16. Tembok Pembatas

1.2K 126 1
                                    

USTADZ HARUSKAH AKU MELAMARMU

A spiritual story by
Dwinda Darapati

.
.

Selamat Membaca 🤗

***

Kegiatan perkemahan yang sudah direncanakan dengan se maksimal mungkin harus gagal, tidak banyak dari siswa yang mengikuti acara tersebut karena kondisi cuaca sedang ekstrem. Bahkan ada yang mau mengikuti namun terpaksa tidak karena larangan orang tua.

Sedih, tentu.

Sudah hampir dua bulan persiapan acara ini, namun mereka apa boleh buat karena semua yang mengatur bukan mereka. Manusia bisa berencana, tetapi Allah yang memberikan keputusan.

Di dalam ruangan Osis, wajah kecewa dan lelah terlihat dari semua anggota ini yang sudah rela menghabiskan waktu mereka. Yang berjuang membuat ini itu demi terlaksananya acara rutin tahunan tersebut.

Namun Gibran sang ketua tidak ingin anggotanya bersedih. Dia berdiri depan kelas sembari menghibur teman-temannya.

"Gays, jangan sedih lah. Kita tuh banyak kegiatan lain. Gimana kalau kita liburan khusus kita-kita aja? Bentar lagi 'kan ujian, gimana kalau sebelum itu kita refreshing dulu?" tanya Gibran dengan semangat. Memberikan usul yang mungkin menarik perhatian temannya.

"Oh my God! Bulu ketek gue merinding denger Lo ngomong barusan!" seru Audy geleng-geleng kepala. "Woi, lihat cuaca donk! Lo mau kita mati?"

"Ga karena cuaca pun Lo juga bakalan mati, Dy!" sahut Zaki dari belakang yang spontan mendapat pukulan ringan oleh Audy.

"Boleh juga, kita kita aja yang pergi." Setelah berpikir lama, akhirnya Zidan setuju dengan usulan Gibran. "Tapi kemana?" tambahnya.

"Itu dia yang mau dibicarain, makanya jangan murung!" omel Gibran.

"Kita-kita aja? Emang boleh?" Anisa bertanya lantaran ragu.

"Minta izin dulu, eh ... kalau bareng guru-guru boleh juga," jawab Gibran.

"Gurunya siapa aja?" Dan kini Cahaya yang sedari tadi diam angkat bicara. "Kalian semua tahu kalau guru-guru pada sibuk buat soal ujian."

"Iya juga, sih," sahut Audy. "Ustadz Fathan ga sibuk, tuh. Dia 'kan cuma ngajar Tahfiz, gimana kalau kita ngajak ustadz Fathan. Sama pak Hendra, penjaga sekolah?" usul Audy.

"Ustadz Fathan? Emang mau?" tanya Zaki.

"Dicoba dulu," jawab Anisa.

"Siapa yang mau bilang? Gue ogah!" tolak Zidan padahal tidak ada yang menyuruhnya.

"Lo aja, Ay! Lo kan deket sama ustadz Fathan," suruh Audy.

"Ha?"

"Nah bener, Lo aja." Zidan menyetujui begitu juga dengan semua anggota lainnya.

Cahaya tersenyum kecil, kalau dia yang mengajak Fathan itu artinya dia akan bertemu dengan lelaki itu. Sementara di hatinya masih bergejolak akan rasa berdebar yang kian menyesakkan.

"Gimana, Ay?" tanya Gibran.

"Hmmmn ... Okeh," jawabnya menyetujui.

***

Siang hari ini hujan masih mengguyur kota ini dengan deras. Banyak dari anak-anak SMA yang dijemput dengan mobil oleh orang tuanya. Namun juga ada sebagian yang masih menunggu hujan reda karena tidak mempunyai mobil.

Begitu juga dengan Cahaya, anak seorang buruh miskin yang tak punya apa-apa. Gadis itu hanya bisa menunggu hujan reda, dia juga lupa membawa payung.

Dari arah belakang, Gibran hendak mendekati. Mengajak Cahaya pulang karena cowok itu mengendarai mobil. Niatnya ingin mengantar Cahaya pulang.

"Ay ...," panggilnya.

Cahaya berbalik, menoleh kebelakang melihat siapa gerangan yang memanggilnya. "Eh, Gibran. Ada apa?"

Sedikit ragu Gibran berkata, "Lo pulang sama siapa? Bareng gue, yuk. Gue antar," ajaknya.

Cahaya tersenyum. Selalu begitu.

"Lo ga keberatan?" tanya Cahaya.

"Kan gue yang nawarin, kenapa harus keberatan?" tanya Gibran.

Gadis itu tertawa pelan, dia mudah sekali tertawa. "Iya juga, ya. Ngomong-ngomong jalan ke rumah aku becek, gapapa emangnya?"

"Lo pikir gue ga pernah ke rumah, Lo? Mana ada becek!" omel Gibran.

"Kan udah lama, Lo mana tau keadaan sekarang," jawab Cahaya dengan cepat.

Sekarang giliran Gibran yang tertawa. "Lo bohongin gue, Ay? Kemarin gue lewat sana kali!"

Cahaya mengerutkan dahinya. "Ngapain? Jangan bilang stalker-in aku!"

"Hahahahah ... kegeeran!" Cowok itu hendak mengacak jilbab Cahaya namun gadis itu segera menghindar.

Ada rasa kecewa saat gadis itu menjauh, ada rasa sedih ketika gadis itu tak mau dekat dengannya.

Cahaya selalu begitu, dia membangun tembok pembatas antara dirinya dengan Gibran.

"Ya udah, Lo sekarang mau pulang atau engga?" tanya Gibran.

"Mau."

"Ayo!"

***

"Ay, gue kadang heran sama Lo, deh. Kenapa Lo malah duduk di belakang?" tanya Gibran saat mereka sudah berada di dalam mobil. Dia mengendarai dengan sangat pelan. Ingin berlama-lama bersama Cahaya.

"Ntar kalau aku di depan, lo khilaf," tutur gadis itu dengan suara datar.

"Astaghfirullah,  Aya! Lo pikir gue cowok apaan yang khilaf sembarangan?" Gibran tidak terima, kenapa gadis ini selalu seperti ini? Memangnya wajahnya mesum?

"Siapa tahu aja, Gib!"

"Lagian ngapain khilaf sama elo, masih banyak cewek lain yang lebih cantik." Cowok itu berkata ogah-ogahan mau khilaf pada Cahaya.

"Tuh 'kan bener. Lo emang punya niat khilaf! Untung aku duduk di belakang!" Cahaya menunjuk Gibran dengan telunjuk tangannya seolah menyalahkan Gibran.

"Emang dasar," omel Gibran lagi.

"Oh iya, congrats ya, Ay. Atas kemenangan,Lo!" ucap Gibran, "gue awalnya sempat raguin Lo bakalan menang atau engga di lomba tahfiz itu," aku cowok itu dengan wajah penuh penyesalan.

"Hahah, makasih, ya, Gib." Gadis itu terkekeh. "Aku juga ga nyangka, lho. Aku pikir ga bakalan menang," jawabnya dengan jujur.

"Tapi karena bimbingan ustadz Fathan, aku bisa. Alhamdulillah!"

Gibran melirik sinis, ketika kata Fathan keluar dari mulut Cahaya seperti ada semangat tersendiri yang membuat dirinya risih.

"Siapa tadi yang buat Lo lancar?" tanya Gibran memancing.

"Ustadz Fathan! Senang banget bisa kenal dan dekat dengan ustadz Fathan!"

Benar, bahkan raut wajah Cahaya berubah ketika nama itu terucap dari mulutnya.

"Kok kaya beda gitu ngomong ustadz Fathan-nya, ya," kata Gibran, "kaya ada semangat gitu."

"Ha?"

"Lupain aja, gue lagi ga fokus makanya keluar ngasal." Segera cowok itu mengalihkan pembicaraan.

"Udah sampai, Ay. Terima kasih."

Cahaya kembali tertawa. "Seharusnya Cahaya Nayanika yang berterima kasih."

"Terima kasih, Gibran."

***

Next?
Komen yang banyak🥰
Follow Instagram buriq Nda
@bukjorong_

Ustadz Haruskah Aku Melamarmu? [Selesai]✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang