H A L A L 04

26K 4K 293
                                    

Birendra terus mundar-mandir tak karuan sambil menggigit jari telunjuknya. Bingung, Birendra sangat bingung untuk memulai percakapan di depan orang tuanya.

"Saya harus gimana!"

"Ma, Pa, anakmu telah membuat kesalahan."

"Kesalahan apa?" Birendra mengernyit. Merasa janggal dengan ucapannya sendiri.

"Ma, Pa, Birendra udah rusak anak orang."

"ASTAGFIRULLAH! Di sangka bikin balon, dong!"

Duduk di sisi ranjang seraya memikirkan kalimat yang pas saat diucapkan, Birendra mengambil ponselnya untuk menghubungi Baika. "Hallo,"

"Apa?"

"Bai, punya solusi gak?"

"Lo punya masalah apa?"

"Besar, Bai."

"Kayak balon?"

"Tapi banyak bulunya."

"Di kerok dulu. Jangan lupa pakai pelumas."

"Bai, saya serius. Masalah saya besar."

"APA MASALAH LO, JENGGOT! Gimana mau kasih solusi kalo masalah lo aja gue gak tau!"

"Ah, lupa." Birendra terkekeh.

"Soal kemarin, Bai. Saya pernah cerita ke kamu, kan?"

"Em yang itu? Ribet banget idup lo! Kalo lo mau memperpanjang masalah, lebih baik lo nikahin dia!"

"Saya juga mikir gitu."

"Lo punya modal? Punya biaya? Punya tabungan yang cukup buat kehidupan lo sama dia kelak? Mikir bro! Lo bukan anak orang terkaya se-dunia! Lo bukan CEO muda yang punya perusahaan sendiri."

Birendra memandang layar ponselnya dengan raut kesal, "Saya bukan tokoh fiksi dalam novel yang sering kamu baca!"

"Ya terus? Duitnya gimana?"

"Yang penting sah. Gak usah besar acaranya."

"Tujuan sebenarnya lo telfon gue apa?"

"Mancing emosi."

"You know beruk? Its you, jurig!"

Tut.

"Cukup menghibur."

Birendra mengusap rambutnya yang sedikit basah menggunakan handuk. Melihat pantulan dirinya di depan cermin seraya tersenyum, Birendra mencoba menyemangati diri untuk mengungkapkan kejujuran.

Berjalan keluar kamar menuju meja makan, Birendra menengok ke bawah tangga yang ternyata kedua orang tuanya telah menunggu di sana.

"Rere udah shalat isya?"

Birendra mengangguk.

"Ikan asin mana?" Birendra menarik kursi di samping Tina lalu duduk di sana. Matanya meneliti setiap hidangan yang tersaji di meja makan. Melihat makanan sekaligus cemilan favoritnya tak tersedia membuat Birendra merasa kehilangan.

"Stok habis." Tino menjawab.

Kedua sudut bibir Birendra tertarik ke bawah. Merasa sedih karena sebagian kebahagiaannya tak ada hari ini. Mau bagaimana pun, Birendra mencoba menerima dan selalu bersyukur dengan apa yang ada.

"Gak pa-pa kalo gak ada. Siapa tau besok ada."

Tina mengusap lembut pundak anaknya. Merasa iba melihat raut Birendra yang berubah seketika. "Ada kok. Mama taruh di piring dulu ya."

JALUR HALAL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang