiri.

"Engga! Jalan takdirnya kembali sama. Jika Allah mengizinkan, jika gue dan Aya berjodoh. Maka kita akan bersama."

Gibran membulatkan tekadnya. "Gue ga akan menyerah!"

***

Alhamdulillah update 📈

Jangan lupa bintangnya yaaa
Oh iya, kalau ada typo bantu koreksi😁

Follow Instagram : @bukjorong_

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang