"Sial!"
Seorang perempuan dengan rambut juncir kuda memandang dengan sorot kecewa melihat kepergian mobil Birendra. Rencana yang telah berjalan setengahnya mendadak sirna begitu saja. Andai pacarnya tak memergoki ia saat di perpustakaan, mungkin ponsel Amma akan ia bawa sampai sekarang.
Sebentar lagi, namun gagal.
Ingin menjebak Birendra dan membuat hal yang tak di sangka-sangka namun nyatanya itu hanya ilusi semata.
Bibir tipisnya menyeringai. Sekarang tak apa gagal, masih banyak kesempatan untuk mengusik mereka.
"See you!"
☘
"Kita nikah udah berapa lama?" Birendra bertanya.
"Kurang lebih satu bulan." Amma bertutur.
"Satu bulan? Kayaknya baru satu minggu," Birendra mengernyit.
"Amma, temen-temen saya banyak yang pacaran. Padahal jelas-jelas agama kita melarang. Saya heran, positifnya pacaran apa ya?"
"Ada yang support, mungkin." Amma mengedikan bahu.
"Selain itu?"
"Ada yang merhatiin."
"Lalu?"
"Punya pelampiasan pas gabut." Amma nyengir.
"Kok kamu hafal? Kamu pernah pacaran?"
"Ish, nggak!" Amma cemberut. "Hana sering curhat ke aku. Jadinya tau dikit-dikit."
Birendra mengangguk. Seketika mulutnya berhenti mengunyah dengan tatapan kosong. "Amma,"
"Iya?"
"Tanggal jadian kita berapa?"
Amma melongo. Mulutnya sedikit terbuka mendengar pertanyaan Birendra. Gimana ya jawabnya. Gimana Amma harus menjawab pertanyaan macam ini? Di tegasin atau di elusin? Astagfirullah!
"Bi, kita udah nikah."
"Jadi gak punya tanggal jadian ya?" Birendra bertutur. Wajah polosnya sungguh membuat Amma gemas.
"Tanggal jadian gak penting. Toh, yang akan dikenang adalah tanggal kematian." Amma tersenyum.
"Saya selalu berdoa yang terbaik untuk kita berdua, Amma. Jangan ngomong aneh-aneh soal kematian. Saya gemeter dengernya." Birendra bangkit dari rebahannya lalu berjalan keluar kamar.
Diam-diam Amma mengikuti Birendra sampai di dapur. Memperhatikan laki-laki di depannya yang tengah membuka bungkus ikan asin hingga aromanya menguar ke penjuru ruangan. Aneh, Birendra suka ikan asin tapi mulutnya gak pernah bau. Apakah dia langsung gosok gigi setelahnya? Atau mulut Birendra punya aroma penyedap tersendiri? Kalo pun iya, Amma ingin meminta resepnya.
Birendra menengok ke belakang, tatapannya langsung tertuju pada Amma. "Ma,"
"Em?"
"Gorengin," Birendra menunjuk ikan asin di tangannya.
Amma mengambil alih ikan asin di tangan Birendra lalu mulai menggorengnya. Amma sengaja menggoreng ikan tersebut secukupnya. Sedikit demi sedikit Amma akan mengurangi jumlah ikan asin yang di konsumsi Birendra.
"Kok gak semua?"
"Secukupnya aja, Re. Yang berlebihan itu gak baik."
Amma membawa piring berisi ikan asin tersebut lalu menyodorkannya pada Birendra yang tengah duduk dengan wajah tertekuk. Heran, semakin lama mengenal Birendra sikapnya selalu berubah-ubah. Apakah dia punya alter ego? Tidak! Tidak mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
JALUR HALAL [TAMAT]
Teen Fiction"Ma, Rere harus tanggung jawab!" "KAMU HAMILIN ANAK ORANG?!" "Rere udah pegang tangan perawan, Ma!" *#* "Kamu tidur dimana?" "Kata Mama sepasang suami istri harus tidur berdua. Kalo pisah ranjang nanti dosa." "Aku gak mau," Birendra menarik tangan...