Chapter 21

2.6K 193 40
                                    

Kalau lo masih kayak gini, Pak Ezra bukan hanya kehilangan calon bayi kalian, tapi dia juga kehilangan lo, Ra."

Kalimat yang dilontarkan Fanny tempo hari selalu terngiang-ngiang di kepala Kyra. Wanita itu berpikir keras atas apa yang sudah ia lakukan selama ini kepada Ezra.

Seharusnya bagaimanapun keadaan, Kyra tidak boleh mengabaikan Ezra begitu saja. Terlebih pria itu adalah pemimpin keluarga yang harus dihormati dan dihargai. Tapi...

Setiap mengingat sang Suami, Kyra selalu dihantui rasa bersalah. Ia terlalu takut bertemu Ezra. Bahkan Kyra kerap kali merasa tidak pantas lagi berada di samping Ezra. Kyra selalu berpikir bahwa ia lah penyebab anak mereka meninggal sebelum dilahirkan.

Sisi hatinya yang lain, Kyra pun tak menampik jika ia sangat merindukan Ezra. Semua hal yang ada dalam diri Ezra sangat ia rindukan. Terlebih pelukan yang selalu diberi oleh pria itu. Pelukan Ezra adalah tempat ternyaman bagi Kyra. Itu tidak bisa dipungkiri.

Kyra harus bagaimana sekarang? Hatinya bergemuruh. Semua suara di dalam pikirannya ikut bergaung. Berisik tak mau diam.

Kyra mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ya, ini bukan hanya soal dirinya yang merasa bersalah dan kehilangan, tapi juga kelanjutan hidup ke depannya bersama Ezra.

Kehilangan ini benar-benar membuka sisi Kyra yang lain. Sisi di mana Kyra sendiri pun merasa asing.

"Aku harus gimana?"

Kyra menangis tanpa suara. Ia menenggelamkan wajahnya ke bantal. Ini sudah larut malam, dan ia tidak ingin suara tangisnya terdengar hingga membuat khawatir kedua orang tuanya.

"Mas Ezra, aku kangen."

***

Dalam baringnya Ezra terus bergerak gelisah. Ia tidak benar-benar tertidur. Suhu tubuhnya terlalu tinggi hingga Ezra merasa tak nyaman. Ezra bersusah payah mendudukkan tubuhnya dan bersandar di kepala ranjang. Kerongkongannya terasa kering dan ia membutuhkan minum sekarang.

Tangan Ezra bergetar hanya untuk meraih segelas air yang selalu ia siapkan di nakas samping ranjang. Beberapa cipratan air lolos membasahi lantai dan sprei. Ini akibat tangan Ezra yang tak henti bergetar. Tubuhnya benar-benar terasa lemas.

Sebenarnya akhir-akhir ini tubuh Ezra tidak baik-baik saja, dan ia mencoba sekuat tenaga untuk tetap kuat. Namun sepertinya hari ini adalah puncak dari kelemahan tubuhnya.

Saat di rumah Kyra tadi pun, sebenarnya Ezra sudah mulai drop. Bahkan orang tua Kyra pun menyuruh Ezra untuk menginap, namun karena tidak ingin merepotkan jika terjadi apa-apa, Ezra pun menolak.

Ezra menghela napas dalam-dalam setelah berhasil menyimpan kembali gelas itu ke nakas. Persentase tumpahnya air itu sekitar dua puluh persen, sisanya berhasil memasuki tubuh Ezra. Ia menyandarkan kembali tubuhnya ke kepala ranjang, tentu sudah diberi ganjalan bantal.

Deru napasnya terengah. Bahkan Ezra dapat merasakan rasa panas tiap kali ia menghela napas. Pria itu mencoba memejamkan mata untuk menghalau rasa peningnya yang semakin menjadi. Kepalanya seperti ditusuk-tusuk sesuatu. Sendi-sendi dalam tubuhnya pun terasa nyeri. Perutnya seperti diremas-remas. Matanya memerah dan berair. Ezra benar-benar merasa tidak nyaman, namun ia sendiri bingung harus melakukan apa lagi agar dapat tertidur.

Ezra menyeka keringatnya yang mengalir masuk ke mata. Akibat demam yang menyerang tubuhnya, banyak pula keringat yang membanjiri. Baju tipis Ezra pun sudah dibasahi keringat. Ia harus segera ganti pakaian. Ini benar-benar tidak nyaman.

"Kuat! Kuat!" Ezra menyemangati dirinya sendiri untuk bangkit dari ranjang. Ia butuh baju ganti agar terasa lebih nyaman.

Dengan langkah gemetar dan satu tangan yang bertopang pada tembok, Ezra berjalan menuju lemari yang berada di pojok ruangan. Ia kembali memilih kaos tipis dan celana panjang yang tidak terlalu tebal.

Match Made in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang