Taking Candy From a Baby

22 9 0
                                    

Dia datang saat ulang tahunku yang ke enam belas. 

Aku tak mengerti cara mendeskripsikannya karena dia begitu sempurna--paling tidak bagiku. Mama yang mengenalkanku padanya ketika ia dengan sopan menatapku. Tidak ke mana-mana, tatapan sekilas yang amat santun. Pakaian necisnya yang monokrom lebih elegan. Ya Tuhan. Mama memang pemilih yang hebat. Begitu pula saudara laki-lakiku. 

"Sepekan penuh aku mencari informasi tentangnya," kata dia. "Demi hari ini. Selamat ulang tahun."

Aku tak pernah menyangka usia enam belas akan disambut oleh sahabat baruku, A-Kun. Kini dia selalu menemaniku setiap saat. Kami berangkat ke sekolah bersama, makan di kafe, mengerjakan tugas-tugas di kamar sampai tertidur. Kami teramat dekat sampai nyaris menghabiskan sehari penuh hanya berdua. Beberapa temanku sampai menggoda, "Aku akan menunggu undangan pernikahan kalian."

Aku tahu mereka hanya iri. Tidak ada sahabat yang seromantis A-Kun. Dia selalu bertanya jika aku kesulitan menghadapi sesuatu, lalu membantuku. Dia sangat cerdas dan proporsional. Tidak kacau-balau seperti anak-anak di kelasku. A-Kun sangat tahu waktu bahkan dia mempelajari perkiraan cuaca. 

"Hari ini 19 derajat celcius dan lebih berawan," katanya. "Kemungkinan bakal hujan."

Seolah-olah hidupku akan sulit jika A-Kun tidak ada. Aku butuh dia. Aku suka dia. Lama-lama, aku sadar telah mencintainya. Sungguh. Dan ini pertama kali dalam hidupku. A-Kun sahabatku, tidak ada yang boleh melukainya, merebutnya dariku.

Aku terus menggandeng A-Kun ke mana pun aku pergi. Orang-orang sampai heran. "Apa kamu tidak bisa lepas darinya?"

Tidak! Dia cinta matiku.

Di satu sisi, aku bahagia karena kami telah dipertemukan oleh Mama. Dia kini sahabat setiaku. Tapi di sisi lain, aku tahu ada orang-orang yang tidak suka dengan hubungan kami. Dia bisa mencelakai A-Kun kapan pun terutama jika aku sedang tak bersamanya.

Selepas makan siang, aku dan A-Kun pergi ke perpustakaan. Kami hendak membaca novel Haruki Murakami berdua. Tapi, guru bahasa memanggilku. "Aku pergi hanya sebentar, kamu tunggu saja," kataku padanya.

A-Kun tak banyak berkomentar. Dia memang kalem dan selalu patuh. Itulah kenapa aku terkadang khawatir--dan buru-buru kembali setelah urusan selesai. Di sanalah aku terbelalak. A-Kun sedang diganggu oleh anak-anak perempuan dari kelasku. 

"Minggir!" bentakku.

Mereka terkejut sebelum tertawa. "Apa? Kau takut kami melukainya?"

"Kalian memang akan melukainya!"

"Lalu kenapa?" salah satu pemimpin mereka mengangkat A-Kun tinggi-tinggi, menyeringai. Dia melempar A-Kun ke temannya sebelum dilempar lagi. Saling mengoper sementara aku mengejar.

"Hentikan!" pekikku saat berusaha meraih A-Kun yang kini terlontar--mendarat mulus di lantai hingga suara dentuman bergema.

Anak-anak perempuan pengganggu itu segera pergi dengan panik, meninggalkanku yang kini berlari ke arah A-Kun. Aku mengambilnya dengan lembut dan menemukan layarnya retak. Bagian luarnya lecet. 

Oh tidak ... Axio-Kun. Enam jutaku. Hasil jerih payahku memenangkan lomba dan bersaing dalam beasiswa hingga kamu dapat menjadi milikku. Kini kamu nyaris tak lagi utuh. Aku menggerung sambil memeluknya, tak peduli segala tatapan aneh dan ngeri dari orang-orang. Sang pustakawan pun sampai datang tergopoh-gopoh dan bertanya apakah aku perlu bantuan? 

Aku tak bisa melihat dengan jelas akibat air mata yang mengaburkan pandangan. Yang kuingat hanyalah rasa dendam yang begitu kuat sebelum aku menepis tangannya, berlari keluar dari perpustakaan bersama A-Kun. Laptop pertamaku, cinta pertamaku.

[]

"Kemudian, Sang Gadis yang sejak lama memendam sisi psikopatnya, kini mulai mengasah pisau yang dia curi dari dapur. Keluarganya tak ada yang tahu. Dia menyelinap tengah malam ke sebuah rumah yang penuh dengan lampu disko. Di kala anak-anak muda itu berpesta, dia muncul secara mendadak dan membunuh mereka semua. Bahkan orang-orang yang tak terlibat dengan geng penindas itu."

"Uh, seram," sindir Mayaka. Dia menambah beberapa ranting ke api unggun perkemahan di tengah anak-anak. "Apa bahkan kisah itu nyata? Karena kalau iya, mungkin kita sedang berada di dunia khayalan."

Aku mengedikkan bahu. "Menurut kalian? Aku membaca kisahnya di internet. Itu menjadi viral setelah berita siswi-siswi yang mati mengenaskan tanpa sebab dihubungkan dengan berita seorang siswi yang gila akibat alat elektronik."

"Bisa jadi." Mayaka tertawa. "Orang-orang memang lebih dramatis belakangan ini. Para pengganggu itu kan hanya seperti merebut permen dari bayi."

Anak-anak lain setuju. Mereka menganggap itu berlebihan.

Aku menyeringai. "Tapi, tidakkah kalian pikir merebut harta seorang manusia ... justru lebih berbahaya?"

[]

3/2/22
Airu
Buat tulisan dengan tema "Cinta Pertama"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang