Chapter 18

2.6K 207 37
                                    

Takdir memang selalu di luar kendali manusia. Harapan serta ekspektasi terkadang urung menjadi realita. Bukankah sudah seharusnya apa pun yang terjadi, kaki ini siap untuk sekuat batu karang yang dihempas sang ombak?

Tidak sanggup berdiri. Ezra benar-benar sudah tidak bisa menopang tubuhnya dengan baik, setelah mendengar penjelasan dokter beberapa menit lalu. Tubuhnya yang menahan ke tembok pun beringsut turun. Kursi khusus penunggu seolah kehilangan fungsi. Ezra terduduk di lantai.

Apa yang baru saja didengarnya itu benar?

Ezra kini berada di lorong tepat depan ruangan tempat Kyra berada. Memandang lirih pintu yang kini menjadi sekat antara mereka berdua.

"Maafkan Papa, Nak!" racau Ezra benar-benar kacau.

Setelah mendapat telepon dari Kyra tadi, Ezra segera melesat secepat mungkin. Suara tangisan Kyra membuat perasaannya tak enak. Ia yakin ada sesuatu terjadi pada istri yang ia cintai itu.

Benar saja, mata Ezra terbelalak saat mendapati Kyra meringkuk kesakitan di teras halaman belakang, dengan bekas darah yang berceceran cukup banyak.

"Ra?"

Ezra segera meraih tubuh Kyra dan memastikan wanitanya harus tetap sadar. Hatinya mencelos nyeri saat melihat wajah Kyra begitu pucat dan ketakutan. Ditambah lagi dengan air mata yang membasahi wajah, serta darah yang mulai mengering di pelipis kiri.

"Mas..." Bibir Kyra bergetar. Ia menumpahkan lagi isak tangisnya. "Perut aku sa-kit hiks!" adu Kyra sembari memegang perutnya yang sangat sakit luar biasa.

Mata Ezra beralih menatap ke arah bagian bawah. Lagi-lagi ulu hatinya terasa seperti ditusuk belati. Di tangan kiri Kyra yang tengah memegang perut itu terdapat luka gores yang cukup besar, dan celana istrinya itu pun terlihat banyak noda berwarna merah.

Ini tidak bisa dibiarkan. Ezra harus segera mengambil tindakan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ia harus membawa Kyra ke rumah sakit segera, dan berharap Kyra dan bayi yang ada dalam kandungannya baik-baik saja. Walau sebenarnya banyak pertanyaan di kepala Ezra, tentang apa yang terjadi saat ini.

"Kamu tenang, ya, Ra. Kita akan mendapatkan pertolongan secepatnya," ucap Ezra yang langsung membopong tubuh Kyra dengan hati-hati.

Tanpa pikir panjang, Ezra membawa Kyra ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, Kyra segera mendapatkan perawatan, sementara Ezra menunggu di luar dengan perasaan yang tak menentu.

Dan benar saja. Takdir kali ini tidak berpihak kepadanya. Terlalu cepat baginya untuk menerima bahwa ada yang hilang dari hidupnya.

Ezra memang menyesali keputusannya, tapi ia akan lebih menyesal jika harus kehilangan Kyra. Demi menyelamatkan sang Istri, ia harus mengikhlaskan janin yang ada di perut Kyra, karena pendarahan yang cukup hebat akibat benturan.

"Maaf..." racau Ezra lagi.

Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan Ezra saat ini, selain remuk dan hancur. Kehilangan calon buah hati yang mereka nanti, tentu saja membuat Ezra terluka. Namun, yang ia juga khawatirkan saat ini adalah kondisi Kyra setelah mengetahui hal yang baru saja terjadi pada mereka.

"Saya harus bagaimana, ya Tuhan?" lirih Ezra putus asa.


***


Berpikir jernih serta bersikap biasa saja saat berduka, bukanlah hal yang mudah. Hal ini mulai diusahakan Ezra sejak ia menghubungi kedua orangtuanya dan Kyra perihal yang terjadi.

"Keadaan Kyra sekarang gimana, Za?"

Ezra dapat melihat raut panik yang ditampilkan kedua orangtua Kyra yang baru saja datang ke rumah sakit.

Rana-ibunda Kyra-langsung memeluk Ezra dengan erat. Wanita paruh baya itu menangis di pelukan Ezra, sembari mengusap punggung menantu satu-satunya itu.

"Keadaan Kyra membaik, Yah. Hanya saja ada retakan di tangan kiri dan pemulihan setelah kuretase," jawab Ezra setelah mertuanya melepaskan pelukan.

Semuanya mendadak hening. Hanya terdengar kesibukan orang-orang yang berlalu lalang di koridor rumah sakit, serta suara isak tangis dari Rana. Sementara itu, Ezra dan Fikri-Ayah Kyra-hanya bisa terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Ezra dapat merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Sontak ia menoleh ke arah pemilik tangan itu. Sang papa mertua sedang menatapnya sendu.

"Ayah tau ini bukan hal yang mudah bagi kalian, tapi Ayah harap apa pun yang terjadi kalian dapat menyelesaikannya dengan baik," ucap Fikri yang mencoba memberi energi positif untuk menantu kesayangannya itu.

Ezra mengangguk, dan bergumam lirih, "Baik Ayah. Semoga..."

Lagi-lagi setelah itu mereka terdiam. Berita duka ini memang membuat perasaan sebagai orang dekat tidak menentu. Patah hati akan kehilangan buah hati yang dinanti, pergi tanpa permisi.

Seorang berpakaian serba putih datang menghampiri Ezra dan kedua orang tua Kyra yang berada di kursi tunggu.

Kyra sudah sadar. Begitu yang Ezra dengar dari dokter. Namun perasaannya begitu tak karuan mendengar kesadaran sang istri. Jantungnya seketika berdegup lebih kencang lagi. Bukan apa-apa, Ezra hanya belum siap mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.

Ezra takut hati Kyra terluka. Melihat sang istri sedih sama saja seperti menabur garam pada luka yang masih basah. Perih tak tertahankan. Siap tidak siap, apa lagi yang harus Ezra lakukan selain mengatakan yang sebenarnya dan tetap berada di samping Kyra.

"Ezra..."

Ezra terperanjat setelah mendengar panggilan kesekian dari sang mertua. Ia melamun terlalu lama.

"Maaf, Bu, Yah."

Ezra menarik napas dalam-dalam, dan memejamkan matanya sesaat. Berharap perasaannya tenang barang sedikit saja.

Ezra menoleh ke arah Fikri dan Rana, ia meminta izin untuk melihat Kyra terlebih dahulu. Karena saran sang dokter cukup satu orang yang bisa menemani Kyra untuk saat ini, maka orang tua Kyra mengalah untuk menunggu giliran melihat putri semata wayang mereka.

Tangan Ezra gemetar. Untuk mendorong daun pintu saja, tangan itu terasa basah. Bukan hanya itu, Ezra sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak meluncur bebas. Ia harus tampak kuat di depan Kyra. Bukankah begitu?

Cklek!

Pintu ruangan itu terbuka. Mata Ezra langsung menatap sosok yang tengah berbaring di bangsal. Perasaannya terhantam pilu saat mulai mendekat dan melihat lebih jelas lagi. Sosok wanita yang sangat dicintainya terlihat begitu pucat dan lemah.

"Mas Ezra?" Suara Kyra terdengar begitu lirih.

Dengan sigap Ezra membantu Kyra yang sedang berusaha untuk duduk dan bersandar di bangsal yang sudah disetel setengah berbaring.

Tatapan mata Ezra dan Kyra saling bertemu. Keduanya terdiam beberapa saat, membaca masing-masing perasaan lewat tatapan mata.

Bruk!

Tak lama, tubuh Kyra menubruk dada Ezra. Wanita itu memeluk Ezra dengan kuat, meski di sela itu ia meringis nyeri karena luka di tangan kirinya.


Sementara Ezra yang sempat terkejut, lekas membalas pelukan Kyra dan mengusap punggung istrinya itu.

"Maafin aku, Mas."

Tangis Kyra seketika pecah. Bukan hal mustahil kalau wanita itu sudah mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Tubuh Kyra berguncang di dalam pelukan Ezra. Ia menumpahkan perasaan campur aduk akibat kehilangan calon anak-yang bahkan belum pernah mereka temui.

Sedih, kecewa, marah, menyesal, semua berkumpul menjadi satu.

"Ini semua salahku, Mas," racau Kyra di tengah tangisannya.

Ezra sontak menggeleng. Ia mengelus puncak kepala Kyra dan mengecupnya berkali-kali, "Nggak Ra, nggak ada siapapun yang salah di sini."

Deru napas keduanya terdengar memburu dan terasa sesak. Memang siapa yang harus disalahkan akan takdir?

"Kalau aja aku mau lebih sabar lagi, nggak akan kejadian kayak gini. Adik bayi pergi, Mas," sesal Kyra yang kerap menyalahkan dirinya sendiri. Ini benar-benar penyesalan terbesarnya.

Ezra kembali menggeleng. Lidahnya kelu untuk sekadar menjawab kata-kata Kyra. Ia takut salah bicara. Namun, Ezra tetap berusaha untuk menenangkan istrinya itu.

"Iya, kan, Mas?" Kyra mengadahkan kepalanya agar dapat melihat raut wajah suaminya itu. "Adik bayi pergi dan aku yang membunuhnya," sesal Kyra dengan nada frustrasi.

"Nggak Kyra!" sergah Ezra dengan napas yang memburu.

Mata Ezra sedikit membesar. Hatinya tertohok dengan kata-kata yang dilontarkan Kyra. Ia menatap lamat-lamat wanita yang sudah menjadi teman hidupnya itu.

Ini adalah bagian terkacau dalam hidup Ezra saat melihat Kyra terluka. Bibir yang biasa mengumbar senyum, kini terlihat pucat dan datar. Mata yang selalu berbinar, kini seolah tak ada cahaya di dalamnya. Kyranya tidak baik-baik saja.

"Aku pembunuh, Mas." Kyra terus meracau tak jelas sambil menangis pilu. "Aku pem-pptt."

Tak bisa dibiarkan, Ezra menangkup wajah Kyra dan membungkam bibir sang istri dengan bibirnya. Keduanya saling bertaut meluapkan emosi yang tertahan.


To be continue...

Ya, gimana? 😭😭😭

Terima kasih yorobun sudah bersedia baca ceritakuuuu. Borahaeeee💜💜

See you on the next part!

Luv,
HD💜

Match Made in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang