20. Kerinduan yang Terobati

1K 136 2
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU?

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.
.
.

Muehehhee
Sudah berapa abad cerita ini ga update?🤣

Maafin Nda, kemarin Nda sempat drop. Sekarang InsyaaAllah udah ga pa-pa.

Selamat Membaca 🤗

***

Minggu ini dihabiskan dengan ujian kenaikan kelas. Diawal kelas sebelas yang nilainya dipertaruhkan untuk masuk ke perguruan tinggi tentu tidak main-main. Belajar dengan sungguh-sungguh tak ingin kalah satu dengan lainnya.

Berbagai cara belajar mereka terapkan, dengan belajar bimbingan, membentuk kelompok dan lainnya.

Bagi orang dengan keadaan ekonomi seperti Cahaya tentu tidak akan memilih mengikuti bimbingan belajar yang sangat disarankan sekolah. Ya, walaupun bimbel yang disarankan adalah yang terbaik namun dia memilih untuk tidak.

Alasannya sederhana, Cahaya bukan orang kaya. Dua hidup dengan sederhana, bahkan kadang untuk makan saja tidak ada.

Maka dari itu dia membentuk kelompok belajar bersama teman-temannya. Ada Audy, Amel, Gibran, Zaki dan Zidan. Satu lagi, Tami yang selalu mengejek Cahaya.

Besok adalah hari terakhir ujian ini, dan mata pelajaran yang diujikan adalah matematika.

"Ay! Seriusan gue bener-bener ga paham ini materi!" Audy memasang tampang memelas akan tetapi terlihat lebih memperihatinkan.

"Emang Lo aja, Dy? Gue juga, kali!" sahut Tami yang ikutan panik.

Cahaya masih tidak menjawab, dia tetap pada kegiatannya yang kini tengah memperhatikan soal. Tangan kanannya menulis angka dengan huruf satu persatu sesuai dengan perintah otaknya.

"Kita akhiri aja, ya, belajarnya! Lagian kalaupun belaka, nilai gue juga bakalan lima," ucap Zidan dengan pesimisnya. "Lagian matematika kenapa hari terakhir, gila tuh yang nyusun jadwal!" omelnya.

"Terus ... Lo mau matematika hari pertama gitu?" timpal Amel tidak suka. "Guru tuh sengaja ngatur jadwal matematika hari terakhir supaya kita bisa belajar, bego!"

"Belajar darimana, Mel? Tiap hari kita belajar mata pelajaran lain. Kapan belajar matematika?!"

"Kan Lo bisa nyempil pelajaran, Dan!"

"GUE GA SE PINTAR LO!"

"Sayang...!" panggil Tami dengan pelan. "Kok mau-maunya kamu ribut soal matematika? Sama Amel, lagi," ejeknya.

"Kalau sama gue emang kenapa?" tanya Amel dengan tegas. "Ga suka? Ya udah, pergi sono!"

Gibran yang tadinya membantu Cahaya mengerjakan soal kini menoleh ke arah keributan karena merasa atmosfer disana tidak lagi aman. Gibran sangat paham jika Amel, Audy tidak bisa akur dengan Tami.

"Cewek edan kaya dia, kenapa sih kamu harus ikut belajar disini?" resah Tami, dia memasang tampang cemberut tidak suka.

"Demi ketek gue yang wanginya tujuh turunan. Pacar Lo gabung ke kita karena mau belajar, bukan pacaran!" sembur Audy dengan cepat. "Makanya kalau belajar ya belajar!"

Wajah Tami memerah mendapat perkataan Audy, dia menarik napas sebelum bicara untuk melawan. Akan tetapi, Gibran lebih dahulu memotongnya.

"Tami ... jawaban nomor tiga sembilan apa?" tanyanya.

"Hah?"

"C!" Cahaya menyahut dengan wajah gembira. "Akhirnya dapat juga!"

Gibran tersenyum, atensinya bukan lagi pada perdebatan tadi. Namun pada gadis bermata indah, Cahaya.

"Lo udah ngelakuin yang terbaik. Coba Lo jelasin ke gue, Ay!" pintar Gibran. Cowok itu langsung mengambil tempat di sebelah Cahaya dan mendengarkan penjelasan Cahaya.

Sementara Zidan, Tami, Amel dan Audy terperangah. Tidak mengerti. Gibran tiba-tiba menyela di perdebatan mereka, dan begitu Cahaya menyahut dia tak lagi memperhatikan mereka.

Ada yang aneh.

"Gue rasa dia suka Aya."

***

Ujian baru saja selesai. Wajah yang tadinya kusut kini nampak kembali ceria bisa dilihat dengan jelas pada semua siswa SMA Sujana. Akan tetapi tidak dengan Cahaya.

Ujiannya selesai, namun hatinya merasa hampa. Ada sebuah kekosongan menghampirinya, ada rasa rindu yang bergejolak.

Seminggu ini Cahaya sama sekali tidak melihat Fathan. Bahkan mobilnya saja tidak. Kemana lelaki itu?

Cahaya tahu dia bukan siapa-siapa, hubungannya dengan Fathan hanya sebatas guru dan murid. Tetapi entah kenapa hatinya merasa hampa. Gejolak dihatinya padA Fathan seperti gejolak dulunya pada Faizul.

Apakah aku jatuh cinta padanya?

Entah mengapa Cahaya menjadi tidak bersemangat. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah kembali ke rumah dan tidur. Untuk mengistirahatkan tenaga dan pikiran yang sudah terforsir habis, dan mengistirahatkan hatinya yang merindu.

Cahaya meninggalkan sekolah dengan langkah pasti. Terik panas matahari yang membakar kulit diabaikan. Dan dia mendesah lelah ketika ada yang memanggil.

"Aya! Lo mau kemana?!"

Dengan malas gadis itu berbalik. "Mau pulang! Udah waktunya pulang, kan?" jawabnya dengan nada kesal.

"Aya! Lo lupa, kita bakalan pergi hiking, gimana sih?! Rapat!" Zaki berseru dengan keras. "Lima menit lagi harus sampai, kalau engga, Lo ga bisa ikut!"

Dan setelah itu Zaku meninggalkan Cahaya. Dia lebih dahulu menuju ruangan Osis. Dengan napas berat, tubuh yang lelah Cahaya dengan terpaksa kembali ke ruangan Osis.

***

Keramik putih yang sudah mulai pudar karena termakan usia menjadi objek tatapan Cahaya sedari tadi. Perjalan menuju ruangan Osis terasa panjang karena hatinya yang tidak bersemangat.

Perjalan Cahaya terhenti ketika ada sebuah kaki melintang di depannya. Sepatu laki-laki, duduk di kursi luar dan melintangkan kakinya. Seolah menghalangi jalan gadis itu.

"Ga usah main-main. Aku capek," omel Cahaya.

"Kenapa?"

Cahaya yang tadinya menunduk langsuny mendongakkan kepala saat mendengar suara barusan. Suara yang dirindukan, wajah yang menyejukkan.

"Eh ustadz." Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Maaf, Stadz," pintanya.

"Ga semangat, kamu." Fathan terkekeh. "Karena ga ketemu saya, ya?" tanya lelaki itu dengan pedenya.

Cahaya langsung saja tertawa. Kenapa Fathan bisa benar?

"Kamu kaya ga semangat, Cahaya. Mau saya traktir es kelapa dulu biar semangat?" tanya Fathan.

Gadis itu menggeleng dengan cepat. "Engga perlu, Stadz!"

Melihat Fathan saja semangatnya sudah kembali. Untuk apa harus di traktir. Bahkan gadis itu sendiri bingung kenapa dirinya kembali bersemangat di tengah kelelahannya tadi.

"Kamu mau ke ruang OSIS, kan? Buruan!" perintah Fathan.

Cahaya mengangguk mantap dengan semangat menuju ruangan tersebut. Dalam hatinya dia begitu bersyukur karena bisa bertemu dengan Fathan.

Seseorang yang dua rindukan tanpa sadar ia berharap bertemu dan bahagia.

***

Alhamdulillah update!

Jangan lupa bintang dan komennya yaaa
InsyaaAllah setelah ini akan update rutin lagi. Hehe.

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang