Amma mengusap air matanya yang terus mengalir. Sejak satu jam lalu ia telah sah menjadi seorang istri. Hidup bersama seseorang yang sama sekali tak ia kenal bahkan melihat wajahnya saja jarang namun sekarang mereka telah bersama dalam ikatan sakral untuk waktu yang panjang.
Ijab kabul telah berlangsung satu jam lalu. Acara ini tidak begitu besar hanya berisikan keluarga inti keduanya serta saudara dekat diantara mereka. Sejak acara dimulai Vero tidak terlihat sama sekali. Entah dimana ia berada namun hal tersebut membuat Amma kecewa dan khawatir.
Amma terus menunduk saat Tina duduk disampingnya. Dia masih merasa canggung dan sungkan saat membuka suara. Amma juga bingung, haruskah ia membuka pembicaraan terlebih dahulu? Bimbang tengah ia alami saat ini. Deketan sama camer bikin tremor, Say.
"Amma,"
Amma mendongak saat Tina memanggilnya. "Iya Tante?"
"Kok Tante?" Tina cemberut.
"Panggil Mama dong. Bunda juga boleh." Tina merangkul Amma lembut.
"Mama?" Amma bergumam lirih. Kata-kata itu tak pernah ia ucapkan semenjak seseorang yang telah melahirkannya pergi.
"Iya kamu harus panggil Mama. Atau apa aja deh senyamannya kamu. Teteh atau kakak juga boleh biar dikira muda." Tina terkikik.
"Amma kenapa diem aja? Terpaksa ya nikah sama Rere?"
"Iya." Amma menjawab jujur.
Tina tersenyum, "Rere itu gak pernah deket sama cewek mana pun selain mama dan saudaranya. Semenjak kecil dia gak pernah main sama anak perempuan. Mama selalu ngajarin dia untuk jangan mendekati perempuan sebelum ada niat untuk menghalalkan."
"Kamu tau kan zaman sekarang pacaran itu seolah menjadi hal biasa. Bahkan sebagian orang merasa bangga karena memiliki seorang pacar. Banyak pula kasus remaja yang dinyatakan hamil sebelum menikah. Sangat memprihatinkan, namun tak ada yang dianggap salah dan benar."
"Mama gak mau Rere sampai salah pergaulan apalagi ada niatan untuk pacaran. Bukan karena Mama gak percaya sama dia hanya saja Mama takut hawa nafsu tiba-tiba menguasai dirinya."
"Dan Mama sangat bersyukur karena Rere selalu patuh akan nasihat Mama. Dia gak pernah membantah ataupun bertingkah diluar batas wajar selama ini."
"Semakin beranjak dewasa Rere semakin menjaga tingkahnya terhadap lawan jenis. Bahkan waktu SD semua teman perempuan di kelas ngejar-ngejar Rere sampe rumah." Tina terkekeh.
"Rere sampe gak bisa tidur loh, Am. Setelah sentuhan tangan sama kamu."
Amma termangu. Matanya mengerjap beberapa kali. Merasa sangat speechless mendengar penjelasan Tina. Begitu kepikiran kah? Amma saja tak peduli dengan kejadian itu.
"Serius, Ma?"
Tina mengangguk, "Pernah waktu itu Mama harus temenin dia tidur. Soalnya pas Mama buka kamar dia tengah malem, dia masih melek sambil baca Qur'an. Sebenernya Rere yang minta, Mama juga sempat debat panjang sama Papa waktu itu."
"Birendra masih tidur sama Mama?" Amma bertanya.
"Dia kalo lagi manja ngalahin bayi ditinggal emak satu menit, Am. Nempel mulu bawaannya. Mungkin suatu saat dia bakal bertingkah sama pada kamu." Tina terkikik.
Amma mengusap kedua pipinya yang terasa hangat. Kenapa ucapan Tina membuat jantungnya berdegup tak terkira. Mana mungkin Birendra bisa sedekat itu padanya.
"Tenang aja Am. Kalo Rerw nakal kamu harus nakalin duluan. "
"Mana bisa nakalin. Natap matanya aja ragu." Amma meringis dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALUR HALAL [TAMAT]
Teen Fiction"Ma, Rere harus tanggung jawab!" "KAMU HAMILIN ANAK ORANG?!" "Rere udah pegang tangan perawan, Ma!" *#* "Kamu tidur dimana?" "Kata Mama sepasang suami istri harus tidur berdua. Kalo pisah ranjang nanti dosa." "Aku gak mau," Birendra menarik tangan...