Alien Hijau Benci Hijau

6 2 0
                                    

Kakakku sekarat. Sudah berhari-hari kami tidak bisa membeli makanan yang layak karena kehabisan daun. Tuan Alien, sejak ia dan koloninya menginvasi Bumi, melarang segala benda yang berwarna hijau. Pohon, rumput, tumbuhan, semuanya musnah, digantikan energi lain yang sama-sama menghasilkan oksigen. Tidak ada pula pakaian hijau. Kendaraan hijau. Kosmetik hijau. Warna hijau lenyap dari dunia kami. Satu-satunya hijau yang tersisa adalah Tuan Alien itu sendiri (koloninya berwarna biru) dan satu bank raksasa penuh daun. Ada dua hal yang bikin keadaan ini terjadi: 1. Tuan Alien benci warna hijau, dan 2. Daun adalah pengganti uang sejak produksi uang bermasalah.

Kakakku terbatuk-batuk. Katanya, air yang kuberikan agak aneh. Aku coba meminumnya juga dan ikut terbatuk. "Maaf," lirihku. Penyaring air kami sepertinya sudah rusak.

Dia hanya tersenyum dan membelai kepalaku. "Kamu sudah berusaha, Quentin."

"Ini gara-gara Tuan Alien. Dia memang membiarkan kita tetap tinggal di planet ini, tapi dia berlaku sewenang-wenang dan membatasi daun! Uh ... aku lelah bekerja menjadi pembantu alien-alien itu. Mereka bau. Dan kejam. Tapi cuma dari mereka ... kita bisa dapat daun."

"Atau kamu mau kita bertukar?" tawar kakakku.

Aku terbelalak. "Enggak mungkin! Kakak masih sakit. Aku mana tega."

"Bahkan kalau anak-anak seusiamu bermain di pekarangan depan rusun seharian? Kamu tetap mau kerja?"

"Uh ... ya. Ya, enggak apa-apa." Aku mengalihkan mukaku yang merona. "Biar aku bisa bawa Kakak ke rumah sakit. Biar Kakak ... cepat sembuh."

***

Suara-suara melengking terdengar bergema dari ruangan sebelah. Para alien sedang berbincang heboh memakai bahasa planet mereka yang tak kumengerti. Aku dan Ben hanya mengepel lantai di ruangan lainnya dengan menahan kesabaran. Mereka berisik sekali, bisik Ben dengan gerakan isyarat. Aku mengangguk. Saking berisiknya, bahkan lumba-lumba yang lagi tidur di akuarium itu bisa bangun. Lalu kami saling terkikik.

Ben adalah anak seumuranku. Dia juga bekerja sebagai pembantu di kediaman alien ini yang rumahnya disebut Unit 7. Dia bekerja juga demi mendapatkan daun walaupun orang tuanya masih ada. Aku sangat heran waktu mengetahui itu sampai ia bercerita bahwa orang tuanya pelit. Mereka memakai daun hanya untuk kebutuhan pokok yang paling murah dan tidak mau membelikan hal selain itu. Tentu saja Ben yang tergila-gila mengoleksi figur aksi butuh biaya lebih, makanya dia sampai rela bekerja sepertiku.

"Aku kangen sekali waktu kita masih bisa memetik daun dengan mudah di pekarangan rumah masing-masing. Kita hanya perlu membeli bibit pohon dan memanfaatkan daunnya sepuas mungkin," kataku saat kami duduk di bangku untuk beristirahat. "Walau pohonnya mahal. Itu masih lebih baik ketimbang bergantung pada mereka."

"Ya. Kalau aku, aku kadang-kadang malah kangen hijau," celetuk Ben. "Tahu kan betapa anehnya waktu mereka pertama kali datang? Semua hijau musnah kecuali si Tuan. Dan dia itu hijau paling jelek—"

Bunyi tembakan membahana. Aku dan Ben tersentak saat mendengar senjata khusus para alien itu yang mungkin baru saja digunakan—lagi. Ada huru-hara kecil dari ruangan sebelah, bukan suara tawa. Aku samar-samar menyimak percakapan mereka yang sudah memakai bahasa Inggris.

Anda kebablasan lagi.

Bukan salah saya kalau manusia itu bertingkah tidak menyenangkan.

Tapi Tuan Alien melarang kita menembak kalau tidak terdesak.

Saya terdesak. Panggil anak-anak di sebelah. Suruh mereka bereskan ini.

Aku menelan ludah, saling bertatapan dengan Ben. Sebenarnya insiden begini sudah terjadi beberapa kali. Namun, aku mengerti teknik untuk tidak berakhir seperti mendiang-mendiang pembantu itu. Aku hanya perlu menjaga diriku tetap sopan dan patuh terhadap para alien. Bahkan ketika mereka memintaku bersujud sambil mengepakkan tangan, berenang di akuarium raksasa (hewan-hewannya jinak tapi tetap saja mengerikan), memasak daging mayat, atau berbagai hal gila lainnya. Aku tahu mereka hanya menjadikan kami bual-bualan, tapi mau bagaimana lagi?

Ini satu-satunya unit yang mau menerima pekerja anak-anak.

Salah satu alien keluar dari ruangan itu dan memanggil kami. Aku dan Ben bergegas mengikutinya ke dalam dengan alat-alat kebersihan kami. Di ruangan megah itu terdapat sebuah meja panjang yang dikeliling beberapa alien. Ada makanan-makanan aneh yang tersaji di atasnya. Di bagian lantai dekat jendela raksasa, ada seonggok tubuh pria dewasa yang tergenang darah kental. Kulit wajahnya terkelupas dan rusak tak berbentuk. Jantungnya bolong. Usus-ususnya terbuai. Kain celananya meleleh menampakkan kaki yang seperti kena luka bakar.

Aku dan Ben mulai bersih-bersih sambil menahan muntah. Aku tak tahu senjata apa yang mereka gunakan. Aku hanya tahu bentuk suaranya. Keras. Cepat. Memekakkan telinga. Seram. Sebelum disusul jeritan terakhir korbannya.

***

Aku memasuki rumahku di lantai dua rusun dengan sempoyongan. Kakakku yang membukakan pintu langsung menangkap tubuhku ketika limbung. Ia tak bertanya apa-apa lantaran segera mengantarku ke kamar, membawakan air. Rasa air itu bahkan tak lagi enak, tapi bagaimana mungkin aku memuntahkannya di depan kakakku? Dia mengusap ubun-ubunku.

"Quentin," panggilnya. "Kamu bisa berhenti. Kita coba cara lain buat mencari daun."

"Enggak mungkin ... enggak ada cara selain kerja di bawah mereka."

Kakakku tersenyum. "Kamu enggak bakal percaya sama apa yang aku temukan di gudang rusun."

Mataku membulat. "Apa?"

"Ruangan khusus untuk pembibitan pohon. Tanpa bantuan sinar matahari."

Aku terperanjat sampai bangkit dari kasur, menatap kakakku dengan penuh harap. "Kita bisa dapat daun!?"

Dia mengangguk.

"Dari pemberian pemilik rusun?"

Dia menggeleng.

"Nah, sayangnya, Quentin, aku justru dimarahi karen mengintip. Itu tempat rahasia."

"Jadi bagaimana?" Aku kecewa.

"Jadi kita harus cari cara buat masuk diam-diam." Kakakku mendekat hingga aku dapat merasakan napasnya di telingaku. "Kita bobol, kita curi semua peralatannya, kita pergi jauh. Aku punya kenalan yang bisa membawa kita ke kota lain. Kamu ikut?"

***

DWC Juni 22 23
Airu

"buat cerita apabila daun bisa menggantikan uang untuk bertransaksi di dunia ini"

[kok jadinya kayak cerita yang potensial buat dikembangin ya? Haha]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang