"Raven?"
Raven membeku di tempatnya saat melihat siapa cewek yang menabraknya tadi. Ia cukup terkejut saat kembali melihat wajah itu, wajah yang selama ini Raven rindukan, kini berada di depan matanya.
Alsava menggigit bibir bawahnya. "Maaf, gue gatau kalo yang gue tabrak itu lo. Sekali lagi gue minta maaf, gue pergi dulu. Udah telat."
"Alsa mau ninggalin Raven lagi?"
Langkah Alsava terhenti. Ia tak jadi melanjutkan langkahnya saat tangan kekar itu mencekal pergelangannya. Tatapan itu begitu dalam, memperlihatkan jelas kerinduan di mata Raven saat menatap Alsava.
"G-gue bukan Alsa, gue Starla." Alsava berbicara gugup.
Raven mengacak rambutnya, ia tertawa miris. "Starla? Jadi, selama ini nama yang sering gue dengar dari mulut orang-orang itu nama samaran lo? Kenapa Al? Kenapa lo lakuin ini ke gue? Kenapa lo buat gue gila karena kehilangan lo?"
"Atau jangan-jangan selama ini lo udah tau kalo kita satu kampus, tapi dengan bodohnya gue gatau keberadaan lo bertahun-tahun padahal kita begitu dekat. Karena lo pake nama samaran? Kenapa? Salah gue apa sampe lo pergi dan seakan-akan gak mau kembali lagi?"
"Gue nyakitin lo ya?" sambungnya tersenyum miris.
Alsava menggeleng pelan. "Enggak, bukan gitu. Gue bakalan jelasin, tapi jangan di sini."
Alsava menarik tangan Raven agar cowok itu mau mengikutinya. Sentuhan itu, rasanya seperti ada aliran listrik di tubuh Raven saat Alsava menyentuhnya. Raven merindukan Alsava, gadisnya.
Tunggu dulu, apa benar Alsava masih menjadi gadisnya?
Alsava mengajak Raven keluar kampus. Ya akhirnya ia bolos, dan kali ini mengajak Raven bolos juga.
Alsava mengajak Raven ke kafe biasa ia datangi dengan Rachel.
Entah harus mulai dari mana, Alsava bingung harus berbicara apa pada cowok yang kini menatapnya dingin. "G-gue punya alasan ninggalin semuanya."
"Apa?"
"Gue gatau harus jelasinnya gimana."
Raven menghembuskan napasnya berat. "Gue hampir putus asa buat nyari lo lagi. Bertahun-tahun gue nunggu lo, berharap lo bakalan kembali. Tapi? Gaada. Gue hampir gila. Kayak udah gaada harapan lagi buat ketemu sama lo."
"Dan sekarang gue udah ketemu lo lagi Alsa. Tapi... apa semuanya masih bisa kayak dulu?" Raven terdiam sejenak. "Kalo lo berpikir gue bakalan benci sama lo, lo salah. Awalnya gue emang ada niat buat lupain semua tentang lo, apapun tentang lo. Tapi gak bisa, gue gak akan pernah bisa lupain semua tentang diri lo."
"Asal lo tahu Ven? Gue sakit, sakit karena harus ninggalin semua orang yang gue sayang. Pertama lo, Raka yang entah sekarang kabarnya gimana, Bunda Ara, semua teman-teman gue di Jakarta."
"Jelasin ke gue alasan yang jelas kenapa lo pergi ke Bandung tanpa bilang apa-apa?"
"Gue udah balik ke keluarga gue Ven. Sekarang gue udah ngerasain yang namanya hidup itu ada bahagianya bersama keluarga. Sosok Ayah dan saudara. Gue gak lagi kesepian di rumah sendirian."
"Kalo lo pikir gue gak pernah mikirin lo, lo juga salah. Gue selalu ngerasa bersalah karena ninggalin lo, padahal lo selalu ada buat gue. Gue lakuin ini semua karena gue gak mau lo celaka lagi gara-gara gue," lanjut Alsava sesak.
Raven menatap Alsava dalam. "Keluarga?"
Alsava mulai bercerita. "Selama ini gue tinggal gak sama orang tua kandung gue, mereka orang tua angkat gue. Gue bukan anak kandung mereka. Hingga waktu gue di Rumah sakit, hari itu lo belum sadar Ven, kondisi lo cukup parah saat itu. Dan... Ayah gue datang, bilang kalo gue anak kandungnya yang hilang bertahun-tahun yang lalu."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAVEN [END]
Ficção Adolescente⚠️⚠️⚠️ Bagi Alsava, Raven itu aneh. Dia seperti 32° Fahrenheit ke Celsius. Yang dulu rasa pedulinya 32 derajat Fahrenheit, sekarang berubah menjadi 0 derajat Celsius. Hingga Alsava dipertemukan dengan Shaka, si cowok dingin yang berhasil membuat Als...