Eksistensi Binatang

21 8 0
                                    

"Ukurannya mungkin sebesar anak kambing, kakinya empat dan berbulu, telinganya mirip rubah tapi lebih panjang, matanya bagaikan api biru," Keith menahan napas, "dan dia pakai masker."

Dua anak laki-laki di hadapannya terdiam. Yang kurus dan berkacamata tampak berpikir, yang gemuk dan bersyal ungu melongo. Ruang perpustakaan jadi hening lagi setelah Keith berhenti bercerita.

"Masa sih?" Conley jadi bingung. "Aku enggak apa-apa soal bulu dan mata biru. Tapi—um—masker? Masker agak sedikit bukan binatang."

Keith beralih menatap Edven si maniak Biologi, menunggu pendapatnya yang mungkin akan logis.

"Itu konyol."

Keith merengut. "Kau pikir cerita dengan tokoh binatang kece begitu konyol?"

Edven mengangguk. "Bagian masker-mu merusak segalanya. Itu tak masuk akal, Keith. Binatang bermasker hanya ada di pertunjukan dongeng TK saat anak pemerannya pilek."

"Tapi ini novel fiksi! Lagipula aku bodoh, Conley gendut, dan kau aneh. Kita semua teman dan sama-sama berhasil melewati ujian bernyanyi dengan nilai tertinggi. Itu konyol, tapi aku serius." Keith menaikkan alis dan membuka matanya lebar-lebar.

"Persoalan ini enggak nyambung sama perkataanmu barusan," sanggah Edven. "Dan Conley. Tolonglah. Itu buku—bukan roti. Anak ini sudah dicuci otaknya oleh resep roti gembung! Berhenti mengoles pensil di atas buku itu!"

Keith duduk di samping Conley dan mengambil bukunya, membersihkan sampul hitam itu dari debu. "Roti yang sehat tidak berdebu. Sekarang baru boleh kau makan.

Edven dengan cekatan langsung merampas buku tebal itu—sebelum Conley santap—dan meletakkannya di rak. "Cukup, kalian menggiringku jadi gila. Ayo ke kantin dan makan kentang goreng."

"Kalian yang di sana! Jangan ribut. Ini perpustakaan—"

"Bukan taman bunga," sahut ketiganya serempak. Mereka selalu ingat perkataan Mrs. Willey. Taman bunga adalah tempat paling ribut oleh suara obrolan bunga-bunga cantik.

"Bagus kalau kalian tahu." Willey mengangkat bahu dan kembali membaca novelnya yang luar biasa tebal.

***

Monitor laptop mengunci pandangan Keith. Jarinya berdansa dengan lincah di atas papan kibor. Keseruan dirinya yang sedang terjun di dunia fantasi tahu-tahu terusik begitu panggilan Grandma terdengar samar. Anak laki-laki itu mengusap wajahnya. Ruang kamar yang berantakan ditambah gorden yang tak pernah terbuka lama-lama membuatnya sumpek. Kapan terakhir kali ia bertatapan dengan sang surya? Mungkin dua hari lalu, sebelum kakinya melangkah masuk rumah pada Jumat sore.

Panggilan samar itu terdengar lagi. Keith melirik jam yang menunjukkan pukul enam sore. Ia bangkit. Mengeluarkan segala usahanya yang terbaik untuk merubuhkan tembok kemalasan. Melangkah keluar kamar untuk yang kedua kalinya hari ini.

Grandma terbaring lemah di atas ranjang. Matanya masih terpejam. "Bisa kau nyalakan lampu di belakang?" pintanya parau.

Keith memutar badan lantas menuju teras belakang yang gelapnya luar biasa. Opera musik kodok, jangkrik, dan kroninya sudah dimulai. Kali ini burung gagak dan burung hantu pun ikut bersuara. Dirabanya dinding dingin. Setelah menemukan kabel dan stop kontak, ia menyolokkan keduanya dan membuat lampu menyala mendadak, menampakkan bayangan dua orang di dinding.

"AH!" Keith terlonjak di tempat. Dia menoleh dengan cepat ke kanan, kiri, hingga badannya ikut memutar ke belakang. Yang ditemukannya hanyalah dirinya seorang. Padahal jelas betul dilihatnya tadi ada banyangan sosok lain di belakang.

Jantungnya masih berdebar. Keith memilih kabur ke dalam rumah dan mengunci gerendel pintu rapat-rapat. Ia bersandar di pintu, lalu mengintip sedikit dari balik jendela, kemudian cepat-cepat bersandar, lalu mengintip lagi. Dilihatnya teras yang tetap sama, tak ada orang lain.

Tiba-tiba bunyi nging yang panjang menusuk indra pendengarnya. Telinganya berdengung. Keith merintih, memegangi kedua telinganya. Dia melihat lagi teras luar dari balik gorden. Sesuatu melintas cepat ke dalam hutan. Terlihat seperti hewan, tak terlalu besar, dan berlari dengan empat kaki kecil berbulu. Sambil terus berlari, makhluk itu menoleh sekilas ke belakang seperti menatap Keith dari jauh. Matanya biru menyala.

Keith tahu itu bukan hewan biasa seperti kucing atau rubah atau kelinci. Karena hewan-hewan tersebut tentu saja tak punya masker di hidung mereka—seperti yang dikenakan makhluk itu. Dan ini ADALAH FENOMENA ANEH. Untuk pertama kalinya Keith mengalami fenomena aneh yang nyata! Cerita-cerita fantasi yang dia baca selama ini akhirnya menunjuk Keith untuk mendapat giliran sebagai pemeran utama.

Makanya, Keith pikir ini adalah inspirasi hebat untuk novel dia yang berikutnya, dan bagus untuk diceritakan kepada Edven dan Conley. Ini bakal epik, pikir Keith. Tapi ternyata tanggapan dua temannya tidak sesuai ekspektasi. Bahkan waktu Keith menunjukkan paragraf pertama dari novel yang terinspirasi dari kejadian itu, Edven masih menggeleng. Begini paragrafnya:

Desember 2018
Yakin saja, bukan hanya manusia yang bergerak dan bernapas di dunia ini. Nyatanya, makhluk dari ruang lain telah berulang kali mengajak manusia berkomunikasi--tapi tanpa kejelasan yang spesifik. Para ilmuwan memang berkerja sama mencari solusinya, namun penelitian berhenti saat kasus ini tersingkir dan terlupakan. Hingga pada liburan musim dingin, lima sekawan terseret kejadian-kejadian aneh yang berangsur-angsur meneror kota. Fenomena misterius itu menarik mereka ke dimensi lain yang diselimuti rahasia besar.

"Ini jauh sekali dari kejadian yang kau lihat waktu menyalakan lampu teras belakang," celetuk Edven. "Dari bayangan, denging, dan binatang bermasker, tahu-tahu jadi petualangan epik."

"Tapi kayaknya asik." Conley mendekat ke layar laptopku. "Lima sekawan. Itu pasti seru banget daripada tiga."

Edven cemberut. "Kau baru saja menyindir kita."

"Teman-teman, fokus! Aku butuh pendapat kalian. Dan tidakkah kalian pikir ini menarik? Apa kalian mau menjelajah ke hutang belakang rumahku?"

Edven dan Conley saling tatap. Conley melahap roti dengan gugup sementara Edven menepuk bahuku. "Begini, Keith. Kupikir, kau sudah terlalu lama membaca buku fantasi dan menulis hal serupa sampai-sampai terbawa mimpi."

"Mimpi?" Aku mendelik. "Kau pikir apa yang aku lihat itu salah?"

"Uh, yeah."

"Kenapa?"

"Karena di sekolah berasrama ini tidak ada hutan, Keith, dan kau bilang Grandma-mu sudah mati bertahun-tahun lalu."

Aku terpekur. Melirik laptopku yang ternyata bukan sebuah laptop. Aku menulis di buku tulis selama ini. Dengan pensil. Hingga tanganku luka. Edven merangkulku.

"Ayolah. Berhenti berkhayal jadi penulis amatir yang juga berkhayal dan tidak pernah keluar rumah. Ayo mulai main sama kami. Kau benaran butuh udara segar, Kawan."

***

DWC Juni 7 23
Airu
"buat cerita berdasarkan profesi kalian saat ini. Boleh didasarkan pada profesi atau jurusannya saja, tempat kerja/kuliahnya saja, atau keduanya."

[profesi Airu ada di statement terakhir. Clear ya. Ha.ha.ha.]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang