Aku Benci Cewek

17 6 4
                                    

"Jangan, Sayang."

"Kenapa? Leah saja makan keik pakai tangan."

Papa menghela napas dan pergi. Dia tidak mau berdebat lagi dengan adikku seperti yang belakangan ini sering mereka lakukan. Adikku terus menggunakan kata-kata "Leah saja ..." saat dia membantah, dan dia selalu membantah. Padahal tahu apa dia di usia empat tahun begitu? Mandi masih dibantu, makan disuapi, tidur dinyanyikan nina bobo. Tapi dia terus membawa-bawa Leah ketika tetangga kami itu bahkan sudah pindah. Adikku mengagumi Leah seperti gila!

Aku sama jengkelnya dengan Papa. Adikku jadi sok tahu hanya karena kata-kata "Leah saja ..." sementara Mama tidak peduli. Kata Mama, putriku selalu manis. Dan semua tingkah adikku pasti dia sebut manis bahkan jika itu buang angin atau bersendawa. Manisnya, putriku yang manis, manisnya .... Maka aku membenci Leah karena perilakunya menginspirasi adikku untuk pemberontakan.

Leah sudah kelas lima dan dia kira dia boleh sombong. Padahal kami di kelas tiga juga sudah hebat. Aku saja bertanding bola dan berhitung. Aku juga belajar bahasa. Waktu kami masih bertetangga, Leah sering bermain sepeda di lapangan, dan adikku akan melompat kegirangan. Dia berseru, ayo Leah, ayo Leah! Lalu anak perempuan itu bakal mengepot dengan sepedanya dan mengibaskan rambut. Adikku melepas pegangan tanganku sebelum berlari memeluk Leah. Aku mendelik dan memanggil adikku tetapi ia tidak peduli. Ia pergi bersama Leah dan bermain peran pahlawan super di bawah pohon.

Aku mengentakkan kaki sebal. Apa sih yang adikku suka dari Leah? Wajahnya yang cantik? Baju bersablon dinosaurus yang keren? Sepeda mengilap? Suara merdu? Pintar? Masa bodoh. Aku tidak suka dia. Aku tidak suka Leah. Aku benci dia! Walaupun dia tampaknya tidak begitu padaku.

Saking seringnya dia bermain dengan adikku dan berkunjung ke rumah, dia pura-pura jadi kakak kami. Dia mengajariku saat kesusahan mengerjakan soal sebelum aku menutup buku dan pergi. Dia juga mengobati lukaku setelah aku terjatuh dari ayunan. Dia bahkan mengasuhku dan adikku ketika orang tua kami pergi untuk berpesta.

Dia membangun tenda-tenda, membuat bintang yang bersinar dalam gelap, lalu menghamparkan selimut untuk kami bertiga. Menyalakan senter. Bercerita. Adikku bersandar padanya dengan nyaman sampai terlelap. Aku tidak mau, tapi Leah merangkulku. Dan kulitnya memang lembut dan rambutnya seharum mawar dan bersandar padanya seperti tidur di atas bantal yang hangat. Maka aku dan adikku benar-benar terlelap di atas pangkuannya hingga dongeng itu selesai dia baca, lalu dia mengecup kening kami dengan sayang.

***

Delapan tahun sudah berlalu.

Di usiaku yang ke-17, Mama dan Papa memberiku hadiah papan luncur yang selalu kuimpikan. Memang bukan mobil atau minivan seperti kebanyakan temanku, tapi tidak apa-apa. Menurutku kendaraan ini berkali-lipat lebih gaul dan keren terutama dengan modifikasi terbarunya.

"Selamat ulang tahun, Sayang," kata mereka sebelum mencium pipiku bergantian. Mama memanggil adikku yang belum turun dari kamarnya. Dia memang sedang dalam fase awal remajanya yang rada-rada emo, padahal ia dulu sangat periang dan persis anak-anak kebanyakan ... waktu dia bersama Leah.

Kalau sekarang kupikir-pikir, Leah juga memiliki pengaruh yang bagus terlepas dari betapa ia membuatku iri dan menyulap adikku jadi agak pemberontak. Aku ingat kalau dulu sangat membenci Leah sampai aku hampir membenci semua anak perempuan, meskipun di saat bersamaan, aku juga sedikit mengaguminya. Yah, sampai kini aku tidak terlalu paham dengan perasaanku, tapi itu tidak penting-penting amat. Leah sudah pindah bertahun-tahun lalu ketika kami semua masih sangat kecil, dan sekarang aku sudah tujuh belas tahun.

"Jangan lupa makan serealnya," tegur Mama karena aku terus menyemili kue cokelat ulang tahunku.

"Tapi ini sudah cukup buat energiku."

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang