Street Vendor

9 5 1
                                    

Sudah dua tahun. Tidak selama itu pula hari-hari seorang pedagang kaki lima sepertiku berubah. Dengan gerobak dan bahan-bahan membuat martabak: manis dan asin. Aku heran. Kenapa tak kunjung mendapatkan jodoh. Apa para calon jodoh itu tak suka jika kami menikah, setiap hari dibuatkan martabak?

Aku yang sudah belajar memasak martabak dengan berkali-kali eksperimen resep, yakin rasa martabakku enak. Semua pelangganku suka. Sebagian besar malah langganan. Sebagian juga orang-orang di komplek ini sudah kukenal. Anak SMP gemuk yang juara lomba bernyanyi. Ayah dan anak lelakinya yang selalu membahas sepak bola. Mahasiswa yang diam-diam memberikan hadiah untuk si gebetan. Seorang nenek pengidam yang ditemani cucunya. Wanita janda tunarungu yang mengajariku bahasa isyarat "tolong" dan "terima kasih". Kemudian masih banyak lagi.

Tapi, mereka punya kehidupan masing-masing. Mereka menceritakan atau sekadar menunjukkannya selagi singgah di sana. Dan aku? Aku hanya tersenyum, mendengarkan, sambil sibuk mengaduk adonan, menuang adonan, membalik adonan, menaburkan topping, membungkus, sebelum menyerahkannya pada mereka. Disambut, "makasih Bang!", lalu diberikan uang, lalu ditinggal.

Aku bekerja dari sore sampai tengah malam. Kadang-kadang, masih ada saja pelanggan yang lapar di jam seperti itu. Kebanyakan perempuan, tapi pacar mereka yang dibangunkan dan dipaksa untuk pergi membeli. Beberapa pernah mengeluh padaku. "Bayangin aja, Bang. Saya barusan tidur abis kelar makalah, tahu-tahu ditelepon. Ya saya kaget. Dikira ada apa. Ternyata dia mau martabak. Jam berapa? Jam dua pagi! Dua pagi, Bang!"

"Saya tau." Aku melirik jam tangan yang kugantung di paku gerobak. 2.15.

Setelah pelanggan terakhir pergi pukul 2.55, aku sudah hendak beres-beres dan pulang. Aku memang membatasi jam kerja sampai pukul tiga dini hari. Aku masih perlu tidur sebelum bangun solat subuh dan tidur lagi. Namun, mendadak saja ada telepon masuk.

"Halow." Suara seseorang. Anak perempuan. "Masih buka, Pak?"

"Mau tutup, Neng."

"Udeh tutup belom?"

"Mau tutup ...."

"Tapi, belom?"

Aku memandangi perlengkapan memasak dan bahan-bahan yang masih tersusun di meja gerobak. Menghela napas. "Belum ...."

"Pesen satu yang rasa melon, topping cokelat."

"Melon mah enggak ada, Neng ...."

"Kalau gitu yang hijau, Pak, rasa apa aja. Topping keju."

"Oh ... pandan. Oke. Mau diambil apa dianter?"

"Dianter, Pak. Saya kirim alamatnya."

"Tapi agak lama ya, Neng? Karena sekalian saya beres-beres. Lagian saya sendiri, jadi enggak ada yang jaga kalau ditinggal ...."

Aku membuat pesanan anak perempuan itu sebelum membereskan semuanya dan berangkat. Langit sudah bergemuruh sejak semalam. Belakangan ini memang sering hujan. Namanya juga kota hujan. Tapi, kalau bisa jangan hujan saat aku mengantar pesanan orang, dong? Aku merapatkan jaket di depan sebuah rumah bertingkat. Tertulis di pagarnya, "Kos Putri Bu Putri". Aku tak yakin apakah itu kebetulan pemborosan kata atau disengaja.

Aku sudah menelepon nomer anak tadi beberapa kali tanpa jawaban. Angin berembus dingin. Apa iya aku boleh masuk ke pekarangan kos perempuan? Aku berusaha membuka pagar yang ternyata tak digembok. Kalau saja hujan tidak turun secara deras dan mendadak, aku tak bakal menyelinap masuk ke teras sana. Sekarang aku benar-benar masuk ke pekarangan kos perempuan jam tiga dini hari.

"Halo?" Aku mengetuk pintu beberapa kali. "Permisi. Saya mau anter pesanan."

Tempias hujan mulai membasahi lantai. Aku beringsut ke bangku di dekat jendela dan duduk. Mendekap diriku di tengah udara dingin. Kenapa aku bodoh sekali? Menerima pesanan lewat dari jam kerja tanpa menanyakan namanya ....

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang