He, You Never Know

22 6 0
                                    

Baru sebulan yang lalu aku datang ke sekolah ini, tapi sudah ada seseorang yang membuatku bertanya-tanya: ternyata ada orang semacam dia!?

Itu seniorku. Rambutnya abu keperakan jika tersiram cahaya matahari pagi, iris birunya cemerlang bagai berlian--namun ini dia bagian yang berkesan. Tatapannya. Sangat biru dan sedingin sungai es. Tak pernah sedikit pun dia beramah-tamah di depan kami, anak-anak baru.

Omong-omong, Izumi Sena anak kelas dua. Banyak teman setingkatku yang buru-buru menyingkir jika dia datang ke kafetaria atau hanya sekadar lewat di koridor. Entahlah, tapi aku tak mengingkari kenyataan bahwa auranya begitu mencekam--tidak! Membekukan.

Padahal kami semua tahu dia seorang artis tenar. Salah satu vokalis dari The Knights di sekolah kami, Akademi Swasta Yumenosaki. Personel yang turut menebar senyum dan segala kilau-kilauan-entah-apa setiap kali mereka naik panggung.

Makanya ini: ini hal paling aneh yang kutemukan setelah bertemu dengannya. Apakah ini yang disebut bermuka dua!? Pesona yang membuat para gadis tergila-gila itu lenyap saat bertemu dengan dirinya yang asli. Aku sampai berpikir jika dia sungguhan ksatria yang--normalnya--berwajah garang.

"Apa?" sinisnya saat tahu aku mengamatinya. Aku sedang berdiri di kereta menuju rumah dan ini!? Aku bertemu dengannya yang duduk santai membiarkan seorang nenek tua kesusahan berdiri sampai memegangi lenganku!

"Tidak bisa baca?" Aku menunjuk papan tentang mendahulukan lansia, ibu hamil dan orang sakit untuk duduk.

Dia mengerling sekilas. "Kau orang tua?"

Aku mendelik. "Ini, nenek tak bersalah yang sebesar ini, tepat di sebelahku."

Izumi tampaknya baru sadar karena sejak tadi ia tak mengalihkan pandangan dari ponsel. Sang nenek tersenyum pada Izumi saat dia bangkit untuk bertukar posisi. Oh, ini: apakah ini manusia atau raksasa? Kenapa aku jadi seperti kurcaci jika berdampingan dengannya!?

Dia melihat seragamku sekilas. "Kau? Anak Yumenosaki?" tanyanya tiba-tiba seolah tak percaya.

"Kenapa?" tanyaku heran.

Dia mendengus menahan tawa, tersenyum asimetris. "Kupikir Yumenosaki tidak merekrut bocah dari desa."

Aku mendelik. Tepat saat ingin protes, tahu-tahu kereta mengerem sampai aku hampir jatuh. Tidak, Izumi tak mungkin secara refleks menahanku. Dia bahkan masih terus berkutat pada ponselnya tanpa peduli keadaan sekitar.

Benar-benar!?

Ah, lagipula, siapa yang ingin disentuh oleh orang sekurang ajar dia?

"Pemberitahuan kepada seluruh penumpang agar bertahan di tempat. Mohon tunggu sejenak karena sedang terdapat masalah teknis di gerbong depan. Terima kasih."

Izumi menyipit padaku. "Apa kau membawa sial? Karena sudah dua tahun aku naik kereta ini dan tak pernah kenapa-kenapa."

Aku terperanjat. "Ini karena sikap Kakak tadi! Durhaka pada orang tua!"

"Lalu, apa kau tak disebut durhaka juga karena bicara tidak sopan kepada senior?"

Kami terus berdebat hingga suara dentuman menggelegar tepat saat pintu gerbong meledak. Orang-orang terlempar bahkan aku terjerembab ke belakang. Hawa panas langsung menjalar ke seisi gerbong bersama api-api yang berkobar.

Para penumpang berlarian, menjerit, menangis. Beberapa memang ada yang terluka amat parah. Seorang pria tua tertatih-tatih dengan separuh kepala menghitam.

Tanganku gemetaran sebelum seseorang menariknya hingga aku berdiri. "Cepat pergi! Apa kau bodoh!?"

Aku tersadar dari keterkejutan yang dahsyat dan berlari di belakang Izumi. Napasnya tersengal saat menemukan kerumunan yang terjebak. Ada pembunuh dalam kereta. Suara-suara khawatir dan takut itu terus bersahutan. Ada peneror. Pembunuh. Kita akan mati. Buka pintunya!

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang