22) Hari Deras

1.2K 126 0
                                    

Sudah bismillah, eh, ternyata hari deras.

Aku baru saja siap membersihkan diri setelah Mama Mas Dana pamit pulang, itu juga wejangannya banyak sekali. Bukan tentang makanan kesukaan Mas Dana, mempermasalahkan ketidakmahiranku dalam urusan dapur atau minimnya tugaskus sebagai seorang istri. Ya, Mama Mas Dana bukan orang tua kolot - kolot banget, kalau seorang istri harus bisa segala macam urusan rumah, dari memasak, mencuci, dan sejenisnya. Nggak sesadis itu sih mama mertuaku, bahkan dia menyarankanku untuk mencari asisten rumah tangga saja agar tidak kelelahan.

Wejangannya adalah keturunan dari darah dagingnya, cucu yang akan melanjutkan perjuangan usaha Mas Dana yang berserakan disetiap sudut Indonesia. Ya, bisa dikatakan, suamiku adalah keturunan orang kaya ke - lima di Indonesia. Kalau aku memberi Mas Dana anak, maka masa depan anakku akan aman dan damai sentosa.

Masalahnya, bisa nggak? Aku selalu merasa gelisah, bukan karena Mas Dana tidak tampan, tidak baik, tidak perhatian atau pengertian, tidak wangi atau tidak maskulin.

Dia paket komplit kok.

Sayangnya, aku belum mampu menyerahkan hatiku, entah jika ragaku nanti malam, semoga bisa.

Nasib dinikahi anak tunggal kaya raya, gini nih, yang dibahas keturunan terus. Aku sampai pusing mendengar celotehan Mama mertua yang arahnya ngalor - ngidul dan aku hanya meringis, mengangguk, nyengir lalu jawab iya atau enggak. Nasib baik Papa Mas Dana minta istrinya itu pulang, kalau nggak, bisa sampai malam di rumah.

Masa iya, malam pertamaku dengan Mas Dana harus ada orang ketiga. Kan nggak etis.

Azan Magrib sebentar lagi berkumandang, suara mengaji dari masjid raya di kompleks terdengar merdu. Aku keluar dari kamar mandi, kaget mendapati Mas Dana dengan stelan kerja, berbaring di kasur. Tengah sibuk dengan handphone di tangan.

" Baru siap mandi, Dek?" Dia menjeling, rasa - rasanya panggilan yang ditujukan Mas Dana untukku beragam sih.

Ada Sayang, Yang, Na, Muna, Adek, kamu juga, nambah apa lagi?

" Yang Mas lihat gimana?" Aku mengeratkan pakaian mandi.

Dia tertawa kecil, bangun dari posisi berbaring." Tadi Mama lama nggak di rumah?" tanyanya padaku.

" Ya, cukup lama sih." Aku berjalan menuju lemari pakaian," kenapa emang?"

" Gapapa, nanya saja. Soalnya Mama nggak ngomong juga mau datang, untung kamu nggak lagi di luar, jadi Mas nggak mesti balik ke rumah terus ke kantor lagi."

" Kebetulan juga sih, belum lama aku pulang dari rumah Mbak Ciki, Mama datang."

" Tapi katanya tidur."

Aku menoleh ke belakang, meringis." Bohong, maaf ya." Ku lanjutkan lagi mencari pakaian yang pas dipandang mata.

" Oh, di bawah itu, baju siapa Dek? Dekat gantungan pengering, di kamar mandi?" Mas Dana bertanya.

Mataku membulat, aku lupa membawa pakaian ala - ala dinasku ke dalam kamar dan Mas Dana sudah melihatnya pula.

" Punya kamu ya? Masih baru itu, labelnya belum dicopot." Sambungnya lagi, sepertinya dia menatapku penuh kemenangan.

Sah Negara( COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang