"Please... terima bunga ini, Ma." Neon memandang Amma penuh harap. Mengabaikan tatapan Birendra yang memandangnya tajam, Neon hanya ingin bunga ini sampai pada seseorang tujuannya. Jujur, wajah menggemaskan itu terlihat menyeramkan seketika.
"Ini dalam rangka apa?" Amma mengernyit kala Neon memberikan bunga tersebut.
"Terima aja, gue jelasin lewat chat."
"Gak usah!" Birendra mengambil bunga tersebut lalu menyembunyikannnya dibelakang pungung. Memandang Neon dengan tatapan datar, Birendra menarik tangan Amma untuk lebih dekat dengannya. Tahan, ia masih dapat menahan emosi yang kian membara. Ingin berbuat kasar, namun ia masih waras untuk melakukan itu.
"Hapus nomor Amma dari ponsel kamu. Gak usah hubungi dia lagi. Kalau ada perlu apa-apa hubungi nomor saya." Memberikan kartu identitas yang tersedia dalam sakunya, Birendra segera menarik Amma untuk pergi. Kebetulan Pak supir sudah ada di tempatnya menunggu.
Amma hanya mampu terdiam. Ingin membuka suara saja rasanya ragu sebab wajah itu terus menampilkan raut tak bersahabat. Amma takut, bingung juga harus berbuat apa. Birendra bukan tipe pemarah, tapi sekalinya bertemu dengan hal yang tidak disuka pasti akan terus terdiam hingga mood cantik menghampiri.
"Cepet jalan, Pak." Birendra berujar ketus.
"Rere.." Amma memegang tangan Birendra namun langsung ditepis oleh pemiliknya.
"Kok marahnya sama aku?" Amma cemberut, mencubit pelan tangan Birendra.
Tak peduli, Birendra masih dengan mode silent dengan alis mengernyit. Meskipun ia tak sepatutnya merajuk pada Amma, namun tetap saja rasa kesalnya masih mendominasi hingga ia memilih berdiam saja.
"Jangan kacangin dong, Re..." Amma menyandarkan kepalanya pada bahu Birendra. Mengambil tangannya lalu mengusap lembut jemari lentik itu. Terkadang Amma insecure melihat jari miliknya tak secantik milik Birendra. Namun tak apa, yang penting punya jari lengkap sudah Alhamdulillah.
"Rere...."
"Kan kamu yang nerima bunga itu, bukan aku. Kenapa marahnya sama aku, sih! Jangan bikin aku gemes, deh. Nanti aku gigit nih..." Amma hendak memasukkan jari telunjuk Birendra ke mulutnya namun langsung ditarik oleh si pemilik.
"Mulut aku gak bau kok." Amma cemberut.
Gimana ya, mau bertingkah agresif tapi malu kalo Pak supir lihat. Kalo gak di ganasin Birendra gak mungkin luluh dengan mudah. Sabar, Amma akan mengeluarkan jurus maut turunan leluhur saat sampai di rumah.
Seulas senyum terbit dibibirnya. Memandang Birendra seraya mendekatkan wajahnya ke telinga kanannya, Amma berbisik. "Jangan marah, dong. Nanti kalo sampai rumah aku peluk kamu erat-erat. Gak mau dilepas sebelum kamu mau ngomong sama aku."
"Pausteng nyeremin kalo lagi marah. Aku siram pake basmallah kira-kira dapat berkah gak ya?"
Birendra melirik Amma sekilas.
"Ih, kok cuma lirik doang?"
"Terus?" Birendra berucap pelan.
"Ini..." Amma menunjuk keningnya.
"Apa?"
"Cium."
Birendra memalingkan wajahnya. Menahan bibir maka yang hendak melengkung menciptakan senyuman. Sial! Gadis ini sangat pandai mengaduk perasaan Birendra.
"Diam."
Amma cemberut. "Oke. Aku yang cium kamu kalo udah sampe."
Tanpa mereka sadari, Pak supir mesem-mesem sendiri melihat interaksi dua remaja tersebut dari spion atas. Duh.... Jadi kangen istri tiba-tiba. Doi lagi apa yaa?
KAMU SEDANG MEMBACA
JALUR HALAL [TAMAT]
Teen Fiction"Ma, Rere harus tanggung jawab!" "KAMU HAMILIN ANAK ORANG?!" "Rere udah pegang tangan perawan, Ma!" *#* "Kamu tidur dimana?" "Kata Mama sepasang suami istri harus tidur berdua. Kalo pisah ranjang nanti dosa." "Aku gak mau," Birendra menarik tangan...