Ceritanya Panjang.

0 0 0
                                    

"Apa maksudnya, kawan?" Tanya Devano tidak mengerti.

Abdulah menghela napas...

"Ceritanya panjang, teman kapan-kapan aku menceritakannya padamu mengapa surat ini ada hubungannya dengan Pangeran Arkan," jawab Abdulah, tegas.

Beberapa menit berpikir...

"Baiklah, Abdulah terserah padamu, aku tak ingin memaksamu," tukas Devano.

Flashback on...

Beberapa saat sebelum mengembuskan napas terakhir...

"Tu...Tua...aan, se...sebelum s...sa..sa..ya me...meninggal to..to...."

"Lendra, berjuanglah untuk hidup! Kau pasti bisa," potong Abdulah dengan wajah cemas.

Lendra menggeleng..

"Ma..maafkan aku, Tu..Tuan, ak..aku tidak bi..bisa lagi ber..bertahan," sahut Lendra.

Andulah meraba perut Lendra yang sudah banyak mengeluarkan darah karena tusukan pedang Devano.

Dengan tangan gemetar, Lendra menyerahkan sebuah surat kepada Abdulah.

"Apa ini, Lendra?" Abdulah terkejut.

"Tuan, sebelum saya meninggal..."

"Kau ini bicara apa?! Kau pasti bisa bertahan, Lendra! Ayolah!"

"Tuan, aku sudah tertusuk pedang berkali-kali, aku tak mungkin bisa bertahan," lirih Lendra.

"Tuan, di dalam surat ini ada dosa-dosa yang harus saya akui pada Pangeran Arkan," aku Lendra.

"Dosa apa maksudmu?"

"Dulu, saya adalah pengikut Kahran dan saya...." Lendra menceritakan bagaimana dia dan lainnya ke istana Froya untuk menfitnah Pangeran Arkan termasuk Kahran.

"Astagfirlah!" Seru Abdulah, terkejut.

"Mungkin Allah tidak akan mengampuni saya, Tuan," keluh Lendra menerawang ke masa lalu.

"Jika kau bertobat dengan sungguh-sungguh dan mengubah sifatmu, Allah swt pasti akan mengampunimu, percayalah,"

Lendra bernapas lega dengan perkataan gurunya yang menghibur itu dan dia pun tersenyum lirih.

"Sekarang kau sudah menuju jalan yang benar, Lendra, jalan yang diridhoi Allah swt." Lendra hanya tersenyum dalam perihnya.

Beberapa jam kemudian...

Dengan berat hati, Abdulah mengucapkan kedua kalimat syahadat di telinga Lendra dan dengan gugup Lendra mengikutinya lalu, dia pun meninggal dengan wajah tenang.

"Innalilahi wa innalilahi roji'un," ucap Abdulah, lirih.

Flashback off...





Kediaman Tuan Zabur..

'Hu...uuk! Hu..uuk!'

Suara batuk dari rumah yang begitu asri dan sejuk begitu terdengar lirih.

"Ayah, jangan terlalu capek, istirahatlah," tegur Maulana dengan wajah cemas.

"Tidak, Ayah tidak lelah hanya batuk saja, nanti sembuh kembali," sahut Tuan Zabur diselingi batuk-batuknya.

"Tuh kan batuknya kumat lagi, Ayah perlu istirahat total," desis Maulana sembari mengiringi sang Ayah masuk ke kamar.

"Ayah belum selesai kerjaannya," protes Tuan Zabur.

"Gampang, Ayah biar aku meneruskan, Ayah istirahat saja, Ayah masih ingat kan kata Dokter?"

"Iya...Ayah masih ingat tapi, kau juga perlu istirahat, Nak, akhir-akhir ini kau tak pernah libur kerja," keluh sang Ayah, cemas.

Sampai di tempat tidur..

Dengan perlahan Maulana meletak kan tubuh sang Ayah ke tempat tidur dan membantunya berbaring.

"Ayah gak usah cemas dengan keadaanku, aku bersyukur sudah bisa bekerja dan uangnya untuk pengobatan Ayah," hibur Maulana menggenggam tangan sang Ayah yang sudah terlihat keriput itu.

Tuan Zabur meneteskan air mata..

"Maafkan Ayah, Nak karena Ay..." Maulana menempelkan telunjuknya ke bibirmya.

"Jangan bicara seperti itu, Ayah, Ayah tak pernah menyusahkan kami berdua, anak-anak ayah selama ini Ayah yang selalu membanting tulang untuk kami, sekarang kita bergantian aku lah yang harus membantu Ayah," desis Maulana.

"Tapi..."

"InsyaAllah, aku ikhlas, Ayah, Ayah tak usah cemas dan jangan terlalu banyak pikiran." Tuan Zabur mengangguk lemah.

Beberapa saat kemudian, ada suara ketukan

"Siapa itu?" Pikir Maulana.

"Tinggal sebentar dulu ya, Yah, sepertinya kita kedatangan tamu," pamit Maulana.

Bersambung..

Travel of hijrah(completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang