Chapter 14

3.5K 254 24
                                    

“Mas, liat sepatu flat biru aku, nggak?”

Kyra turun dari tangga dengan langkah tergesa. Ia baru ingat bahwa ada jadwal meeting dengan perwakilan brand fashion lokal siang ini. Bisa-bisanya Kyra melupakan hal penting ini. Jika bukan karena Fanny yang menjadi alarmnya, tamatlah sudah riwayat Kyra.

“Di rak sepatu?” ucap Ezra yang lebih mengarah pada pertanyaan.

“Nggak ada!” Kyra harus menemukan sepatu itu. Karena sepatu biru itu adalah satu-satunya sepatu yang cocok dengan outfitnya hari ini.

Ezra yang sedang menyiapkan beberapa buku pun mulai terinterupsi dengan pergerakan Kyra yang ke sana ke mari. Usai menyimpan buku-buku itu ke dalam ranselnya, Ezra menghampiri Kyra.

“Terus di mana?”

Kyra mengerucutkan bibir mendengar pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir suaminya itu. “Kalo aku tau, nggak akan nanya, Mas,” keluh Kyra.

Ezra terkekeh menyadari kebodohannya sendiri. Ia mengulurkan tangannya menepuk puncak kepala Kyra.

“Kamu sarapan dulu, gih. Biar sepatunya saya yang cari. Nanti nggak keburu, loh!” titah Ezra sembari membawa tangan Kyra dalam genggamannya lalu menariknya lembut agar mengikutinya ke meja makan.

“Terus Mas Ezra nggak akan sarapan? Kalo gitu, biar aku aja yang cari sepatunya.” Kyra mencoba bangkit dari kursi meja makan, namun ditahan oleh Ezra agar tetap di tempatnya.

Ezra—yang berada di samping kursi istrinya itu, menekukkan lututnya di lantai agar sejajar dengan Kyra—yang terduduk di kursi. Ezra menangkup wajah manis dan cantik itu dan mengusapnya pelan.

“Saya pasti sarapan, kok. Nggak usah khawatir, ok? ”

Ezra menyunggingkan senyum menenangkan. Senyum kotak yang selalu menjadi candu bagi Kyra. Tangan Kyra perlahan menyentuh jemari Ezra yang ada di pipinya dan mengusapnya dengan lembut.

“Kalo gitu, Mas nggak usah cari sepatu aku. Kita sarapan bareng aja, ok?” tawar Kyra berbalik.

Ezra menggeleng pelan. Kalau begini ceritanya, ini tidak akan selesai. Ezra melepaskan tangkupan tangannya, lalu menjawil hidung Kyra gemas.

“Begini, Kyra sayang, kamu sarapan dulu, biar saya yang cari sepatu kamu. Nggak bakal lama, kok. Lagian kamu harus ke basecamp pagi. Udah banyak yang kamu lakukan sejak subuh untuk saya, mengurusi perlengkapan hingga isi perut saya. Jadi, biar sepatu itu saya yang cari,” ucap Ezra dengan sorot mata tajam nan lembut secara bersamaan.

“Ta—pi.”

Ucapan Kyra terhenti karena serangan tiba-tiba di bibirnya. Hanya beberapa detik, namun mampu membuat Kyra membeku. Singkat dan berbahaya.

“Anggap saja, saya pangeran yang sedang mencari sepatu kaca milik Cinderkyra, ok?”

Ezra mengedipkan sebelah matanya, lalu bangkit dan mengusap puncak kepala Kyra sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Kyra

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ezra mengedipkan sebelah matanya, lalu bangkit dan mengusap puncak kepala Kyra sebelum akhirnya menghilang dari pandangan Kyra.

“Apa itu tadi?” gumam Kyra yang tanpa sadar menyentuh bibirnya yang lembab.


***


“Gue nggak ngerti kenapa nyokap gue sengotot itu ingin gue nikah?” Fanny meneguk minuman bersoda berwarna bening itu dengan cepat. Ia seperti kehausan dan frustrasi secara bersamaan.

Kyra dan Fanny sedang berada di ruangan khusus istirahat di basecampnya. Hanya berdua.

Kyra yang baru saja membalas pesan pada Ezra pun secara otomatis menyimpan handphonenya. Ia menoleh ke arah Fanny yang terlihat tak biasa. Gadis itu terlihat lebih apa, ya? Pokoknya alis yang bertaut hingga membentuk guratan di dahi itu sangat menjelaskan betapa beratnya masalah yang sedang dihadapi Fanny.

“Terus lo menghindar dari nyokap lo?”

Kyra tahu betul bagaimana Fanny tiap kali menghadapi pertanyaan ajaib dari Mamanya. Jika tidak menghindar, gadis itu akan menjawab dengan jawaban yang super ngaco.

“Sorry, ‘menghindar’ bukan lagi sahabat gue,” ucap Fany dengan mengangkat bahunya tak acuh.

Fanny sadar, menghindar bukanlah pilihan yang tepat untuk kali ini. Melihat wajah sendu Mamanya membuat Fanny lebih sering berpikir ulang. Entah mengapa ia lebih sering merasa bersalah tiap kali ada di momentum seperti itu.

“Terus? Lo jawab apa?” tanya Kyra penasaran.

“Ya gue bilang aja, gue bakal nikah kalo gue udah nemu orang tepat,” jawab Fanny sesantai mungkin.

“Orang yang tepat yang lo maksud itu kayak gimana, Fan?”

Netra cokelatnya menerawang langit-langit. Fanny menghela napas kasar.  Setelahnya, ia menelan saliva dengan susah payah.

“Yang nggak kayak bokap gue. Yang nggak selingkuh, yang nggak jahat, yang nggak suka nyiksa, yang nggak mabuk-mabukkan.” Meski terdengar nada bercanda, namun tersimpan harapan dalam setiap kata-katanya. “Minimal yang kayak Pak Ezra lah!” Fanny seketika menyeringai jail ke arah Kyra.

Kyra yang saat itu sudah terenyuh dengan permintaan Fanny, seketika hilang sudah rasa harunya. Sebuah jitakan keras tidak tanggung-tanggung mendarat di dahi Fanny yang berponi miring itu.

“Bercanda anjir!” ringis Fanny sembari mengusap-usap dahinya yang terasa kebas.

“Bercandaan lo nggak lucu! Lo mah bawa-bawa suami gue terus, kalo ngobrolin soal calon suami.” Kyra bangkit dari duduknya sambil menahan tangis. “Gue nggak suka!”

“Ra? Kok lo nangis?” Fanny seketika panik melihat Kyra yang menutup wajahnya dan menangis di tempat ia berdiri. “Sumpah, Ra! Gue bercanda doang tadi. Pak Ezra emang ganteng, baik juga, tapi bukan tipe gue itu mah.”

Sepertinya klarifikasi Fanny tidak berbuah manis. Ucapan itu tidak didengar oleh Kyra, karena wanita itu segera pergi keluar ruangan.

“Anjir si Kyra, sensi banget! Masa gitu doang mewek?” gumam Fany terheran-heran.

Keadaan secepat itu berubah. Fanny tahu betul memang karakter Kyra yang seringkali berubah seperti roller coaster, tapi yang ini sepertinya sedikit berbeda.

“Kyra kenapa?”

Suara yang tak asing menyambut Fanny saat ia keluar dari ruangannya. Ia berniat menyusul Kyra pada awalnya, namun dihadang sosok jangkung yang menatapnya penasaran.

Fanny mengangkat bahunya, lalu berjalan melewati sosok itu begitu saja. Yang ingin Fanny lakukan adalah menyandarkan tubuhnya di sofa secepat mungkin. Sebuah helaan napas panjang berembus tak terelakkan.

“Jawaban gue belum lo jawab,” ucap sosok itu lagi yang kini sudah duduk tepat di samping Fanny.
Fanny mendengkus. “Gue aja nggak ngerti, gimana gue mau jawab pertanyaan lo?”

“Gue tebak, lo pasti bilang Pak Ezra ganteng, kan?”
Ini orang satu, selain kepo, sok tau pula. Gerutu Fanny dalam hati. Tapi…

“Nggak salah, sih, tapi masa karena gue bilang Pak Ezra ganteng aja Kyra nangis? Biasanya juga ngejitak doang. Ya, sengamuk-ngamuknya, nggak pake nangislah.”

Fanny merasakan sebuah sentilan kecil tepat di dahi yang kena jitakan Kyra tadi. Gadis itu menegakkan tubuhnya, kemudian melebarkan mata menatap kesal sosok di hadapannya itu.

“Njir! KEN! Ngapain lo ikutan jitak kepala gue?” sungut Fanny tak terima.

Ken, sosok yang bersama Fanny itu hanya terkekeh geli sembari mengelus-elus dagunya yang bebas janggut itu. Kedua tangan pria itu terulur menepuk bahu Fanny.

“Denger, ya, Fan. Menurut gue, wajar banget kalo si Kyra marah. Pertama, yang lo puji-puji itu Pak Ezra, suaminya. Kedua, lo itu sahabatnya Kyra. Coba lo pikir, gimana kabarnya Kyra yang tiba-tiba punya sahabat pelakor? Aww!” Kali ini kepala Ken yang kena dampratan cukup keras di bahunya. Sebelum gadis itu angkat bicara, Ken memberikan isyarat dengan tangannya agar Fanny terdiam. “Bentar, gue belum selesai. Lo bisa bales ucapan gue kalo gue udah kelar bicara.”

Fanny mencebik, namun ia menuruti kata-kata pria menyebalkan itu.

“Kenapa gue bilang pelakor? Gini, ya, sekarang itu lagi musim banget fenomena macam itu. Suami selingkuh sama sahabat istrinya. Ini mungkin ketakutan Kyra, tapi bukan berarti Kyra nggak percaya sama lo. Kita nggak tau segimana Tuhan membulak-balikkan hati manusia, bisa aja lo bilang bercanda, tapi bisa jadi perasaan itu bukan perasaan main-main.”

Ken berbicara sudah seperti pakar perasaan sungguhan. Dengan gaya songong sekaligus tengilnya, pria itu berhasil membuat Fanny bungkam. Semua kata-kata Ken memang masuk akal.

Fanny terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia menolehkan kembali wajahnya ke arah Ken. “Gue nggak pernah mikir sedikitpun buat khianati sahabat gue sendiri,” gumamnya lirih.

Ken tersenyum tipis, “Gue percaya.”

Keduanya terdiam beberapa saat. Keadaan basecamp mendadak sunyi. Kyra menghilang entah ke mana, dan beberapa staff pun tak ada di ruang utama tempat mereka berdua berbicara.

“Satu lagi!” ucap Ken tiba-tiba. Ia menatap Fanny dengan antusias. “Kayaknya, daripada lo puji-puji Pak Ezranya Kyra, mending lo puji gue aja. Gue lebih ganteng malah. Dijamin, nggak akan ada yang ngamuk,” lanjut Ken dengan tingkat kepercayaan dirinya yang melebihi batas.

Mata Fanny sontak membulat. Bibirnya mengerucut sebal. Ken memang tampan, juga kaya raya, tapi  ia playboy kelas kakap.

“Ogah! Mending gue puji Pak Salam aja, dah!” amuk Fanny sambil bangkit dari duduknya.

“Dia udah punya anak lima, eh. Lo mau jadi pelakor?”

Fanny menundukkan tubuh, mendekatkan bibirnya ke telinga Ken—yang masih duduk di sofa, lalu berteriak tanpa aba-aba, “BODO AMAT!”

Ken mengusap-usapkan telinganya yang seketika berdengung sembari memperhatikan punggung Fanny yang menjauh dan hilang di balik pintu.

Tak lama sosok lain muncul di pintu yang lain.

“Gimana, Ken? Gagal lagi, ya?”

Helaan napas dalam-dalam Ken adalah sebuah jawaban.

To be continue...

Gimana-gimana?
Menurut kalian, wajar nggak kalau Kyra marah gara-gara Mas Ezranya dipuji terus sama sahabatnya sendiri? 😬

Tadinya mau ku-up dua hari lalu, tapi karena masalah kesehatan jadi kupending. Nggak kuat liat huruf-huruf lama-lama. 🤣

Terima kasih sudah bertahan membaca cerita ini. Borahaeeee💜

Jaga kesehatan ya, kalian! Jangan sampai sakit! 🤗

See you on next chapter!

Luv,
HD💜

Match Made in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang