Anak Misterius

20 7 0
                                    

Dari kecil, aku sudah heran soalnya orang-orang bodoh banget. Mereka suka percaya hal-hal nonsens seperti jimat sihir, kutukan sesajen, atau kepercayaan aneh lainnya. Aku ya, kalau aku belum lihat, aku tidak percaya. Meskipun pernah sekali melihat kepala yang terbang di jendela kelas pada malam perkemahan, aku hanya menganggapnya delusi. Itu tidak sekonyol perkemahan waktu kelas tiga SD. Teman-temanku kabur cuma karena sebuah baliho yang terlipat hingga serupa kuntilanak.

Namun, kali ini keadaannya memang agak-lebih-ekstra biasa.

Aku pulang menjelang maghrib gara-gara ketiduran di kelas. Sebenarnya aku sedang dihukum piket, lalu aku duduk sebentar buat istirahat dan memandangi hujan deras di luar jendela, kemudian tahu-tahu saja tidur. Aku suka tidur mendadak tanpa kusadari. Ketika itulah aku menemukan seorang anak duduk di tangga lantai dua, menutup kedua wajahnya seperti menangis tanpa suara. Aku tidak peduli sih soalnya dia juga tidak minta tolong apa pun padaku, tapi waktu aku baru menuruni satu tangga, dia terbatuk.

Memuntahkan darah.

Aku terperanjat. "Uh, kamu oke?"

Anak laki-laki itu juga terkejut dengan darah yang kini mengalir dari mulut hingga menodai seragam putihnya. Dia mengerling padaku dengan mata sembab dan ketakutan. Aku menelan ludah. Itu benaran darah manusia, bukan sirup Marjan. Aku masih bisa membaca bordiran nama di atas saku bajunya: Rafal K. Aku tidak kenal dia. Aku sebenarnya memang tidak kenal banyak orang meski aku terkenal gara-gara menang OSN Informatika tahun lalu. Aku cuma dekat dengan Kiana, Bu Ywa, dan bude kantin.

"Kamu sakit? UKS sudah tutup. Kamu nunggu jemputan?" Aku mendekatinya pelan-pelan.

Dia menggeleng, mengusap mulutnya dengan lengan seragam yang kini penuh darah. Aku hendak mengecek ranselku untuk mencari tisu, air, atau apa pun—tapi aku juga tahu kalau isi ranselku tidak lebih dari benda-benda aneh. Gumpalan kertas, pulpen, buku yang tak sesuai pelajaran karena aku tidak baca jadwal, komik Doraemon, gunting, dan kayaknya wafer yang sudah berpekan-pekan lupa kumakan.

Rafal mencoba berdiri tetapi tubuhnya limbung sebelum kutangkap. Tubuhnya sangat lemas dan agak ringan untuk seukuran anak laki-laki SMA. Mungkin dia masih kelas satu. Mungkin dia belum puber. Mungkin dia cuma kekurangan gizi. Stunting? Tidak juga, sih. Dia agak pendek, tapi bukan kerdil.  Walau bau darah yang seperti besi karatan itu menusuk hidungku, aku tetap merangkulnya saat kami menuruni tangga.

Sekolah sudah sepi di jam segini. Hujan masih deras, dan aku sulit melihat dengan jelas akibat kabut. Aku mendudukkan Rafal di bangku panjang koridor lantai satu sebelum celingak-celinguk mencari orang lain, tetapi nihil. Rafal mendekap dirinya sendiri. Menggigil.

Aku melepas tas dan jaketku. Udara dingin menyergapku dari segala arah, tapi aku tak terlalu risau. Anak ini tampaknya lebih gawat. Bukan berarti aku peduli, tapi aku tidak mau jadi tersangka pertama kalau dia mati hipotermia atau apa pun. Aku menyampirkan jaketku dari atas pundak Rafal hingga menyelimuti seluruh tubuhnya. Dia mendongak sedikit, memandangku dari balik poninya yang agak panjang.

"Kamu pulangnya gimana kalau enggak dijemput? Jalan kaki?"

Dia mengangguk.

"Rumah kamu di mana?"

"Dekat sini ..." lirihnya. Suaranya tidak bariton atau nge-bass seperti kebanyakan anak laki-laki, tapi masih suara laki-laki. Agak lebih lembut saja.

Aku sebenarnya bisa pulang duluan karena aku tak masalah menerobos hujan sambil naik motor. Tapi, anak ini kelihatannya bakal sakit parah bahkan kalau hanya kena gerimis. Ditambah lagi, dia barusan muntah darah. Aku bukan dokter dan tidak mempelajari bidang itu meski di kelasku ada pelajaran Biologi. Aku hanya pernah (dan suka) menelusuri trivia-trivia acak dari Google. Seingatku pernah ada beberapa artikel yang membahas muntah darah. Kayaknya itu gara-gara sakit maag, atau kanker, atau masalah yang berkaitan dengan hemofilia. Atau seperti di film horor waktu pemerannya kesurupan.

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang