"Rere udah dong marahnya!" Amma menarik ujung kemeja Birendra saat menaiki tangga. Cowok itu tak mengeluarkan sepatah kata pun semenjak keluar dari mobil. Amma tau Birendra masih marah padanya.
"Birendra! Kalo gak ngomong aku cubit nih." Mengambil tangan Birendra lalu menunjukan jemarinya di depan Birendra yang bersiap untuk menyapit. "Mau aku cubit?"
Birendra masih diam dengan wajah datar.
"Ih! Rere kok gitu!"
"Saya gak marah, Amma." Menarik Amma dalam dekapan hangatnya, Birendra tersenyum tipis kala Amma memukul dadanya. Mana mungkin ia betah lama-lama mendiami
Amma."Saya gak pernah marah sama kamu."
"Tapi diem-diem gitu! Gak suka di cuekin aku tuh." Amma memeluk Birendra kian erat.
"Iya Amma. Saya gak cuekin kamu lagi. Kamu mau cubit saya juga gak pa-pa kok. Cubitnya jangan keras-keras. Cukup rasa suka saya aja yang keras." Birendra terkekeh.
"Gak jadi." Amma melepas pelukannya. Menarik tangan Birendra untuk segera masuk ke dalam kamar.
"Kayaknya yang telfon kamu laki-laki di depan gerbang itu, deh. Siapa namanya? Bolham?" Birendra mengernyit.
"Neon, Re! Bukan bolham!" Amma terbahak.
"Ah, iya itu. Dia dapet nomer kamu dari mana coba?"
Amma terdiam sejenak. Tadi Neon memang sempat meminjam ponselnya, tapi Amma rasa laki-laki itu hanya memesan gojek dan tak lebih dari itu.
"Kamu yakin dia?"
Birendra menggeleng. "Saya gak mau suudzon."
"Ayo belajar. Biasanya saya selalu belajar setelah subuh, lebih nyantol aja materinya." Birendra duduk di kursi dengan buku di tangannya.
"Re, aku udah belajar semampunya tapi kenapa nilaiku selalu pas-pasan?" Amma cemberut.
"Gak apa-apa. Jangan jadikan nilai sebagai penentu kebahagiaan." Birendra tersenyum.
"Yang penting udah usaha buat jadi bisa. Kalo hasilnya gak sesuai yang diharapkan mungkin belum rezeki. Gak pa-pa kecewa tapi jangan berlarut-larut."
"Kamu mau belajar sekarang atau selepas subuh?" Birendra bertanya.
Amma mengambil beberapa buku dan alat tulis, "Sekarang aja. Nanti subuh dibaca lagi."
"Aku duduk di depan meja belajar boleh?"
Birendra mengangguk. "Gak ada yang larang, Amma."
Berada dalam satu ruangan yang sama dengan laki-laki dan mengerjakan suatu pekerjaan yang perlu di sematkan dalam pikiran membuat fokus Amma terganggu. Boro-boro ada niatan mau baca buku, lirikan mata pengennya ke arah Birendra terus. Diam-diam Amma melihat Birendra yang tengah membaca. Masyaallah.... Indah betul ciptaan Tuhan.
Menghadap kembali pada buku yang berada di atas meja, Amma membuka halaman berikutnya. Memahami materi berapa saat, pandangan Amma kembali lagi pada Birendra. Stop! Ini salah! Bisa-bisa nilai ujiannya bertambah hancur jika seperti ini.
"Jangan lirik-lirik gitu. Kalo mau liatin terang-terangan aja. Kan udah halal, Ma." Birendra mendongak, memandang Amma dengan senyum tipis hingga membuat perempuan itu salting di tempat.
"Amma kayak anak kecil ya." Birendra terkekeh. Piyama dengan gambar boneka dengan lengan pendek dan celana panjang, ditambah rambut cewek itu yang tergerai, membuatnya terlihat lebih cute.
"Aku tinggi loh, Re!" Amma cemberut.
"Masa? Kalo lagi jalan berdua kayaknya tinggian saya." Birendra tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALUR HALAL [TAMAT]
Teen Fiction"Ma, Rere harus tanggung jawab!" "KAMU HAMILIN ANAK ORANG?!" "Rere udah pegang tangan perawan, Ma!" *#* "Kamu tidur dimana?" "Kata Mama sepasang suami istri harus tidur berdua. Kalo pisah ranjang nanti dosa." "Aku gak mau," Birendra menarik tangan...