Penulis Misterius

18 6 1
                                    

Iya, jadi aku terus menggeser layar ini untuk membuka cerita-cerita bertema serupa, tapi tak kunjung menemukannya. Aku bahkan sudah mengecek lewat berbagai tagar seperti #akademi, #sihir, #elemental, #ceritaseruyangtokohnyacewekberkekuatanapiatausemacamitu. Aku yakin pernah membaca kisah fantastisnya di aplikasi ini. Aku bisa bersumpah. Tapi, itu memang beberapa tahun lalu waktu aku masih bocah ingusan berusia dua belas (iya aku melanggar usia minimal pembaca situsnya).

Aku punya asumsi tak menyenangkan bahwa cerita itu sudah dihapus. Namun pasti bakal sangat disayangkan karena imajinasinya luar biasa dan sudah terangkum berbab-bab dengan ribuan pembaca. Apa motif penulis itu untuk menghapus semuanya? Atau asumsi yang lebih tidak enak lagi: cerita itu tidak pernah ada. Hanya sebuah imajinasi yang berkeliaran di benakku saja.

"Ah!" Aku mengacak rambut.

Rasanya tidak enak. Ada sesuatu yang kamu nyaris mengingatnya tapi tidak pernah berhasil. Seperti berlari menuju ujung dunia hanya untuk mengetahui bahwa Bumi itu elips dan kamu bakal kembali lagi. Berputar-putar. Aku jadi menyesal telah membaca cerita si Penulis Anonim itu. Aku ingin menyumpahi dia yang  telah menulis dengan sangat keren sampai membekas dan membuatku nyaris sinting gara-gara tidak bisa menemukannya lagi.

Aku merebahkan diri di kasur dan menatap jam pada layar gadgetku yang berlatar planet Saturnus. Pukul dua dini hari. Masa sih aku sampai rela bergadang hanya demi menelusuri ulang cerita yang pernah kubaca bertahun-tahun lalu? Aku memperbaiki sarung bantalku yang merosot dan berganti-ganti posisi sampai merasa nyaman. Aku harus tidur. Besok ada ujian Matematika di sekolah di jam pertama. Pak Andri tak pernah terlambat meski ia selalu berangkat hanya naik sepeda ontel. Aku juga tak tahu kenapa: 1. Dia pakai sepeda ontel di zaman ketika ada motor yang lebih efektif, dan 2. Dia bisa datang lebih cepat dibandingkan guru lain yang naik motor.

Tapi, aku tidak akan memikirkan Pak Andri sekarang. Aku harus tidur. Walaupun, sebenarnya, aku masih memikirkan cerita Penulis Misterius.

***

Aku tersentak karena kakiku ditendang pelan dari belakang kursi. Aku segera sadar dan kembali mengerjakan ujian karena sepertinya aku baru saja terlelap. Setelah bel berdering dan kertas-kertas dikumpul, aku berbalik ke belakang. "Makasih," kataku.

Febri mengernyit heran. "Kamu bergadang buat belajar?"

"Kalau iya, ini pasti dunia pararel tempat aku yang bukan pemalas. Tapi aku pemalas."

"Terus ngapain? Baca Wattpad lagi?"

"Kamu enggak bakal ngerti gimana serunya aplikasi itu. Kamu kan lebih suka ensiklopedia."

Anak cowok itu hanya diam sambil berpikir. Dia suka begitu. Berpikir agak lama sebelum bicara. Yah jelas berbeda denganku yang bicara serampangan. Aku juga heran. Kok kami yang bertolak belakang dalam banyak hal malah berteman sejak SMP sampai sekarang? Walaupun kami memang tidak selalu berdua. Aku kadang-kadang berbaur dengan anak klub Sastra untuk mengobrol kurang kerjaan, sementara dia bermain sepak bola di lapangan. Aku dan Febri juga tidak pulang bareng seperti kebanyakan tokoh cerita yang bersahabat. Aku naik motor sendiri sedangkan dia naik angkot. Pernah sih aku menawarkan diri untuk mengantarnya, tetapi itu hanya berlangsung sekitar tiga hari gara-gara kami jadi kena bahan makcomblang.

Makanya kalau mau main bareng, kami memilih akhir pekan. Aku bakal datang ke rumahnya buat bertanding Tekken, atau dia yang ke rumahku untuk melihat-lihat bukuku. Aku tak tahu apakah ini karena kami senang, atau karena sudah jadi kebiasaan saja. Sabtu ini, giliran Febri yang berkunjung. Dia masuk ke kamarku seperti biasa dan langsung mendekati rak buku. Aku berbaring di kasur sambil membuka laptop, kembali menelusuri cerita-cerita di aplikasi itu demi menemukan cerita si Penulis Misterius. Karena tak dapat-dapat, aku menggerutu persis malam sebelum ujian Matematika.

"Kenapa?" tanya Febri. "Baca Wattpad lagi?"

Aku tak tahu apakah Febri kekurangan kosakata atau apa, tapi pertanyaan dia yang terakhir itu bahkan sampai aku hafal. Dia sering sekali mengulang kalimat yang sama. Seperti robot. Entah bagaimana kehidupan Febri di antara teman-teman cowoknya yang notabene berisik dan banyak omong.

"Enggak baca. Nyari."

"Cari apa?"

"Cerita yang dulu pernah aku baca. Waktu SMP."

Febri mengingat-ingat sejenak. "Oh, yang sering kamu ceritakan ke aku?"

"Aku ceritakan ke kamu?"

Febri mengangguk. Dia duduk di kursi belajarku sambil memangku The School for Good and Evil milikku yang hendak dia baca tadi.  "Tentang akademi kekuatan super kan?"

Aku langsung bangun dengan kaget dan menyingkirkan laptopku. "Terus apa lagi? Kamu ingat apa aja yang aku ceritakan? Soalnya aku agak-agak lupa."

"Seingatku tentang cewek yang masuk ke akademi kekuatan super itu, cuma dia belum tahu kekuatannya apa. Terus di sana ada asramanya yang dibagi sesuai tipe kekuatan—mirip Hogwarts. Kekuatannya berasal dari semacam batu ajaib? Ada api, air, angin, tanaman, petir, kayak gitu."

Aku mendelik antusias. "Terus? Terus?"

"Yah ... ada bagian yang enggak kamu suka sih. Bagian romansa. Katamu, kayak enggak logis. Setiap tokohnya di awal cerita kok sudah pada punya pasangan? Entah sampai pacaran atau saling suka. Dan katamu, ada beberapa bab yang bahas percintaan mereka. Jadinya kamu bete."

"Itu memang kedengarannya aku banget."

Febri tersenyum geli. "Aku tahu."

"Terus apa lagi?"

"Hm ... apa ya? Kayaknya ada penjahat gitu yang mau bunuh si cewek."

"Akhirnya gimana? Aku sudah pernah ceritakan akhirnya?"

Febri menatapku sejenak. "Mati."

"Mati!?"

"Yah." Dia mengedikkan pundak. "Mati. Si cewek."

"Kenapa?"

"Aku sudah bilang kalau kamu bete gara-gara setiap tokoh sudah punya pasangan, kan?"

"Ya!"

"Termasuk si cewek itu. Dia juga punya cowok yang naksir dia, tapi enggak pernah jujur apalagi jadian. Cowoknya memang terkenal dingin."

"Lah terus apa hubungannya sama mati?"

"Si cewek enggak suka percintaan. Jadinya, dia tolak si cowok."

"Lah terus?"

"Si cowok itu penjahatnya. Jadinya dia marah. Dibunuh deh. Sekalian demi batu kekuatan dia. Soalnya, batunya itu langka."

Aku terdiam. Bingung. Apa cerita yang kubaca waktu berusia dua belas tahun memang segelap itu? Atau dari tadi Febri hanya mengarang dan bercanda denganku? Tapi, dia tidak pernah begitu. Dia tak pernah bohong. Pembawaannya selalu serius. Kadang-kadang dingin.

"Aku baru ingat," tuturku. "Aku jadi suka sama cerita itu sampai berkesan banget gara-gara tokoh utama ceweknya mirip aku. Mulai dari cara dia berpikir sampai hal-hal yang dia kerjakan. Mirip aku. Kayak—penulisnya tahu aku. Terinspirasi dari aku."

Febri bergeming.

"Enggak mungkin ah." Aku tertawa hambar. "Aku aja kali yang ke-GR-an."

Kamarku hening sampai Febri berkedip dan menunduk ke arah novel yang sedang dibukanya. Dia tersenyum lebih lama dibandingkan kondisi biasa sampai kelihatan tampan dan aneh bersamaan. Aku merinding.

"Ya. Semoga kamu GR. Soalnya si cewek mati."

***

DWC Juni 16 23
Airu

"buat tulisan yang mengandung 3 kata ini: sarung bantal, planet Saturnus, sepeda ontel. Kata-kata harus persis. Planet Saturnus tidak boleh ditulis Saturnus saja, sepeda ontel tidak boleh ditulis sepeda saja"

[5/20]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang