21) Penyaksian Cinta

1.2K 120 0
                                    

Aku nggak harus nunggu berbulan - bulankan buat dapatin hakku?

Sejak pagi suasana di perumahan dirundung gerimis, niat untuk ke kampus pun aku tunda. Bukan karena tidak ada kendaraan, mobil kesayanganku, aku bawa ke rumah Mas Dana kok. Dan sekarang pun, dia masih bergelung di kasur, tidak biasanya setelah salat, lelaki itu kembali tidur.

Kalau di rumah Mas Zeo, setelah salat subuh saja, dia langsung sibuk persiapan ngantor. Segan kayaknya, secara rumah iparnya kan.

Aku keluar dari kamar mandi, Mas Dana masih lelap sekali. Jam di dinding sudah menunjukkan angka 08.45 Wib.

" Mas, nggak mau bangun? Bentar lagi jam sembilan." Aku mengguncang pelan tubuhnya.

Dia melengguh, justru menarik selimut hingga ke atas dada.

Ih, siapa yang bilang mau masakin aku setiap pagi? Jangan - jangan itu cuma bujuk rayu saja biar aku mau ikut pindah.

" Lapar ya..." Sindirku, duduk di tepi ranjang sembari memainkan handphone.

" Pesan online aja, Na. Itu pakai handphone Mas di atas meja." Perintahnya dengan mata tertutup.

" Mas capek banget apa? Tumben jam segini masih tidur." Aku membaringkan diri di atas perutnya, sebab posisi tidurnya saat ini tengah telentang.

" Lumayan, tadi malam banyak kerjaan di kantor." Ia sedikit kaget mendapati sikapku, harum shampo yang aku kenakan mengacu adrenalin siapapun, mungkin termasuk dia.

" Mbak Vayuna kan ada, kalau rasanya ada yang nggak bisa kamu selesaikan sendirian, minta bantu dong."

" Untuk sementara, Mas tangani sendiri pekerjaan paling penting yang menyangkut dokumen - dokumen berharga."

" Kenapa?" Aku menatap matanya.

" Mas kan harus mendengarkan kata istri, kemarin kamu bilangnya gitu."

Aku terkekeh," kenapa nggak di rumahkan aja sih Mas, dia berpotensi membuat perusahaanmu hancur loh."

" Dan nggak baik juga, menghilangkan rezeki orang lain. Pun sampai detik ini, Mas belum tahu, kesalahan apa yang dia lakukan. Semua masih berjalan selayaknya pekerjaan sekretaris."

Helaan napas sebal aku tujukan pada Mas Dana." Ingat ya Mas, antara baik kebangetan dengan goblok itu beda tipis sekali. Hati - hati kamu..."

" Bahasanya kasar gitu Na, sakit gendang telinga Mas mendengarnya." Ia tertawa kecil, menarik hidungku yang mancung." Cantik banget, mau kemana?"

" Aku sih di mata Mas Dana cantik terus, sampai bingung kapan jeleknya."

" Ya, nggak ada jeleknya. Emang cantik. Mau kemana?" Ia mengulang pertanyaan.

" Nggak kemana - mana, di rumah aja. Mau ngampus masih hujan, jalanan juga pasti banjir."

" Keramas gini, kayak abis diapain aja sama Mas tadi malam."

" Aku mencubit lingkaran hitam yang berada di sisi kirinya. Apa coba?

Dia meringis kesakitan.

" Jangan di sini juga nyubitnya, Na."

" Itu yang paling aman," aku memutar bola mata malas.

Lagi - lagi, tawanya mengisi ruangan kamar Mas Dana yang super mewah dan rapi, mengesankan bagiku sebagai seorang istri.

" Kapan ya Na, Mas punya waktu untuk nggak nunggu lama."

" Maksudnya nunggu apa?" Aku menatapnya sedikit bingung, pernyataannya agak rancu buat dipahami.

Sah Negara( COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang