1 Minggu sudah berlalu Alex pergi, kini hanya ada kenangan tentang cowok itu. Bayang-bayang Alex masih melekat di hati mereka semua.
Hari ini Alsava hanya berdiam diri di rumah. Karena Raven juga sedang memulihkan hatinya sendiri, serta menguatkan sang Bunda agar dapat melewati kesedihannya.
Terkadang Alsava menangis di dalam kamar. Jujur ia masih belum rela atas kepergian Alex. Dia anak baik, tapi kenapa harus pergi secepat ini?
"Kenapa lo pergi di saat Raven udah kembali? Harusnya Raven kembali lo juga harus ada Lex, kasihan Bunda lo," lirih Alsava. Dadanya terasa sesak, ia jadi mengingat Almarhum kedua orang tuanya.
"Gue kira hidup gue yang paling menyedihkan. Tapi gue salah, di luaran sana banyak yang lebih menderita daripada gue. Kadang gue emang selalu liatnya ke atas, tanpa sadar kalo ada yang hidupnya jauh lebih menyedihkan daripada gue." Alsava menatap langit-langit kamarnya.
Alsava tersenyum tipis. "Gak nyangka ketemu es batu ternyata dia itu Raven. Ahh gilaa!"
"Pantesan aja sifatnya baik banget, perhatian. Orang tuanya aja baik-baik."
Alsava keluar dari kamar saat tenggorokannya terasa kering. Ia berniat mengambil air putih untuk minum ke bawah. Namun di suguhkan oleh kedatangan Om Rai.
"Om Rai? Kok masuk gak bilang-bilang?" Alsava turun dari tangga, menghampiri Rai.
"Alsa, Om butuh tanda tangan kamu."
"Hah buat apa?" Alsava cengo. Lagi-lagi, tidak ada habisnya Om ini.
"Ya buat milikin perusahaan orang tua kamu lah. Gitu aja banyak tanya." Rai menyeletuk.
Alsava membelalakkan matanya. "Om itu gaada habisnya ya. Lagi pula harta itu gak dibawa mati Om. Emang Om mati mau bawa perusahaan ke dalam kubur juga? Gak usah lawak Om," kesal Alsava.
"Ohhh kamu udah berani lawan Om ya?"
"Lah sejak kapan Alsa takut sama Om?" Kena mental bos.
Rai mengepalkan tangannya kesal. Ia berdeham hingga suara langkah kaki terdengar.
Alsava terkejut atas kehadiran orang lain di rumahnya. Dan... Raven? Bukan, bukan. Dia Gio bukan Raven.
Seketika Alsava teringat apa yang akan pernah Gio lakukan pada dirinya. Itu membuat Alsava takut.
"Kamu mau tanda tangan tidak?"
"Gak! Apaan sih Om! Pergi sana!" usir Alsava berniat kembali naik ke atas namun di tahan Gio. "Hay cantik, ketemu lagi kita."
Alsava mundur beberapa langkah, hingga punggungnya menabrak tubuh seseorang. Itu Gery yang tengah tersenyum miring. "Jadikan dia umpan."
"Untuk menjebak Ara dan Arya? Ide bagus," sahut Rai.
Kini Alsava tak mengerti apa maksud dari Om-nya. Jadi dia bersekongkol dengan orang yang ingin menghancurkan keluarga Raven? Dan... Gio?
"Om maksudnya apaan sih!" Alsava menatap Gio, ia menahan takutnya saat melihat senyum miring di wajah cowok itu. Jujur Alsava masih sedikit trauma saat melihat Gio.
Tangan Alsava di tarik dengan kasar oleh Rai. Cewek itu di dorong hingga tersungkur ke lantai. Para lelaki bajingan itu tertawa melihat Alsava terjatuh. Cewek itu mengepalkan tangannya.
"Cepat tanda tangan, dan jebak Arya Ara agar ke sini. Hahaha," kata Rai.
"ENGGAK! ITU PERUSAHAAN MILIK ORANG TUA ALSA! GAK AKAN SEMUDAH ITU ALSA KASIH SAMA OM KESURUPAN KAYAK LO!" teriak Alsava berani.
Rai berjongkok. Mencekeram pipi Alsava dengan kasar hingga kukunya menusuk kulit Alsava. "Orang tua kamu? Kamu itu gak punya orang tua anak bodoh!"
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [END]
Teen Fiction⚠️⚠️⚠️ Bagi Alsava, Raven itu aneh. Dia seperti 32° Fahrenheit ke Celsius. Yang dulu rasa pedulinya 32 derajat Fahrenheit, sekarang berubah menjadi 0 derajat Celsius. Hingga Alsava dipertemukan dengan Shaka, si cowok dingin yang berhasil membuat Als...