Piza Daging

17 7 0
                                    

Toby dan aku tidak pernah makan piza daging karena mahal. Malam ini, ada potongan setengah harga di Macaro Pizzeria untuk piza daging yang kami incar sejak lama. Jadi kami datang berdua ke bagian Macaro Pizzeria di mal itu hanya untuk menemukan antrean yang sangat panjang.

"Ini gila, Bro," celetuk Toby.

"Lebih gila kalau kita enggak kebagian."

"Jadi?"

"Kita antre."

Hanya saja, kami tampaknya telat beberapa jam sehingga antrean itu sudah mengular sampai ke pintu masuk. Ini konyol sekali! keluh Toby. Tapi aku menabahkan saudaraku itu. Bagaimana lagi? Kami mau piza daging dan piza daging hanya diberikan di depan konter ....

Tunggu dulu.

"Apa kau berpikir sepertiku?" tanyaku.

"Membeli kembang api dan melemparkannya ke tengah barisan?"

"Bukan, Konyol. Kita masuk ke dalam."

"Maksudmu ke dalam—ke dalam?"

"Ke dalam, Bro."

"Aku ikut."

Kami membagi tugas. Aku menyalin peta mal—dari papan di dekat pintu masuk—ke kertas dan mendata setiap ventilasi yang kemungkinan terhubung ke bagian dapur Macaro Pizzeria, sementara Toby makan permen karet. Sudah pukul sembilan ketika kami selesai dan antrean masih cukup panjang. Toby bilang, dia bisa-bisa mati hanya karena memikirkan antre selama itu.

"Kita bakal masuk dari ventilasi di butik itu. Aku sudah memperhatikan penjaganya—dia bermain SnapChat tanpa bergerak hampir setengah jam. Kita ikuti jalur ke kiri terus karena Macaro Pizzeria ada di sana. Lalu—"

"Bisakah kita langsung beraksi saja? Perutku benar-benar butuh piza daging setengah harga."

"Baiklah. Kau diam dan ikuti aku saja."

"Roger."

Aku menggiring torso plastik yang dipakaikan gaun panjang ketika jalan berjongkok melewati kasir. Penjaga itu benar-benar tidak sadar ada patung bergerak ke bagian dalam tokonya—bagus buat kami. Badanku dan Toby yang masih kecil juga mendukung itu (ada untungnya kami belum puber sekarang). Aku menaiki kursi dan memanjat hingga ke lubang ventilasi yang terbuka, lalu menyambut Toby yang sempat menendang kursi hingga terjatuh dan tubuhnya terkatung. Namun, aku berhasil mengangkatnya.

Dia cemberut. "Tadi enggak keren, Bro."

"Diam dan ikuti aku."

"Roger."

Kami merangkak di sepanjang ventilasi sampai puluhan menit. Aku berusaha mengingat setiap rute dan menggambarnya, mengira-ngira keterhubungan antar jalur dengan ventilasi Macaro Pizzeria. Toby sudah kegerahan dan perutnya terus berbunyi. Kalau lama-lama, nanti malnya tutup, keluhnya. Aku tertegun. Aku tidak mempertimbangkan itu. Ketika kami berhenti, memang benar sudah tidak ada lagi suara musik yang disetel dari pusat mal. Tidak banyak suara orang melainkan bunyi gerai-gerai yang ditutup.

"Kita harus keluar sekarang."

"Tapi—piza?"

"Piza harus ditunda."

Aku merangkak lebih cepat ke jalur terakhir yang belum kami lewati. Bau yang sangat harum menguar dari ujungnya. Saat kuintip, ternyata itu adalah surga. Kita di Macaro Pizzeria, bisikku. Toby nyaris menjerit bahagia sebelum aku menutup mulutnya. Aku menunggu sampai tidak ada lagi orang yang hilir-mudik di sana, kemudian membuka mur ventilasi itu dengan obeng yang kusimpan. Aku turun lebih dahulu setelah ventilasinya terbuka, mendarat di sebuah dapur yang sudah kosong. Toby menyusul.

Kami bertatapan.

"Kita bakal makan piza daging," kata Toby.

"Dan enggak antre."

"Dan gratis."

Tawaku dan Toby perlahan mengeras karena kegelian. Ini sangat konyol dan keren. Pertama kalinya aku membobol masuk sebuah restoran! Pertama kalinya aku merasa nakal dan agak jantan. Namun kemudian, lampu padam satu persatu. Toby berteriak kaget saat dapur itu menjadi gelap total. Dia memelukku.

"Bro, ini kau? Aku benaran habis nonton Lights Out kemarin. Ini enggak lucu."

"Ini aku."

"Jadi—pizanya?"

"Sepertinya sekarang bukan waktu kita."

Toby mengguncang pundakku. "Bro, pertama, aku sudah makan lima permen karet demi menahan lapar. Kedua, aku merayap di ventilasi hampir beberapa jam demi piza yang tidak ada. Ketiga, ini terlalu gelap. Apa lagi yang bisa lebih buruk? Trump jadi presiden kita tahun depan?"

"Itu sangat mungkin, sebenarnya."

Toby menangis. "Aku mau pulang dan main Minecraft."

Aku dan saudaraku meringkuk di dekat dinding yang dingin. Dia meracau soal kehidupan di hutan Amazon demi mengusir rasa takut sampai akhirnya terlelap. Aku tetap berjaga hingga pagi tiba. Mal terdengar sudah dibuka dan beraktifitas kembali. Seorang pegawai memasuki dapur dan terperanjat melihat kami. Dia hendak marah, tapi terlalu iba pada Toby yang tergegau dengan mata merah, bengkak habis menangis. Anak itu membeberkan semua pengalamannya semalam.

"... dan semuanya demi piza daging setengah harga. Kami cuma mau beli itu, huhuhu ...."

Pegawai itu lalu menggiring kami ke meja makan di depan dan menyiapkan sebuah piza daging utuh. Dia menyajikannya di hadapanku dan Toby. Enggak usah bayar, katanya. Soalnya itu sisa kemarin. Kami enggak pernah kehabisan daging kok, pelanggan kami banyak. Kemudian dia tertawa hambar dan kembali bekerja. Toby melotot kegirangan.

"Kau tahu, Bro," ujarnya dengan mulut penuh. "Ini makan piza daging pertama yang paling hebat. Orang tua kita seharusnya hidup lebih lama demi ini."

"Yah, kudengar, mereka terakhir kali terlihat sedang makan di sini sebelum hilang."

Aku dan Toby terdiam. Rasanya ada yang janggal, tapi aku tidak tahu apa. Jadi kami hanya kembali menyantap piza daging dan menikmatinya.

***

DWC Juni 1 23
"Cerita dengan tema pengalaman pertama"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang