When Teacher Went Wrong

18 6 1
                                    

November, 2021

Saat aku membuka mata, Ash tengah menduduki kursi di samping kasur dan memainkan jemariku dengan sentuhan aneh. Sosok jangkung yang selalu melapisi seragamnya dengan jaket hitam itu masih tegang, menatapku dengan sorot sedingin sungai es.

"Kamu oke? Kata temanmu, kamu jatuh dari tangga."

Aku bergeming.

"Lava ... tinggal kamu satu-satunya. Kamu mengerti, kan?"
Ash menatapku lamat-lamat tetapi aku menunduk. "Orang tua kita sudah memutuskan persaudaraan. Mereka enggak mau lagi mengurus kita. Mereka terlalu sibuk terpuruk dalam masa lalu. Ayahku dan ibumu, bagiku, sudah tiada."

Jantungku berdebar saat Ash mencondongkan tubuh dan berbisik, "Kita enggak boleh jadi kayak mereka, ya? Enggak boleh. Kita harus saling mendukung, saling melindungi. Keluarga yang tersisa: aku satu-satunya buatmu, kamu satunya buatku. Jadi aku minta tolong, Lava. Jangan ada rahasia." Ash berdiri dan mengecup puncak kepalaku. "Jangan pernah."

Aku menelan ludah. Tenggorokanku tercekat, namun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Selalu tidak berdaya meski aku tahu bahwa tindakan Ash selama ini terasa menyimpang. Pelukannya, kecupannya, sentuhannya, sekalipun kami keluarga dekat dan tidak berbeda gender. Saat ia mulai meraba ke mana-mana ketika tidur, aku tahu rasa sayang Ash sudah bercabang.

"Sampai nanti." Anak laki-laki itu menutup pintu UKS.

Aku segera menyambar kantong plastik dari meja dan muntah. Perutku mual terlilit sampai wajahku panas. Aku menangis, diseliputi kebingungan luar biasa dahsyat.

***

Bayangan seseorang menutupi sinar matahari petang yang tadinya menyiramku di tengah lapangan. Mungkin aku sudah gila karena berjongkok di tengah sekolah menjelang maghrib setelah kepalaku mendadak pengar. Tapi, aku bisa lebih gila lagi kalau pulang ke rumah. Aku menengadah, masih dikaburkan air mata yang tumpah ruah karena rasa nyeri di sekujur tubuhku. Sosok itu menelengkan kepalanya. Cahaya matahari terbias dari balik rambut hitamnya yang menakjubkan, seakan-akan aku sedang memandang malaikat senja pencabut nyawa. Tapi, aku tahu dia tersenyum. Tulus sekali.

"Ayo bangkit."

Lalu, air mataku bertambah deras.

Aku merasa seperti bocah kecil cengeng tantrum yang kemudian ditenangkan oleh ibu paling berpengalaman sedunia. Hari sudah malam, tapi ternyata kehidupan sekolah tidak tidur di kantor yang tenang, dingin, dan nyaman. Beberapa guru masih sibuk berdiskusi dan menulisi selebaran, ada yang membawakan kopi lalu berkelakar sejenak. Aku duduk di sofa di pojok ruangan, tepat di sebelah pintu masuk. Agak jauh dari obrolan guru-guru yang lembur mempersiapkan ujian semester depan.

Seseorang di hadapanku sedang fokus membaca buku tebal sambil sesekali menyesap air hangat. Tidak bicara sepatah kata pun karena menunggu tangisanku reda. Membiarkanku merenungi rentetan kejadian yang sebelumnya terjadi begitu mendadak.

"Ibu ... siapa?" tanyaku parau.

Dia mengerling dari balik buku. Ditutupnya kover buku itu dan tersenyum tipis. "Saya guru pengganti Pak Dharma."

Aku mengangguk pelan. Tanganku masih gemetar.

"Sebenarnya, saya sudah di sini sejak dua hari lalu. Tugas guru BK itu enggak menentu juga, tapi saya mesti datang setiap hari, absen, menangani beberapa kasus yang terbengkalai. Saya juga baru ketemu kamu tadi pagi. Kamu jarang keluar kelas?"

Aku mengangguk pelan. "Tadi pagi ... apa Ibu yang bawa saya ke UKS?"

"Iya. Anak-anak cewek enggak berani. Anak cowok langsung kabur semua."

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang