22. Kenapa Bukan Aku?

1.3K 136 8
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.

Selamat membaca

Tandai typo, ya.

***

"Tidak bisa, Aya!" Gibran merasakan dedak di dadanya, ngilu sampai ke ulu hati. Pemikiran bahwa Cahaya jatuh cinta pada Fathan membuat jiwanya berkecamuk, kepalanya pun bahkan terasa pusing.

Kenapa aku begini.

"Iya?" tanya Cahaya dengan lembut. Sama seperti biasa, memperlakukan Gibran sebagai seorang teman. Tetap memberikan senyuman khas miliknya yang membuat kedua mata indah itu menyipit.

"Kenapa, Gibran?" tanya Fathan. Lelaki itu pun juga mengumbar senyuman.  Seolah meniru apa saja yang dilakukan Cahaya.

"Engga, ga ada." Buru-buru Gibran menyahut untuk mengelakkan semua pandangan dari arahnya. Entah mengapa dia merasa risih.

Semua orang pun kembali mengalihkan fokus pada Cahaya. Kembali mendengarkan cerita gadis itu yang ia ceritakan dengan suka rela. Tidak ada paksaan.

"Jadi sekarang gimana, Ay? Lo udah ga suka sama ustadz Zul, sekarang siapa?" tanya Anisa.

Cahaya tertawa pelan. "Rahasia." Dan semuanya tertawa.

***

Ketika semuanya tengah tertidur, Cahaya masih bangun. Duduk di depan tenda memandang langit malam yang indah. Udara diluar cukup dingin dibandingkan dengan di dalam tenda. Maka gadis itu mengencangkan jaket dan menyimpan kedua tangan di dalam sakunya.

"Belum tidur, Cahaya?" Fathan tiba-tiba datang dari arah belakang. Lelaki itu duduk di depan api unggun yang sudah tak sebesar yang tadi.

Menggosok kedua tangannya untuk dihangatkan kemudian menyimpan dibawah ketiak. Trik lain yang bisa dilakukan untuk mengurasi dingin.

"Belum, Stadz." Cahaya menjawab dengan jujur.

"Kenapa? Semua orang sudah tidur," kata Fathan menegur. "Besok kita bakalan hiking, kamu kuat kalau ga tidur?"

Cahaya memperbaiki posisi duduknya. Dia menggeser ke belakang. "Ustadz sendiri, kenapa belum tidur?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah bertanya balik. Terkadang memang harus seperti ini agar privasi kita tak diketahui oleh orang lain.

"Saya ada panggilan alam tadinya." Fathan tertawa. "Saya selesaikan dulu tadi," tambahnya.

Cahaya menahan tawanya. Pipinya memerah kala itu juga. Entah karena udara yang dingin atau karena ucapan Fathan barusan.

"Kalau mau ketawa, ketawa saja, Cahaya."

"Hhmmm..." Sedikit suara tawa Cahaya masih keluar meski dia berusaha menahannya.

"Tertawa saja, Cahaya. Saya mau kok, jadi bahan tawaan kamu."

"Hahahaha...."

Akhirnya gadis itu melepas tawanya. Padahal tidak begitu lucu dengan panggilan alam, tapi gadis itu terlalu receh dan langsung tertawa.

"Saya cuma ngomong panggilan alam, kamu malah ketawa," rutuk Fathan menggelengkan kepalanya tidak mengerti.

Cahaya tersenyum. Bukan karena ucapan ataupun lelucon yang Fathan lakukan dia tertawa. Gadis itu tertawa karena dengan melihat Fathan dia bahagia dan dia tertawa.

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang