Nakha bukannya tidak bersyukur karena sudah hidup lebih dari berkecukupan dan punya empat ayah.
Tetapi Nakha hanya bingung. Bagaimana bisa dia punya empat ayah tanpa adanya seorang ibu?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Waktu itu, masih terlalu pagi untuk mendapat kejutan besar. Sepasang suami istri di sana menatap seseorang berumur seperempat abad yang tengah menenteng satu tas besar berisikan peralatan bayi. Tapi yang dapat mengalihkan atensi keduanya adalah sesosok makhluk mungil dibalik selimut hangat yang berasa di gendongan orang itu.
"Namanya Nakha."
Ucapnya tat kala melihat kedua orang di sana begitu memperhatikan sesosok mungil di dekapannya. Dua pasang mata yang tadinya sibuk memandang sesosok mungil dibalik selimut hangat itu kini mengalihkan pandangannya pada anak lelaki mereka. Si ibu tersenyum hangat melihatnya. Memandang bayi mungil itu sekali lagi lalu kembali beralih pada sang anak.
"Cantik. Mirip sekali dengan Kakak." meminta kepada putranya agar bayi itu dapat beralih pada rengkuhannya. Menimang pelan si bayi yang tengah tertidur lelap di sana. Sesekali juga ia mengajak si bayi mengobrol walau tau bahwa bayi yang baru berumur tujuh bulan itu sedang menjelajahi mimpinya. Sedang sang pasangan memandang keduanya datar. Bukannya tak suka, hanya saja dia masih mengharapkan seorang jagoan.
Yudhi. Lelaki yang kini memasuki umur dua puluh enam itu tersenyum melihat cerahnya wajah yang penuh kerutan itu. Dalam hati dia bersyukur pada Tuhan karena kedua orang tuanya dapat dengan mudah menerima anaknya.
"Nakha cowok, Ma." ucap Yudhi.
"Jagoan?" sang ayah yang sejak tadi tampat tak tetarik kini memandangnya begitu terkejut. Sedang Yudhi mengangguk sembari tersenyum menanggapi pertanyaan sang ayah.
"Hah? Jagoan? Bisa jadi temen Opa nonton bola dong. Bisa Opa ajakin main golf, memanah, menembak juga nanti. OOH nanti Opa ajakin menunggang kuda juga. Nakha mau kan?" ucap Arya kegirangan. Ayah dari Yudhi ini tampak tak sabar menunggu sang cucu untuk menemaninya untuk melakukan hal yang diinginkannya tadi. Sedang sang istri menatapnya jengah.
"Keburu kamu tua kalau nungguin Nakha gede, Mas. Lagian ntar aku nggak kasih ya kalau Nakha kamu ajak gitu-gituan. Ba.ha.ya. Nakha ntar aku ajak masak aja. Lebih aman." Nadine, ibu Yudhi adalah serang chef. Memiliki beberapa restoran di beberapa kota besar di Indonesia itu jelas menepis angan-angan sang suami yang terlalu berbahaya itu.
"Ya kan, Bang?"
"Terserah Nakha aja sih Ma. Aku bakal bebasin dia untuk ngelakuin apa aja yang dia mau nanti."
"Tapi ya kalau yang bahaya ya jangan. Iya kan, nak? Nanti kamu kalau udah gede jangan ngelakuin yang aneh-aneh kaya yang dibilang sama Opa ya, sayang."
"Gitu kok bahaya. Itu hobi laki-laki."
"Hobi kok nyari penyakit."
"Kalau laki-laki ya gitu. Biar kuat. Biar bisa jadi pemimpin hebat."
"Jadi pemimpin ya bukan berarti harus cari yang bahaya. Banyak cara buat jadi pemimpin yang baik dan bertanggung jawab." Nadine mendengus dan berjalan ke arah taman luas miliknya. Selagi berjalan, wanita berumur lima puluh empat tahun itu kembali mengajak Nakha kecil mengobrol. Sesekali juga ia bersenandung pelan agar si cucu dapat tertidur pulas.