26

71 16 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.







"Maaf."

Beomgyu hanya bisa menggeleng kecil ketika sang ibu mengutarakan maaf. Merasa bersalah seketika, pun merasa ringan di waktu yang sama.

"Maaf, Beomgyu, Mama minta maaf—"

"Mama tau nggak," selanya cepat, tersenyum menatap sang ibu, "Tau nggak betapa kagetnya aku waktu Mama bilang mau menikah. Padahal kemarin kita mengunjungi makam Papa."

"... Gyu—"

"Aku kira, kemarin, cuma acara makan ibu dan anak—ditambah teman Mama. Tapi ternyata pengumuman pernikahan? Ma, kenapa nggak bilang sebelumnya?"

Sang ibu tidak punya jawab. Menatap nanar manik anaknya tanpa berucap.

Beomgyu juga demikian. Meski menatap kecewa, pemuda itu mengulas senyum lebar, "Awalnya aku nggak rela. Aku kira Mama sudah melupakan Papa."

"Tapi aku memikirkan ini seharian. Aku nggak mau Mama susah sendiri, aku nggak mau Mama selalu lelah sendiri, aku nggak mau Mama kesepian. Kalau menikah membuat Mama lebih bahagia, kenapa tidak? Aku akan coba... untuk menerima mereka jadi keluarga."

"Beomgyu, terima kasih..."

"Haha, Mama sudah lihat kantung mata Mama? Aduh, kapan terakhir Mama istirahat dengan benar?" Beomgyu mengusap wajah sang ibu, tidak ingin melihat ibunya menangis lagi.

Layaknya anak paling bahagia di muka bumi, Beomgyu tersenyum lebar, tidak lagi menatap kecewa, namun girang, "Kalau menikah dapat menghilangkan kantung mata dan lelah Mama, aku mendukung. Maaf kemarin membuat Mama sedih, eoh, jangan menangis."

"Ayahmu pasti bangga anaknya tumbuh dengan kasih seperti ini. Beomgyu, maaf, terima kasih juga, nak. Maaf Mama jarang memerhatikanmu di rumah, maaf Mama membuatmu marah dan kesepian. Eh, Beomgyu juga nggak boleh nangis."

Sang ibu tertawa kecil melihat mata anaknya yang berkaca kaca. Mengusap titik kecil di sudut mata kemudian memeluk sayang.

Katanya, "Kamu harta karun Mama yang paling berharga. Terima kasih sudah mau mengerti."

Di lain sisi, Yeona dan ayahnya mengambil waktu yang cukup lama untuk mengobrol.

Bahkan sempat hampir bertengkar, namun urung ketika sang ayah menyebut mendiang ibunya.

"Bukan maksud Papa menggantikan posisi ibumu, nak, bukan!"

Yeona terdiam, masih menunggu kelanjutannya tanpa ingin menatap ayahnya.

"Maaf, maaf Papa jarang memerhatikanmu karena sibuk, maaf kita jarang menghabiskan waktu berdua akhir akhir ini. Maaf karena membuatmu marah. Tapi ayahmu ini tidak pernah sekalipun terpikir untuk menggantikan posisi ibumu, Na."

"Papa paham, ibumu juga punya posisi sendiri di hati Papa. Tapi Papa juga ingin kamu tidak kesepian, Papa juga mau kamu merasakan figur ibu sekali lagi."

"Tidak ada yang bisa menggantikan Kim Yoora, ibumu, itu benar. Bora datang juga bukan untuk menggantikan, bahkan menyingkirkan posisi ibumu. Dia datang untuk menjadi figur ibu kedua di rumah kita. Dia datang menjadi bagian dari keluarga dengan mengambil tempat baru, bukan merebut tempat lama."

Yeona menghela napas panjang, mencerna sebentar sembari berpikir.

Kata Taehyun, semua proses butuh waktu. Semua akan baik baik saja selagi memahami perasaan.

Maka gadis itu mengakhiri obrolan dengan senyum tipis, "Aku mengerti."

"Maaf, Pa. Aku terlalu kaget kemarin, aku kalut, aku marah, aku kesal. Tapi aku nggak membenci siapapun."

"Kalau saja Papa bilang dari awal dan tidak mengejutkan seperti kemarin, mungkin aku punya waktu mencerna lebih banyak."

"Hah... Maaf, aku akan mencoba mengerti. Dan mungkin menerima... ibu keduaku."

Yeona menoleh, menatap ayahnya sebentar sebelum melanjutkan, "Tapi Papa bahagia, kan? Dengan ibu Beomgyu?"

"Nak—"

"Jawab jujur, Pa. Selama Papa bahagia, aku akan coba mendukung dan mengerti. Bukannya itu yang selalu Mama ajarkan? Selama kita bahagia, lanjutkan saja."

Sang ayah menepuk pelan kepala anaknya, mengusak sejenak, "Terima kasih, Yeona, terima kasih banyak."

Selagi yang punya masalah sedang mengobrol, keluarga Kang duduk di ruang tengah. Menunggu siapa yang lebih dulu selesai dengan masalahnya.

Bahkan tidak sungkan sungkan menggosip sedikit soal apa yang terjadi.

"Oh? Kenapa cuma Mama yang nggak tau?" protes Nyonya Kang, menuangkan teh untuk seluruh tamu mereka yang masih mengobrol—satu di teras, satu di halaman belakang.

Taehyun mengendikkan bahu, "Mama sibuk mencetak fotoku."

"Hahaha, benar. Ibumu semangat kalau soal album foto."

"Ey, tapi foto itu kenangan! Belum Mama pasang di album foto fotonya, kamu mau bantu, Hyun?"

"... Besok saja. Aku masih mau mengurus OSIS sebentar."

"Sponsor ya? Astaga, kamu mirip sekali dengan ayahmu."

Yang disebut mencibir, "Taehyun bahkan lebih aktif daripada aku dulu, sayang."

Selagi orang tuanya mengobrol, Taehyun melirik ke halaman belakang, juga ke teras. Diam diam cemas juga apa teman temannya akan baik baik saja.

"Tenang saja. Mereka anak anak baik yang sebenarnya penurut. Jangan khawatir, Hyun."

Taehyun menoleh, menatap ayahnya yang menyesap teh. Kemudian mencibir, "Siapa juga yang khawatir. Aku cuma takut Yeona tiba tiba marah dan membanting barang. Ini kan rumah kita."

"Hahahaha."

"Siapa yang marah dan membanting barang?"

Suara Beomgyu mengambil atensi. Sudah kembali setelah berbincang dengan ibunya, bahkan wajah pemuda itu terlihat lebih sumringah.

"Yeona mana?" tanyanya lagi.

"Belum selesai. Duduk dulu, minum," suruh sang tuan rumah.

Berbasa basi dan tertawa sejenak di ruang tengah, Yeona dan ayahnya bergabung setelah sekian menit.

Kemudian pembicaraan orang dewasa berlanjut, sementara para anak anak memilih sibuk di meja makan, menikmati es krim.

"Jadi kalian sepakat?" tanya Taehyun.

"Aku sepakat," sahut Beomgyu, mengangkat sendoknya kemudian melirik Yeona.

Merasa jadi pusat perhatian, Yeona mengernyit, "Apa?" tanyanya.

Masih santai makan es krim dengan memeluk kakinya di atas kursi. Bahkan tidak peduli meski ujung bibirnya ada bekas es krim.

"Kamu mendukung?" ulang Taehyun, memgambilkan tisu.

"Oh... Soal itu... Yah, semua proses butuh waktu, jadi... aku akan mencoba prosesnya," jelas Yeona, meletakkan es krimnya yang sudah habis.

"Wah, kalian saudara sekarang."

Beomgyu menggeleng, "Belum, tapi akan."

"Hah..." Yeona ikut menyahut, "Krisisku sekarang adalah memikirkan kalau dia dan aku tinggal serumah. Hyun, apa kamu mau menampung aku?"

"Nggak. Urus sendiri saudaramu."

"Ck, Beomgyu, kita harus buat beberapa aturan rumah."

Pemuda itu mengangguk, setuju, "Seperti makanan di kulkas adalah milikku—AGH JANGAN DIPUKUL AKU BERCANDA!"

"AKU! AKU PEMILIK KULKAS YA!"

"HYUN BANTU AKU—AW!"

"Kalian bahkan belum tinggal serumah tapi aku bisa membayangkan kekerasan dalam rumah tangga?"

tbc

Serangkai, Katanya [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang