43

591 51 3
                                    

"Wi, meja nomer berapa?" Tanya Graciela sambil memperbaiki rambutnya yang agak berantakan. Dwi melihat ponselnya, "meja nomor 10 atas nama Bino Williams." Jawab Dwi membuat Graciela membeku.

"Lo kenapa?" Panik Dwi memegang bahu atasannya. "Lo yang hadepin dia Wi." Balas Graciela menatap sekretarisnya itu. Dwi menampakkan raut protesnya, "gak bisa gitu anjir. Emang kenapa sih?" Herannya. "Dia bokap gue. Belum saatnya dia tau Wi. Kalo dia tau semuanya, dia bakal ambil alih perusahaan yang gue rintis seenak jidat dia." Jelas Graciela.

"Okey, tapi traktir gue makan jengkol." Final Dwi menjentikkan jarinya. Graciela memutar bola matanya malas, tak urung dia menyetujui ucapan Dwi, "gampang."

Mata Dwi berbinar senang, "sip. Tunggu gue di pojok ya bu bos." Girang Dwi langsung ngacir ke meja yang sudah di tempati Bino. Sementara Graciela duduk di pojok restoran yang tentunya jauh dari jangkauan Bino.

Graciela memesan es lemon lalu menyeruputnya perlahan sambil memainkan handphonenya. Tak lama ada sebuah panggilan masuk, tertera nama Aurel disana membuat dahi Graciela mengerut heran, tak urung ia mengangkat telfonnya.

"Halo Rel?" Sapa Graciela ragu. Bukannya mendengar sapaan, justru ia mendengar isakan gadis itu. "Lo kenapa Rel?" Tanya Graciela karena tak biasanya Aurel menelponnya dalam keadaan menangis. "Lo hiks bisa bantu gue gak? Hiks gue b-bener bener butuh bantuan l-lo." Jawab Aurel lirih, sepertinya rival nya ini butuh bantuan. Tapi apa? Tak biasanya Aurel minta bantuan sampai seperti ini.

"Lo dimana?"

"Danau angsa."

"Gue kesana sekarang." Final Graciela memutuskan sambungan sepihak lalu mengambil selembar uang merah lalu meletakkannya dimeja. Ia segera beranjak dari mejanya setelah es lemonnya habis.

Ia hanya butuh 15 menit dari restoran itu ke danau menggunakan alphard miliknya. Sesampainya disana, matanya langsung menangkap sosok gadis berambut ombre merah dengan baju biru tua tanpa lengan sedang membungkukkan badan kedepan sambil menutup wajah dengan bahu bergetar. Dari warna rambut dan postur tubuhnya, Graciela yakin itu Aurel.

Graciela menghampiri Aurel dan menepuk bahu Aurel pelan, meski pelan ya Aurel tetap kaget. "Ada apa?" Tanya Graciela dengan nada sedikit lembut--mungkin?

Air mata mulai menggunung di pelupuk mata Aurel yang sudah sembab karena air mata, Aurel langsung memeluk Graciela dn terisak. "Ma-ma gue m-mau nikah hiks." Ungkap Aurel dengan terbata. Graciela mengerutkan kening, "bukannya bagus? Lo bisa punya ayah kan?" Tanyanya tak paham.

Aurel melepas pelukannya dan menatap Graciela, "memang, itu yang gue mau semenjak ayah gue meninggal. Tapi, laki laki yang mau nikahin mama itu yang jadi masalahnya. Lo tau siapa?"

"Enggak."

"Papa lo. Papa lo La!" Jawab Aurel, tangisnya pecah. Graciela membeku, papanya ingin menikah lagi? "Bukannya itu yang lo mau? Jadi kaya raya?" Tanya Graciela lagi. "Iya. Itu emang yang gue mau. But, do you know that my mom is a bitch? Mama selama ini kasar sama gue karena obsesinya sama uang. Kalo mama nikah sama papa lo, apa mama gue nggak akan jadi lebih kasar?" Jawab Aurel menahan sesak.

Graciela mematung, jadi selama ini Aurel korban kekerasan ibunya sendiri hanya demi uang?

"Dan, apa lo tau selama ini gue nyari masalah terus sama lo? Itu semua karena gue diawasin La. Mama selalu nyelipin penyadap di kerah seragam gue. Mama nyuruh gue buat cari masalah sama lo. Asal lo tau, gue dari dulu gak pernah mau punya masalah sama siapapun. Tapi ma-mama maksa." Ungkap Aurel membuat Graciela membeku lagi, terdiam. Sekejam itukah ibu kandung Aurel?

Aurel mengusap air matanya kasar, lalu menatap Graciela, "G-gue bisa bantu lo balas dendam atas kematian mama lo," tawar Aurel menyadarkan Graciela dari pikirannya. Ia menatap Aurel kaget, "l-lo bisa?" Aurel mengangguk, "kalau lo mikir gue ada niat jahat sedikitpun sama lo, itu salah besar. Gue bener bener tulus bantu lo. G-gue juga tau siapa pembunuh mama lo."

Tampak Graciela dengan mata berkaca kacanya, "Makasih. Makasih. Makasih. Makasih banget." Lirih Graciela dengan air mata yang mengalir bebas di pipi putihnya. Gadis itu tak berhenti mengucapkan terima kasih, akhirnya ia bisa menemukan pembunuh ibunya.

Aurel mengangguk, memeluk Graciela. "Tapi, lo mau bantu gue?" Tanya gadis itu sekali lagi. Graciela mengangguk ragu, "tapi, bukannya mama lo akan berhenti nyakitin lo karena nikah sama bokap gue? Gue udah gak ada hubungan sama bokap gue. Dan, lo jadi saudara tiri gue. Lo yakin?" Aurel mengangguk mantap, "bukannya gue gak mau jadi saudara tiri lo. Tapi, gue mikir bokap lo. Mama orangnya obsesi. Mama bisa lakuin apapun demi harta, gue takut mama ngebunuh bokap lo. Dan nguasain perusahaan bokap lo. Dan lo gak bisa biayain hidup lo?" Jelas Aurel dengan nada ragu di akhir kalimat.

Graciela tersenyum, "asal lo mau tau. Bahkan gue lebih kaya dari bokap gue." Jujur Graciela membuat Aurel terkejut setengah mati. Antara tidak percaya dan kagum. "Gak mungkin." bantah Aurel tak percaya. Graciela mengedikkan bahunya acuh, "terserah mau percaya atau nggak. Tapi gue harap lo jangan sebar ini ke siapapun, termasuk mama lo atau bokap gue." Aurel mengangguk, "lo serius? Punya perusahaan sendiri? ATAU JANGAN JANGAN LO PEMILIK LIBERCY COMPANY?" Heboh Aurel sambil menganga. Parahnya lagi, Graciela mengangguk.

"Untuk permintaan lo tadi, gue setujuin. Tapi sekarang gue harus balik ke kantor, kertas segunung ga bakal bisa ngerjain diri sendiri. Gue duluan. Take care," pamit Graciela menepuk pelan bahu Aurel. Aurel mengangguk. Graciela bergegas kembali ke kantor saat Dwi sudah menerornya dengan 11 panggilan dan 120 pesan yang sama sekali belum dibacanya.

Gadis dengan setelan kantor tersebut segera memasuki alphardnya dan bergegas kembali ke kantor sebelum Dwi memarahinya. Nasib punya sekretaris bawel.

Sekitar 20 menit Graciela sudah sampai di kantornya dan bergegas ke ruangannya. Yah, sebelum Graciela sempat membuka pintu ruangannya, terdapat Dwi yang menatapnya garang, jangan lupakan tangannya yang menempel di pinggang rampingnya.

Graciela menghembuskan nafas kasar, ia berharap telinganya mampu mendengar segala ocehan Dwi nantinya.

"Lo tuh ya! Pergi gak bilang bilang! Ini kerjaan lo tuh belum kelar astagfirullah. Belum lagi itu suami lo nanyain lo terus. Ya Gusti, ampun gue sama lo. Beruntung gue gak geplak lo pake sutil pink kesayangan gue. Lain kali tuh kalo mau pergi kabarin biar gue gak khawatir." Omel Dwi panjang lebar.

"Iyaiya maappp. Gue ada urusan dadakan. Nih jengki pesenan lo." Ujar Graciela menyerahkan paper bag berisi 3 tempat makan yang isinya sudah dipastikan olahan jengkol yang bahkan Graciela tak sanggup melihatnya.

Mata Dwi berbinar, "asik. Jengki party! Thanks La." Graciela mengangguk, lalu masuk ke ruangannya.

Maaf banget baru up yaaa. Tapi aku sedih sih, votenya makin dikit. Hargain aku dong. Cuma vote susah banget ya?

Keep vote yaa. Jangan jadi siders. Coba kalo kalian jadi penulis, trus readers kalian jadi siders. Gimana?

See u in the next part

My Cool GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang