Lock and Key

85 20 2
                                    

Adalah kebahagiaan tak terperi saat kamu ditinggal sendirian di rumah. Terutama karena adikmu yang ribut ikut pergi bersama Ayah dan Ibu ke rumah misan jauh. Aku sudah berpikir akan senang malam ini. Saudaraku juga pergi beberapa menit setelahnya untuk mengantar barang adikku yang tertinggal. Betapa ceroboh dia.

"Aku akan kunci pintunya dari luar, gunakan kunci di atas bufet kalau kamu mau keluar," titah saudaraku. 

Aku hanya mengangguk sekenanya--sibuk menyiapkan laptop dan makanan ringan untuk menikmati The Queen's Gambit. Aku sudah berlangganan Netflix sebulan! Sungguh tak termaafkan jika aku menyia-nyiakannya. 

"Ingat, jangan membuka pintu untuk orang asing."

"Aku tahu. Aku sudah dewasa."

"Tentu saja sedewasa merengek ingin bolos sekolah!" Saudaraku mencibir. "Sudahlah." Dia menutup dan mengunci pintu. Derap langkahnya masih dapat terdengar sampai lampu motor menyorot jendela dan lenyap menjauh. Tiba-tiba segalanya menjadi hening. 

Aku menaikkan volume laptop dan berusaha menikmati permainan catur dari Beth Harmon. Aku tidak tahu, Bung. Dia hanya begitu memesona! (tidak termasuk bagian kecanduan obat). Saat itu hujan masih sedikit lebat dan rintik-rintiknya memenuhi jendela. Hujan sering kali membuatku cemas karena sinyal akan terganggu--dan benar saja. Wifi di rumahku tidak berjalan. Apa Ayah lupa membayar tagihan? Tidak, tidak. Dia baru gajian kemarin.

Film pada layar laptopku berhenti. Tanda memuat terus berputar di sana. Aku menggerutu. 

Ponselku berdering. Ternyata saudaraku menelepon. "Apa?" ketusku.

"Aku terjebak hujan. Di sini terlalu lebat--awas, Nona! Astaga. Tadi itu hampir saja. Mobil-mobil ini suka melaju tanpa peduli kubangan air."

"Aku menunggu."

"Oh benar, sori. Aku mungkin akan terlambat pulang. Apa kau baik-baik saja jika sendirian sampai hujan reda?"

Hujan akan reda biasanya sekitar tengah malam. Aku mengedikkan bahu. Bukan hal berat. "Tentu."

"Kau sangkutkan saja kunci cadangan itu dari dalam agar orang lain tidak bisa membuka dari luar."

"Tidak ada yang memegang kunci rumah ini kecuali kau. Berarti kau yang tidak bisa masuk."

"Apa kau tidak menonton film aksi itu? Para penjahat bisa membuka pintu dengan peniti."

Aku tergelak mengejek. "Lupakan saja. Aku akan kembali menonton. Selamat kedinginan!"

"Setidaknya aku kedinginan bersama orang yang lumayan!"

Aku segera menutup telepon dan berbaring di sofa. Rumah ini mendadak saja terasa begitu sepi. Biasanya adikku akan berlarian atau bercanda dengan teman khayalannya. Halo, Tuan L! Dasi apa yang kau pakai hari ini, Tuan L?  Oh Tuan L, apa kau mau minum kopi bersama Ayah? Tuan L ... Tuan L ....

Kukira dia hanya kesepian. Adikku memang tidak banyak berteman. Dia cukup penyendiri. Mungkin itulah kenapa dia menciptakan teman khayalan (yang anehnya dipanggil tuan). Mengapa terkesan seperti pria dewasa?

Aku pernah bertanya bagaimana rupa si Tuan L itu. Katanya, dia tinggi dan memakai jas pernikahan. Tuan L batal menikah karena istrinya meninggal dalam kecelakaan, namun dia ingin terus mengenangnya. Maka dari itu ia memakai jas serba putih, parfum dan minyak rambut yang mengilap. 

Aku tertawa saat mengingat penjelasan adikku. Bisa-bisanya dia memiliki imajinasi setinggi itu di usia sedini itu. Dia bahkan bersikukuh bahwa Tuan L bukan khayalan. Dia nyata! Sama nyatanya sepertiku, seperti Kakak!

Petir menggelegar, menyadarkanku dari lamunan. Hujan semakin deras. Kasihan saudaraku, dia pasti sudah menggigil seperti anak kucing. Aku memandangi jendela yang gordennya separuh tersibak. Di luar amat gelap. Hanya cahaya remang dari lampu di teras depan. Lama-lama, aku merasa risih jika terus memandangi kegelapan itu. Seolah akan ada sesuatu yang muncul! Membuat jantungku berdebar karena wajah-wajah mengerikan dari berbagai film hantu yang pernah kutonton. Sekarang aku menyumpahinya.

"Tidak ada apa pun," gumamku. Tertawa getir.

Aku beranjak ke dapur untuk mengambil air saat terdengar derap langkah di depan. Teras rumahku adalah rumput. Alas apa pun yang menginjaknya tentu akan menimbulkan bunyi keresak-keresak. Aku menelan ludah. Perlahan aku kembali ke ruang tamu dan duduk di sofa, di depan laptop. Layarnya masih sama: tanda memuat yang berputar-putar. Wifi di rumahku masih eror.

Suara langkah itu akhirnya hilang. Aku menghela napas. Mungkin hanya berhalusinasi karena suara hujan mengaburkan segalanya. Membuatku tenggelam dalam alam pikiran yang tak terbatas. Ya ... tak terbatas. Mungkin begitulah cara pikir adikku. Ketika kutanya mengapa Tuan L harus pria? Mengapa bukan wanita tua yang memakai tongkat? Dia bilang karena istri Tuan L mengidap androphobia. Sebuah kelangkaan bisa menikah dengannya (walaupun berujung tidak). Tuan L mau tinggal bersama kita karena ada salah satu keluarga kita yang androphobia juga! 

Jantungku berdebar-debar.

Derap langkah itu kembali terdengar dan semakin jelas. 

Sudah hampir tengah malam dan hujan belum berhenti. Apa mungkin saudaraku rela merobos hujan agar bisa pulang lebih cepat? Toh tidak masalah sedikit basah kuyup asalkan saudarinya tidak sendiri di rumah. Di rumah mereka yang agak terpencil dari rumah-rumah tetangga. Tentu tidak akan ada yang bisa mendengar jeritannya. Apa lagi saat hujan deras seperti ini? Ah ... lucu sekali.

Bibirku gemetar. Tepat ketika kenop pintu itu diputar perlahan, diputar beberapa kali dan tak bisa. Memang seharusnya tidak bisa! Saudaraku sudah mengunci pintunya. Dia membawa kunci bersamanya. Atau lagi-lagi seperti yang sudah kubayangkan: dia menerobos hujan agar bisa pulang lebih cepat?

Kenop pintu itu diputar hingga berbunyi. 

Sebuah pesan muncul di layar ponsel. Dari saudaraku.

Aku bertemu Justin. Benar, yang punya VRX Mach 4 Racing Simulator. Aku akan menginap di rumahnya :P

Kemudian, pintu itu berderit terbuka.

[]



Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang