37. Luka dan Penyembuhnya

1.9K 164 28
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.
.

Double up nih
Selamat Membaca💜

***

Gibran datang ke rumah Cahaya bertujuan ingin menemui gadis itu. Akan tetapi karena gadis itu sedang pergi bersama ayahnya ke makam sang ibu. Gibran jadinya membantu Rafiah menjemur kerupuk ubi olahannya.

"Nek ... nenek tahu ga kalau Aya sama sekali ga marah sama ustadz Fathan. Bahkan dia belain terus," adu Gibran pada Rafiah.

"Marah kenapa?" tanya Rafiah sembari menyusun kerupuknya diatas sangga jemuran.

"Itu, lho, Nek! Aya kan di kasih harapan palsu!" seru Fathan mengingat Rafiah kembali, barangkali wanita tujuh puluh tahun itu lupa.

"Aya ga marah?" tanya Rafiah. "Bisa-bisanya!" omelnya. "Dia bahkan ga nangis."

"Aya ga nangis?" tanya Gibran.

"Iya! Tapi bohong kalau Aya ga nangis, karena nenek melihat matanya yang sembab dan hitam." Rafiah membayangkan wajah cucunya. "Dia menyembunyikan kesedihannya."

"Gibran kasihan sama Aya, Nek. Aya selalu menderita dalam urusan cinta. Andai aja Gibran bisa mengatur siapa yang disukai Aya, mungkin Aya ga akan kaya gini." Gibran berkata terus terang, tentang perasaannya.

Rafiah menoleh pada teman cucunya. Wajah tampan berkulit mulus dengan mata elang khas miliknya. Cahaya matahari menyinari wajahnya membuatnya tampak berkilau.

"Jika kamu bisa mengatur siapa yang akan Aya cintai, bisakah kamu membuat Aya bahagia kalau begitu?" tanya Rafiah.

Gibran menghentikan pekerjaannya. "Nek ..." Dia memanggil namun segera di potong dengan ucapan Rafiah.

"Kamu menyukainya Aya, kan?" tembak Rafiah. "Aya akan bahagia apabila dia bersama dengan orang yang dicintainya." Rafiah menoleh pada Fathan yang menjadi kaku dengan ucapan barusan.

"Begitu yang sering nenek dengar. Tapi orang seperti itu tidak pernah bisa menyadadi bahwa dia tidak akan terluka apabila bersama orang yang mencintainya." Rafiah melanjutkan.

Gibran mengangguk dan lelaki itu meraih tangan Rafiah. "Nek ... Aya sudah banyak terluka, izinkan Gibran menyembuhkan dan membuatnya bahagia," pinta lelaki itu memohon izin pada Rafiah, orang terdekat dengan Cahaya.

Rafiah memegang pundak Gibran. "Gibran ... hati Cahaya memang terluka, bahkan sangat terluka sampai sampai dia sendiri tidak tahu cara menyembuhkannya."

"Kembali berbuat baik dan bersama dengan orang yang telah menyakiti itu menjadi pilihan ketimbang harus mencari orang baru yang lebih baik. Karena bersama dengannya akan lebih bermakna walaupun pernah disakiti."

"Siapa yang melukai maka dia yang harus mengobati."

Gibran terdiam, ucapan Rafiah membuat Gibran berpikir bahwa wanita paruh baya itu memihak pada Fathan dari pada dirinya.

"Jika Gibran masuk ke kehidupan Aya?" tanya cowok itu.

"Tidak masalah. Kembali ke pembahasan awal, Gibran. Seseorang merasa bahagia ketika bersama orang yang dicintainya. Tapi akan jauh lebih beruntung apabila bersama orang yang mencintainya." Rafiah memberikan senyuman sehingga keriput di pipinya semakin jelas. "Buktikan bahwa kamu orang yang mencintainya, maka dia akan datang padamu dengan sendirinya."

"Nenek percaya sama kamu, Gibran."

***

Husna dibuat panik oleh keadaan Fathan yang tidak baik-baik saja. Sudah tiga hari tepat setelah kejadian Cahaya msngantarkan makanan, setelah pembicaraan waktu itu Fathan menjadi tidak enak badan.

Tubuhnya panas dan menggigil, matanya terus terpejam bahkan sekarang tak mampu untuk duduk. Hanya berbaring di tempat tidur dan menunggu Husna menyuapinya makan.

Husna merasa kerepotan, bukan hanya satu yang harus dia rawat. Selama Fathan sakit, Zafran anaknya juga tak mau diam. Sehingga Husna ketar ketir mengurus kedua lelaki di hidupnya tersebut.

Tengah malam Zafran baru berhasil ia tidurkan setelah menangis panjang. Sejak siang tadi, anaknya tidak mau tidur dan terus saja menangis. Membuat Husna kelelahan bahkan malam ini wanita itu belum melaksanakan shalat isya.

Setelah meletakkan Zafran ke dalam keranjangnya, Husna berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu. Dia harus segera melaksanakan shalat isya sebelum tidur untuk istirahat. Besok Husna harus datang pukul tujuh pagi di sekolah karena ada acara muhadarah.

Usai berwudhu, segera dibentangkan sajadah dan melaksanakan shalat isya. Sementara Fathan meringkuk  di tempat tidur  karena kedinginan. Dia menggigil dan terus berusaha menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala.

"Maafkan saya Cahaya...."

"Maafkan saya Cahaya..."

Terus mengucapkan kata-kata tersebut dari mulutnya padahal sedang tertidur. Entah itu sadar atau tidak. Hal itu membuat Husna yang baru saja usai salam ke kiri menoleh pada suaminya.

Husna segera melipat sajadah dan mendatangi Fathan. Mengusap wajah penuh keringat dingin dan tubuh yang gemetaran tersebut.

"Maafkan saya, Cahaya ...."

Usapan Husna terhenti ketika mendengar dengan jelas apa yang dari tadi diributkan oleh suaminya. Dia menatap nanar pada Fathan dengan mata yang sudah berlinangan air mata.

"Apa mas benar-benar mencintai dia?"

Husna masih menatap wajah tertidur suaminya. Lelaki yang dulu dia tolak dengan serkas, lelaki yang setia menunggu jawaban atas istikharahnya. Bertahun-tahun Husna menggantung pertanyaan Fathan, namun lelaki itu tetap bersikap baik padanya. Tak sekalipun Fathan bersikap kasar.

Dan satu hal Husna sadari atas kesalahannya yang menggantung Fathan.

Dia menerima lamaran Fathan diwaktu yang salah. Di waktu suaminya itu telah jatuh cinta pada orang lain.

"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan supaya Mas dan Cahaya bisa bersama?"

***

Banyakin komennya lagi biar Nda semangat 💜💜📈📈📈📈📈🤪🤪4😭😂3😂🤪😂

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang