“Lo kenapa, sih? Gue perhatiin aneh kelakuan lo.”
Kyra menatap Fanny dengan raut kebingungan. Jelas saja, sejak tadi sahabatnya itu lebih sering memajukan bibirnya dibanding tersenyum. Belum lagi gerutuan-gerutuan tak jelas.
“Lo kalau ada masalah cerita sama gue, sih. Biasanya juga cerita mah cerita aja,” protes Kyra lagi.
Akhir-akhir ini Kyra sering merasakan ada yang berbeda dari Fanny. Gadis itu terlihat lebih anteng dari biasanya dan banyak diam. Bukankah itu sangat tidak mencerminkan sosok Fanny yang powerful dan berisik?
Fanny memilih tidak menjawab. Ia hanya kembali mengambil keripik kentang di dalam toples, dan juga membuka toples berisi kastengel. Memang, di rumah pasangan Kyra dan Ezra ini selalu tersedia beberapa camilan—yang sengaja di-stok untuk menemani di waktu-waktu bosan.
Kyra dan Fanny sedang menikmati waktu senggangnya di rumah Kyra. Mereka tidak ada jadwal kerja, sebelum dua hari yang akan datang harus berangkat ke Lombok. Sementara Ezra, pria itu harus tetap ke kampus karena ada urusan mahasiswa yang belum diselesaikan.
Kyra mendengkus tak terima. Seribu cara akan Kyra lakukan demi mendapatkan informasi yang dialami sahabatnya itu.
“Karena lo nggak mau jawab, kayaknya gue mau tanya Ken aja, deh.” Umpan pertama sudah Kyra lemparkan. Mata wanita itu menyipit menyelidiki pergerakan Fanny.
Dan…
Gotcha!
Seringaian jail terbit di wajah Kyra.
Fanny langsung menyimpan toples-toples itu dan menatap Kyra dengan tatapan yang sulit diartikan. Dengan heboh Fanny menggeleng keras. Ia segera memegang kedua tangan Kyra, agar wanira itu tidak menggunakan handphonenya untuk menghubungi Ken.
“Jangan!” Mata Fanny melotot seketika, lalu mendengkus sebal, “Lo nggak usah berurusan sama itu Boprik!”
“Hah? Boprik? Ken?”
“Iya! Siapa lagi? Si Ken itu Boprik. Bocah prik!”
“Bocah prik? Emang dia freak gimana, sih?”
“Gini ya, lo pikir aja sendiri. Gila aja! Itu anak udah nyipok gue, besoknya datengin nyokap gue buat ngelamar gue! Emangnya dia siapa? Pacaran aja kagak. Sakit emang!” Fanny meringis sembari memegang kepalanya yang mendadak cenat-cenut. “Kepala gue yang sakit, sih!”
“Hah?” Mata Kyra membulat sempurna, tidak lupa juga dengan mulutnya yang ikut terbuka. Ini sebuah fakta yang mencengangkan. “Lo cipokan sama si Ken?”
“Daebak!” pekik Kyra dengan mata yang seketika berbinar.
Sial! Fanny salah bicara.
“Terus, nyokap lo gimana? Gue yakin Tante Miya pasti seneng, sih, ada yang lamar jadi mantunya.” Membicarakan ini, Kyra benar-benar sangat antusias.
“Nah! Ini yang lebih gila! Nyokap gue main setuju-setuju aja. Gue berasa nggak dianggap. Seharusnya, kan, keputusan ada di tangan gue.”
Sebuah senyum terbit di wajah Kyra. Wanita itu menepuk pundak Fanny pelan. “Sorry to say, tapi gue lebih setuju sama Tante Miya, sih. Soalnya, kalau nunggu deal sama keputusan lo, itu mah sama aja nyuruh lo jadi perawan tua. Nggak kelar-kelar. Lagian, Ken baik, kok. Dia juga mapan dan menurut gue, dia sayang sama lo.”
“Hilih!”
Sebenarnya Fanny tidak menutup mata. Apa yang dikatakan Kyra itu memang benar adanya. Soal kemapanan ataupun perasaan. Sekalipun Ken menyebalkan di mata Fanny, namun ia dapat merasakan perlakuan Ken padanya tidak semenyebalkan itu.
“Jalani dulu aja, Fan. Nggak ada salahnya, kok,” ucap Kyra sembari tersenyum lebar.
Fanny menghela napas lelah. Jika sudah begini, dia benar-benar kehilangan kesempatan untuk menolak.
***
“Mas beneran cuma bawa baju segini?” tanya Kyra yang sedang sibuk mempacking pakaian untuk ke Lombok lusa.
Mereka berdua duduk lesehan di karpet bulu-bulu yang terbentang di kamar. Jika di hadapan Kyra adalah dua buah koper yang terbuka, serta beberapa potong baju. Sementara di hadapan Ezra terdapat sebuah kotak P3K berukuran cukup besar—yang biasa disimpan di kamar mereka. Ia sedang memindahkan beberapa isinya ke kotak yang lebih kecil—agar bisa dibawa ke mana-mana.
“Emang harusnya segimana?” Bukannya menjawab, Ezra justru bertanya balik.
Kyra yang sedang fokus, mau tak mau menoleh ke arah suaminya dengan wajah bingung, “Ya, kan, kita semingguan di sana.”
Ezra mengangguk-anggukan kepalanya sembari tersenyum, “Cukup, kok. Nggak usah khawatir.” Tangannya terulur menepuk puncak kepala Kyra.
“Beneran?” tanya Kyra meyakinkan. Pasalnya bawaan suaminya itu tidak seperti orang yang akan berlibur. Ini lebih mirip bawaan Kyra ketika menginap di rumah Mami selama tiga hari. “Atau mau aku siapin tiga pasang baju lagi?”
“Ra, kita ke sana mau liburan, bukan mau pindahan.”
Karena biasanya, jika ada pekerjaan ke luar kota pun, Ezra tidak pernah bawa baju banyak-banyak. Maksimal dua potong baju per hari dan itu bisa dipakai beberapa kali.
Kyra berdecak mendengar jawaban Ezra—yang terlihat tak begitu peduli dengan baju-baju itu, “Nanti kalau misal bajunya basah gimana? Nanti kan di sana kita main air, belum lagi keringetan. Pasti butuh bawa baju banyak itu.”
Jauh berbeda dengan Ezra, Kyra justru lebih terbiasa membawa banyak baju—sekalipun hanya sebentar. Bukan apa-apa, kalian tahu kan pepatah ‘Sedia payung sebelum hujan’? Nah! Itu yang selalu diterapkan Kyra setiap kali liburan atau bekerja di luar kota.
“Ya udah, saya ngikut kamu aja,” balas Ezra pasrah.
“Idiiiih, kepaksa!”
Mendengar omelan Kyra, Ezra terkekeh geli. Ia baru saja menyelesaikan packing kotak P3K, dan tidak ada lagi yang bisa Ezra lakukan selain memerhatikan Kyra yang tengah menyusun baju-baju mereka ke dalam koper.
Awalnya Ezra ingin membantu, namun Kyra melarang keras. Alasannya sederhana, agar Kyra ingat posisi barang-barangnya itu. Alhasil, Ezra dilanda kegabutan sekarang.
“Mas, liatinnya biasa aja, bisa?” celetuk Kyra tiba-tiba.
Bibir Kyra mengerucut malu-malu saat masih mendapati Ezra yang tengah menatapnya intens. Tidak sadarkah wahai insan, jika pandangannya itu berhasil membuat diri ini tak karuan?
“Biasa aja gitu, loh,” kata Kyra lagi sembari menghalau pandangan Ezra dengan telapak tangannya.
Ezra menggeleng sembari menahan senyum.
“Huft!” Mendengkus sepertinya sudah menjadi hobi Kyra. Kyra terus berceloteh dengan menggebu-gebu, “Asal Mas tau, ya! Diliatin cowok ganteng itu capek tau! Jantung aku nggak mau diem, nih!” ucapnya dengan memegang dadanya—mendramatisir.
Jika melihat ini, Ezra yakin seratus persen kalau Kyra-nya sudah kembali seperti dulu. Ceplas-ceplos polos dan menggemaskan.
Kali ini Ezra tidak bisa menahan tawanya lagi, ia menjawil pipi tembam Kyra dengan gemas. “Nggak apa-apa capek, yang penting masih hidup.”
“Hah?” Rasanya rahang Kyra jatuh seketika. Ia tidak mengerti maksud ucapan suaminya itu.
“Iya, kan, kalau jantung kamu diem, nanti kamunya mati, Sayang!” jelas Ezra pada akhirnya.
Sial!
Ada dua kesialan yang menimpa Kyra saat ini. Harus menerima jokes bapak-bapak yang garing, dan juga panggilan Sayang dari sang suami—yang selalu membuatnya ketar-ketir sendiri.
Kyra tidak tahu Ezra ini sedang melawak, atau sedang menggodanya. Huft.
Kyra meringis sendiri, “Mas Ezra ngelawaknya kayak bapak-bapak, ih! Garing!” protesnya tak tanggung-tanggung.
Tak ambil hati, Ezra hanya tersenyum menanggapi kefrontalan istrinya itu. Tangannya terulur menepuk-nepuk puncak kepala Kyra.
“Nggak apa-apa. Yang penting, saya adalah bapak dari anak-anak kamu nanti, Ra,” ucap Ezra tak lupa dengan senyum jenaka di wajah tampannya.
Sementara Kyra…
Emang paling bisa ini si Bapak-bapak bikin muka gue kayak udang rebus, tapi guenya malah makin cinta. Sialan!To be continue...
Gimana-gimana?
Cieee Fanny dilamar! Terima! Terima! Terima!😂Ini lagi, pasutri packing aja ribet. Kalau kalian tipe kayak Kyra atau Ezra? Kayaknya, Ezra adalah aku. Wkwkwk.
Terima kasih sudah membaca ceritaku ini. Lopyuuuu. 💜
Jangan lupa jaga kesehatan, ya! Cuacanya lagi kurang bagus. 🙃
See you on the next chapter!
Luv,
HD💜
KAMU SEDANG MEMBACA
Match Made in Heaven
Romance[Pemenang ke-III Kategori Best Script di Event MAC2024 oleh Penerbit Prospec Media] "Mereka benar-benar pasangan yang serasi." "Kyra dan Pak Ezra bersatu, wesss pasti anaknya serbuk berlian, guys!" Uhm... Jadi, apa benar Kyra dan Ezra pasangan yang...