12) Meeting Awal Bulan

1.1K 127 0
                                    

Dia istriku, istriku? Istriku?
Wajahku merah padam saat ini.


Dua belas hari, aku terjebak dilingkungan yang toxic, benar nggak sih? Sungguh menyedihkan, kiri kanan hanya namaku dan Dana yang terdengar. Sudah tidak Mas lagi, aku malas menyebutkan nama lelaki itu dengan panggilan yang dia pinta.

Dan selama dua belas hari pula, aku dan Dana terlibat perang dingin. Sesekali ada berselisih jalan, hanya saja sikap kami seperti saling tidak mengenal. Menjadi masalah bagiku? Oh, tentu saja tidak. Namun aku merasakan, dia terlalu dingin bahkan jauh tidak peduli. Menjeling saja enggan, apalagi sampai curi - curi pandang.

Dia lelaki yang jauh berbeda dari beberapa waktu lalu, saat kami masih berhubungan baik.

Dan anehnya lagi, aku di sini terus disingkirkan. Bahkan Mbak Vayuna pun tidak lagi menyuguhkan senyuman hangat, seperti saat - saat pertama kali aku terlibat skandal panas di kantor. Dia masih mau mengajakku berbicara, sekarang tidak sama sekali. Dan anehnya, aku tetap dipupuk pekerjaan menumpuk. Aku sering pulang malam. Kenapa aku menderita? Apa salahku? Mengapa mereka dendam sekali padaku.

Setelah menguatkan diri untuk berangkat ke kantor, aku keluar dari kamar untuk menemui Mas Zeo dan Mbak Ciki. Langkahku sudah lunglai, seakan - akan dua minggu ke depan lamanya seperti bertahun - tahun.

" Hei, Na. Kenapa murung?" Nada bicara Mas Zeo terdengar khawatir.

" Nangis itu, Mas." Susul Mbak Ciki pula.

" Ada apa Na?" Tanya Mas Zeo lagi, begitu lembut kearahku.

" Nggak ada apa - apa Mas." Jawabku lemah.

" Ada masalah di kantornya Mas, Muna digosipkan jadi simpanan Dana." Cerita Mbak Ciki pada sang suami.

" Loh, kenapa nggak bilang ke Dana?" Mas Zeo gagal menyuapkan nasi ke dalam mulut.

" Udah, yang ada malah berantem. Udah satu minggu lebih nggak teguran." Aku meneguk susu hangat di gelas," kamu tahu nggak sih Mas? Dana itu naksir aku?" Mataku mengarah pada Mas Zeo.

" Ya, tahu. Tapi kamunya kan yang nggak mau sama dia? Kalau Mas sih setuju aja kamu jadi pasangan Dana, malah Mas bisa tenang."

Jujur, aku semakin badmood mendengar jawaban Mas Zeo.

" Mas sama aja dengan Mbak Ciki." Kataku mendengus kesal.

" Berarti kamu yang beda," saudara lelakiku itu terkekeh tanpa beban." Sudahlah, nanti Mas bincangkan ke Dana, fokus saja magangmu agar cepat selesai."

Aku mengangguk, mengambil roti di piring, sudah dipanggang dan diolesi selai cokelat.

Tidak ada perbincangan yang tertuju padaku, Mas Zeo dan Mbak Ciki sibuk membahas pekerjaan kantor saja. Aku pun tidak tertarik untuk ikut campur.

" Na, besok Papa dan Mama datang ke Indonesia, nanti Mas ngomong ke Dana juga, untuk besok kamu nggak usah ngantor." Ujar Mas Zeo.

" Ya.." Aku mengangguk tanpa semangat, menghabiskan sarapan yang telah disediakan Mbak Ciki pada kami, di meja makan.

SAH NEGARA

Walaupun rasanya berat sekali kakiku melangkah ke bangunan pencakar langit milik Dana, namun aku punya tuntutan sebagai anak magang. Aku berazzam, kelak aku telah wisuda dan menerima ijazah Sarjana, aku tidak akan mengantarkan berkas lamaran kerja pada perusahaan ini. Sungguh, aku trauma berat.

Wajahku saat ini tampak pucat, semalaman tidak tidur. Bahkan disaat - saat paling sulit bagiku, Akasy menghilang begitu saja. Pesanku masih centang satu, semalaman ini aku diabaikan. Entahlah, terkadang aku juga bingung sendiri. Masih adakah cinta Akasy padaku?

Sah Negara( COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang