38. Level Mencintai

1.9K 164 29
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

A spiritual story by
Dwinda Darapati


.
.
.
.
.
.

Cek typo😁
Selamat Membaca 💜

***

Suasana gersang diiringi dengan kicauan burung Pipit di pagi hari juga beberapa pepohonan yang tumbuh disana menghalangi sinar matahari yang menembus bumi. Melindungi seorang gadis cantik yang tengah membacakan surat Yasin di depan makam.

"Shadaqallahul 'Azhiim." Dia mengakhiri bacaan dan segera menutup Al Qur'an. Lalu menyimpannya di dalam tas yang disandangnya.

Seulas senyum terbit ketika tamannya menyentuh nama yang terpatri pada sebuah nisan. “Rahma” nama sang ibu yang telah melahirkannya ke dunia.

"Udah hampir sepuluh tahun, nih, Bun. Anak bunda udah dewasa, udah sarjana juga." Dia berkata dengan senyuman lebar. Seolah memberitahu kabar baik pada seseorang yang siap mendengarkannya.

"Bunda ... doain Aya terus, ya. Aya mau lanjut ambil S2 dan kalau beruntung mau S3 sekalian. Aya ingin jadi perempuan yang bisa mandiri, yang ga ngarepin orang lain. Pokoknya bunda aminin terus doa yang Aya panjatkan, InsyaaAllah semuanya terwujud. Aya udah siap takziah, ini juga udah bersih. Aya dan Ayah izin balik, ya bunda. Assalamualaikum." Dia mengakhiri perkataannya dengan mengusap nama yang terpampang disnaa.

Sedang Rudi yang mendengar ucapan putrinya tadi hanya bisa mengulum senyum dan menatap nisan sang istri. "Dia baru anak kamu," ucapnya.

Cahaya dan Rudi menempuh perjalanan pulang. Pandan perkuburan yang cukup jauh dari rumah dan juga tidak terawat ini membuat mereka harus berhati-hati melintasi jalan ini. Tidak banyak orang yang dikuburkan ditempat ini, makanya jadi terlantar seperti ini.

"Aya ...!" panggil Rudi yang berjalan dibelakangnya.

Spontan saja Cahaya berhenti dan berbalik menoleh pada ayahnya. "Kita duduk disini dulu, yuk. Ayah capek," kata Rudi mengajak Cahaya duduk di bawaj pohon ceri yang buahnya sedang tumbuh bermekaran.

Cahaya menganggukkan kepala. "Ayo, Ayah!" Dia semangat dan memetik buah ceri yang didapat dijangkau dengan tangan.

Setelah puas mengambil beberapa buah ceri tersebut, Cahaya langsung ikut duduk disamping Rudi yang bersandar pada batang ceri.

"Ayah ambil!" Dia menyerahkan beberapa buah ceri pada tangan ayahnya. "Enak, Yah!"

Rudi tersenyum dia ikut memakan buah segar tersebut. Rasanya manis walau dari warna buah yang diambil belum masak. Masih hijau dan rada-rada memerah.

Cahaya menyandarkan kepanjangan di pundak Rudi. Sudah lama sekali rasanya tidak bermanja-manja pada sang ayah. Sudah lama sejak dia SMA dahulu.

Rudi mengusap kepala anaknya dengan sayang. Putri satu-satunya yang dia miliki, satu-satunya alasan mengapa Rudi semangat dalam bekerja.

"Kapan kita pergi ke Aceh untuk perayaan wisuda kamu?" tanya Rudi menghentikan tangannya karena merasa pegal.

"Seminggu lagi, Ayah. Jadwal perayaannya juga seminggu lebih tiga hari. Jadi pas kita sampai di Aceh, kita bisa main dulu beberapa hari sebelum acara dimulai." Cahaya menjawab sekaligus dengan rencana yang telah ia susun.

"Kamu sudah pesan tiketnya?"  tanya Rudi.

"Udah, Yah. Untuk Aya, ayah dan nenek. Katanya sih, Amel dan Audy mau ikut tapi belum pasti. Gibran katanya juga mau ikut," beritahu Cahaya.

"Ajak aja sahabat kamu biar ramai," usul Rudi. "Oh iya, ustadz Fathan ga diajak?" tanya Rudi yang sengaja memancing.

Dia sebenarnya tidak tahu apa permasalahan antara Cahaya dengan Fathan. Akan tetapi semenjak Cahaya sakit waktu itu membuat Rudi bertanya-tanya ada apa dengan anaknya. Dia pun menyelidikinya lewat Rafiah karena Rudi tahu, Cahaya selaku menceritakan semua hal pada neneknya itu.

Namun, Rudi ingin mendengar langsung dari anaknya.

"Dia orang yang Aya kagumi, Ayah." Begitulah Cahaya, dia tak bisa berbohong sedikitpun pada siapapun. "Dan sayangnya Aya melakukan kesalahan."

Rudi menoleh pada Cahaya, menghentikan pandangannya yang tadi sibuk melihat burung-burung terbang mencari makan. "Kesalahan apa?"

"Angan Aya terlalu tinggi, hingga akhirnya Aya sadar kalau berharap pada manusia itu menyakitkan." Suara Cahaya mulai serak, tak mampu ditahan tangisnya langsung jatuh ketika membahas tentang Fathan.

"Memang begitu, karena tempat berharap satu-satunya hanya Allah, Aya," kata Rudi. Dia menarik kepala Cahaya agar lebih leluasa bersandar di bahunya.

"Kenapa kamu mengaguminya?" tanya Rudi mewawancarai.

"Dia sempurna, Ayah." Cahaya membenarkan, sosok Fathan adalah sosok idaman yang ia dambakan. "Dan beruntungnya ustadzah Husna lah yang mendapatkannya."

"Kamu pernah tertawa karena dia?" tanya Rudi dan anaknya mengangguk pelan. "Kalau menangis?" tanya Rudi lagi dan tentunya mendapatkan anggukan dari Cahaya yang tetap pelan dan air mata yang sudah membasahi pipinya.

Entahlah, gadis ceria yang selalu tersenyum seperti Cahaya menjadi cengeng ketika membahas tentang lelaki itu.

"Jika seorang perempuan tertawa karena laki-laki, itu artinya dia menyukainya. Dan jika perempuan menangis karena laki-laki, itu artinya dia mencintainya. Aya ... kamu mencintainya?"

Kemeja Rudi sudah basah oleh air mata Cahaya. "Iya, Ayah. Tapi Aya sama sekali ga ingin memiliki, Aya berusaha ikhlas dengan apa yang semua terjadi."

Rudi mengangguk seolah paham dengan maksud anaknya. "Kamu mengikhlaskan dia kan? Dan kamu juga berpura-pura baik-baik saja ketika hati kamu sedang hancur-sehancurnya, 'kan?"

"Itu artinya levelnya sudah lebih dari sekedar mencintai," kata Rudi.

"Ayah ... apa yang harus Aya lakukan?" tanya Cahaya.

"Jalani hidup yang baru, karena bukan hanya Fathan lelaki yang ada di dunia ini."

***

Alhamdulillah update!
Jangan lupa bintang dan komennya yang bikin Nda Semangat 🥰

Next

Cahaya : Bahkan rasulullah, seorang yang sangat mulia di dunia ini tidak bisa berlaku adil pada istrinya.

Hayoloh, kenapa Aya bilang begitu?😂

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang