Chapter 9

4K 292 25
                                    

Banyak hal yang sebenarnya bisa Kyra lakukan pagi menuju siang ini, selain menatapi handphone untuk menunggu seseorang menghubunginya. Sudah hampir dua puluh empat jam mereka berpisah, tidak ada satu pun kabar dari Ezra, selain kata ‘ok, hati-hati’ saat Kyra memberitahukan kalau dia sudah sampai ke penginapan.

“Ra, makan dulu, gih! Jadwal hari ini padat, loh! Lo belum makan dari kemarin malem.”

Tiffany menyodorkan sepiring nasi beserta lauknya di depan Kyra. Ia juga tidak lupa menyiapkan potongan buah dan segelas susu. Sesuai pesan yang telah disampaikan Ezra—tanpa sepengetahuan Kyra—kemarin sebelum mereka berangkat, Tiffany harus memerhatikan asupan makanan Kyra.

Ya, meski tanpa disuruh Ezra pun, Tiffany tentu saja akan mengingatkan sahabatnya untuk makan.
Tiffany menggelengkan kepala tatkala melihat Kyra yang sibuk melamun menatapi layar handphonenya.

“Kemarin nggak diangkat, sekarang malah nggak aktif,” lirih Kyra yang masih bisa didengar oleh Tiffany.

Tiffany menatap Kyra dengan iba. Ia tahu perasaan sahabatnya itu sedang tak menentu. Ia juga merasa bersalah karena sudah mendukung Kyra untuk menerima pekerjaan ini. Tiffany lupa kalau seharusnya ia juga meminta izin terlebih dahulu pada Ezra.

“Nanti Pak Ezra bakal hubungi lo, kok. Lo nggak nyadar lakik lo sebucin apa?” Tiffany mencoba menghibur Kyra yang meski ia tahu ini tidak akan berhasil.

Satu kata buat sahabatnya itu. Bebal.

Kyra ini keras kepala. Terkadang pikirannya terlalu rumit untuk dimengerti. Namun, yang Tiffany salutkan dari Kyra ini, ia akan totalitas dan profesional dalam melakukan pekerjaan, sekalipun sedang bermasalah di kehidupan pribadinya.
Kyra mengangguk pelan. Ia mencoba berpikir positif. Ezra akan baik-baik saja di sana.

“Ya udah, lo makan, dah! Kalo enggak, gue aduin ke Pak Ezra. Ngambek lagi ntar dia sama lo,” ancam Tiffany yang tanpa sadar membuat Kyra kembali teringat bahwa hubungan Kyra dan Ezra tidak baik-baik saja sejak kemarin.

Kyra segera mengambil segelas susu hangat yang diberikan Fanny. Ia meneguknya dengan cepat, kemudian berdiri dan meraih tasnya. “Ayo, kita harus berangkat!” kata Kyra tiba-tiba.

Fanny yang melihat pergerakan cepat dari Kyra yang mendadak itu hanya bisa terperangah. Fanny  hendak protes karena Kyra tidak menyentuh makanan sedikitpun, namun sahabatnya itu bergegas terlalu cepat.

“Lo belum makan, Ra!” tegur Fanny yang tengah menyejajarkan langkahnya dengan Kyra.

“Udah minum susu!”

Fanny berdecak sebal. Jika sudah begini, sekelebat Fanny ingin menimpuk kepala Kyra. “Itu minum, bego! Bukan makan! Lo jangan nyari penyakit, deh, Ra!” 

Kyra tak menggubris. Ia terus berjalan cepat, sampai Fanny cukup sulit mengimbanginya.

***

“Ah, syukurlah!” desah Ezra yang sedikit lega karena ia menemukan sebuah benda pipih di atas meja kerjanya di kampus.

Kemarin malam Ezra baru menyadari bahwa ia belum memegang handphonenya setelah membalas pesan Kyra. Saking sibuk dengan kegiatannya, Ezra lupa akan benda pipih itu. Dan ketika menyadari sampai rumah malam itu, Ezra kalang kabut sendiri karena kehilangan handphone.

Bagi Ezra, malam itu adalah malam yang paling menyebalkan karena harus menahan rindu nyaris seharian. Karena ia tidak punya akses apa pun untuk menghubungi Kyra.

Ezra mengisi daya handphonenya karena sudah habis daya. Sambil menunggu nyala kembali, Ezra segera pergi ke kelas untuk mengajar, karena sudah terlambat masuk. Hari ini seperti biasa, jadwal mengajar Ezra cukup panjang.

Match Made in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang