“Fan, kamu kapan mau nyusul Kyra?” Ini pertanyaan kesekian kali yang keluar dari mulut Miya—ibu Fanny.
“Bu…”
Fanny sebenarnya sudah jengah dengan pertanyaan ini, namun melihat dari sorot mata ibunya yang sendu membuat ia tidak kuat sendiri. Fanny bukan tak ingin menikah seperti Kyra. Pada nyatanya keadaan tak sesuai dengan ekspektasi.
Fanny terlalu takut.
Pernah terluka begitu dalam karena sebuah pengkhianatan, membuat Fanny menutup diri dari pria mana pun. Buka luka yang ditorehkan langsung oleh lawan jenis, melainkan luka yang diberikan oleh ayahnya sendiri.
Laki-laki satu-satunya yang ia percaya, nyatanya memberi luka yang begitu dalam dan tak tersentuh. Fanny—saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar—melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sang Ayah membawa wanita lain ke rumah. Saat itu, Miya harus ke luar kota karena ada pelatihan selama tiga hari. Dan selama itu pula lah, wanita itu tinggal di rumahnya.
Alih-alih memberitahunya sebagai teman, Ayahnya itu benar-benar mengenalkan wanita itu sebagai pacarnya kepada Fanny. Fanny yang masih duduk di kelas lima SD hanya bisa menerima dan bertanya-tanya. Sampai akhirnya ia bertanya langsung kepada ibunya.
Dan saat itulah, keluarga mereka benar-benar hancur. Fanny menyaksikan sendiri pertengkaran orang tuanya. Ia melihat dengan mata kepalanya, Miya dipukuli oleh ayahnya. Orang tuanya bercerai tidak lama setelah Fanny bertanya perihal pengakuan Ayah soal ‘pacar’ pada Miya.
Dan sejak saat itu juga, Fanny menutup diri pada lawan jenis.
“Nggak semua laki-laki seperti ayahmu, Nak.”
Miya menatap Fanny dengan sendu. Ia mengerti atas luka yang membekas dalam hati anak semata wayangnya itu. Namun, ia juga ingin Fanny memiliki seseorang yang akan menjaga dan membimbingnya sampai akhir hayat, sebelum Miya meninggal.
Fanny menggenggam tangan Ibunya. Ia menatap lembut wanita paruh baya itu. Tatapan sendu Miya selalu menjadi cubitan tersendiri di hati Fanny.
“Ibu nggak perlu khawatir, ya? Kalau Fanny udah menemukan orang yang tepat, Fanny nggak akan menunda lagi.”
Tidak ada yang bisa Fanny katakan lagi selain itu. Ini hanyalah satu-satunya cara untuk menghindari pertanyaan lanjutan dari Ibu.***
“Ra?”
“Eh, iya, Mas?” Kyra tentu saja terperanjat akibat panggilan Ezra yang tiba-tiba, sedangkan ia sedang asyik melamun.
“Melamun lagi?”
Ezra kini sudah duduk di sampingnya dengan membawa sepiring potongan buah apel, pir dan mangga. Tangan Ezra terulur dan menepuk puncak kepala Kyra.
Sepulang dari dokter kandungan tadi, Kyra dan Ezra memang bungkam tak banyak bicara sepanjang perjalanan. Bahkan, saat sampai rumah pun, mereka hanya diam. Ezra membiarkan Kyra duduk termenung di depan televisi, sementara ia mengerjakan yang lain.
Kyra menatap Ezra dengan sendu. Rasa kecewa akan harapannya sendiri itu begitu membuncah saat tertampar oleh sebuah fakta, “Mas, aku salah, ya, terlalu berharap?”
Ezra menggeleng. Ia membawa Kyra ke dalam pelukannya. “Nggak ada yang salah, Ra. Berharap itu manusiawi. Semua orang berhak punya harapan, tapi mereka juga perlu tahu akan segala risikonya. Termasuk kecewa.”
“Mas kecewa juga?”
Ezra mengangguk, lalu menggeleng secepatnya. “Saya memang kecewa, tapi itu membuat saya berpikir bahwa ada harapan lain di sana.”
Kyra mengernyitkan alisnya bingung.
“Kalau kita belum dipercaya untuk diberi momongan, itu artinya Tuhan memberi waktu untuk kita untuk lebih mengenal lagi dan tentu saja kita nggak boleh menyerah gitu aja,” ucap Ezra cukup panjang.
Kyra mengangguk mengerti.
Pikirannya seketika tertuju pada penjelasan dokter kandungan tadi. Saat melakukan pemeriksaan kehamilan dan USG, belum ada tanda-tanda janin berada di kantung rahim Kyra. Hal ini tentu saja membuat harapan mereka yang melambung tinggi, terjun bebas seketika.
Namun, dokter itu bilang, untuk hasil yang lebih meyakinkan, Kyra dianjurkan untuk datang kembali dua minggu mendatang. Karena kemungkinan hamil itu ada.
Kyra tanpa sadar mengelus perutnya yang datar itu, “Kalau ternyata dua minggu kemudian, hasilnya belum hamil juga?”
“Kita pacaran dulu aja, Ra! Nggak usah khawatir, ok?” ucap Ezra dengan senyuman lembut, lalu mengecupi puncak kepala Kyra.
Toh, benar kata Ezra. Mereka berhak pacaran dulu, karena masa perkenalan mereka terlalu singkat saat menuju jenjang pernikahan. Lagipula pernikahan mereka baru menginjak bulan ke empat, yang artinya perjalanan mereka masih panjang.
Kyra mengangguk dan tersenyum tipis ke arah Ezra.
Dalam pelukannya, Ezra meraih tangan Kyra dan memainkan jemari lentik wanita itu.
“Ra…”
Panggilan Ezra membuat Kyra mengadahkan kepalanya agar dapat melihat wajah suaminya itu. Ezra menatap Kyra dengan lembut.
“Jangan simpan semua sendiri, ya? Kamu boleh menumpahkan apa pun yang mengganggu pikiran. Ada bahu saya di sini,” ucap Ezra dengan menepuk antara bahu dan dadanya.
Kyra mengangguk pelan, kemudian menelusupkan wajahnya ke dada Ezra dan tak menunggu lama tubuh wanita itu bergetar. Tembok air mata Kyra yang sempat dibangun, runtuh sudah. Kyra menangis di pelukan Ezra, meluapkan seluruh rasa kecewanya hari ini dan dia bersyukur memiliki Ezra dalam hidupnya.“Jangan pernah tinggalin aku, ya, Mas!”
“I’ll always beside you, no matter what, Ra.”
Ini bukan bualan. Ini janji Ezra pada dirinya sendiri dan juga Kyra.To be continue...
GIMANAAAA?
Soal hamil kemarin, uhm... 👉👈 kita tunggu kata Dokter dua minggu lagi, ya! 🤣Pendek banget, ya ini? Yaudah, besok aku update lagi, deh, kalo inget tapinya. Ya, kalo enggak, besoknya lagi, atau besok-besoknya lagi.🤣
Sebagai bonus dan permintaan maaf karena part ini sedikit.
Kacau sih, nggak tau konsepnya gimana dah ini editan. Yang paham maksudku, tolong jelasin!🤣Terima kasih sudah main-main di sini. Semoga makin betah, ya! Luuuuuvvvvvv💜
See you on next chapter!
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Made in Heaven
Romance[Pemenang ke-III Kategori Best Script di Event MAC2024 oleh Penerbit Prospec Media] "Mereka benar-benar pasangan yang serasi." "Kyra dan Pak Ezra bersatu, wesss pasti anaknya serbuk berlian, guys!" Uhm... Jadi, apa benar Kyra dan Ezra pasangan yang...