Si Merah Kaku

21 6 4
                                    

Aku beruntung bisa bertemu dengannya andaikan aku perempuan. Orang-orang tidak akan curiga jika aku sering memperhatikannya waktu bermain musik di taman kafe itu, apalagi jika aku mulai bertindak. Padahal Dr Lisa Firestone pernah sekali bilang, kita harus mengambil tindakan yang penuh cinta atau mungkin hidup dalam fantasi. Tapi banyak dari kita tidak bertindak dan menjadi yang kedua, termasuk aku. Aku Edison Red alias Eddie, tapi anak-anak kelas lebih setuju kalau namaku Si Merah Kaku. Ada beberapa alasan: 1. Rambutku kemerahan seperti daun maple, 2. Aku tak bicara banyak, dan 3. Mungkin aku agak-kurang-ramah. Kelihatannya tidak akan ada orang yang betah denganku—termasuk Sean Miller. Dia adalah pemain gitar aktif di grup akustik yang mudah tersenyum riang dan menyapa penggemarnya dengan hangat.

Ada banyak hal dari Sean yang mungkin ada pada diri orang lain, tapi menjadi luar biasa karena itu dia. Aku tidak tahu kenapa. Mungkin aku suka dia. Mungkin aku cinta. Karena aku kenal Sean bukan sejak rutin menonton pertunjukan grupnya setiap pulang dari kampus saja, tapi sejak beberapa tahun lalu.

Waktu aku masih sophomore. Ada penembakan di sekolah. Anak-anak di kelas mungkin bersembunyi di bawah meja-meja bersama guru, tapi aku yang baru selesai dari perpustakaan terjebak sendiri. Itu yang kukira sampai aku melihat anak laki-laki lain. Itu Sean. Aku tak pernah melihatnya di kelas mana pun, jadi kupikir dia lebih tua. Tapi dia cedera dan tak bisa pergi padahal serangan terus datang bertubi-tubi.

Aku segera melindungi kepalaku dengan papan besi yang kudapat dan bergegas menjemput Sean, memapahnya ke tempat persembunyianku. Napasnya berdengih. Peluhnya mengucur. Dan baru kusadari bahwa bahunya robek, tergores oleh peluru. Aku melepas rompiku dan membalut luka Sean, mengikatnya. Dia tampak setengah sadar, tapi berusaha memandangku dengan mata hijaunya. Dia berterima kasih padaku, lalu penembakan dimulai lagi. Aku segera merangkul Sean untuk merunduk, dan kami bersembunyi amat lama sampai polisi datang. Kami tak bicara banyak. Aku segera memanggil perawat yang kemudian mengangkutnya. Kami berpisah.

Beberapa tahun kemudian, aku sudah berubah. Tapi perubahan itu bahkan tidak mengurangi peluangku untuk diganggu orang jahat. Aku baru selesai berbelanja ketika sekelompok anak SMA berandalan mengadang. Mereka bilang, aku mirip cewek, lalu menggoda dan hendak merampokku. Tapi kemudian Sean datang bersama grup musiknya. Mereka yang notabene sudah lebih dewasa berhasil membuat para berandalan itu mundur (meski masih menyumpah-serapah). Sean bertanya apa aku baik-baik saja, tapi aku tak bisa bicara karena ini pertama kalinya kami berhadapan langsung sejak insiden penembakan bertahun-tahun lalu. Aku hanya mengangguk, berterima kasih, dan pergi. Dasar tolol.

***

Kita harus mengambil tindakan yang penuh cinta atau mungkin hidup dalam fantasi.

Saat ini, aku pasti hidup dalam fantasi, terlepas dari tindakan yang penuh cinta yang dahulu pernah kulakukan. Karena aku bermimpi terus saja dan mengendalikannya, sehingga aku menciptakan Sean Miller di sana. Aku membuat adegan di mana kami bermain musik, bertanding video gim, berjalan-jalan, berbincang, bahkan bersama di tempat tidur. Aku mulai merasa gila. Aku mungkin sudah jadi gay karena cinta kecilku mulai berapi-api terhadap Sean.

Pada malam itu, aku bermimpi lagi. Mimpi yang sama seperti biasanya. Mimpi lucid. Fantasiku. Aku sedang tidak mengendalikan apa pun. Membiarkan ruang kosong putih di sekelilingku dan duduk diam. Tapi, Sean Miller menepuk pundakku sampai aku terkejut. Aku tidak menciptakannya. Bahkan sedang tidak memikirkannya. Sekarang dia malah ada di sana dan menatapku dengan teduh, duduk bersila. "Hai."

Aku masih tercengang.

Dia tertawa.

"Jangan kaget. Katanya, orang-orang yang mimpi lucid bisa saling ketemu. Tinggal lakukan ini, itu, dan seterusnya. Ta-da!"

Aku menggeleng. "Ini pasti halusinasiku lagi."

"Lagi? Jadi kamu sudah pernah memimpikan aku?"

Aku mendelik. Wajahku mendadak hangat.

"Kamu selalu datang ke penampilan grup kami dan menyumbang. Itu sangat membantu. Terima kasih."

Aku menunduk. "Bukan ... apa-apa." Lalu aku tersadar. "Tapi, kalau memang benar, kenapa malah datang ke mimpi lucidku?"

"Oh, itu." Sean memegang tengkuknya. "Aku cuma penasaran denganmu."

"Kenapa?"

"Aku penasaran ... apa mungkin kamu menyukaiku selama ini?"

"Enggak mungkin," elakku. "Aku—enggak tahu. Tapi aku bukan gay. Kalaupun aku jawab iya—itu enggak bakal berakhir bagus."

"Kamu tetap bisa suka aku tanpa menjadi gay, tahu kan?"

"Apa maksudmu?"

Sean menepikan helai rambutku ke balik telinga dan mengelus pipiku. "Soalnya, kamu cewek tulen. Allison Red." Dia tersenyum tulus. "Dan aku selalu ingat kamu sejak penembakan itu. Waktu aku masih freshman."

"Freshman? Kamu ... setingkat di bawahku?"

Sean mengangguk. "Dan bagiku, kamu enggak pernah berubah. Sekalipun kamu sudah transgender dan bikin penampilanmu secowok mungkin, kamu tetap Allison Red, cewek pemberani yang menyelamatkanku. Dan aku masih menyimpan rompimu selama ini."

"Tapi tetap saja—sekarang—aku Edison Red dan sudah bukan cewek—"

Sean mencium keningku dan menatapku dari dekat. "Kamu yakin?"

Aku bergeming, lalu tahu-tahu saja terbangun.

Aku sudah kembali ke kamar apartemenku di lantai tujuh. Sinar matahari menembus gorden jendela di dekatku, lalu aku mengintip keluar. Tak jauh dari sana ada sebuah taman kafe yang mulai buka. Kursi-kursi dan meja disusun seperti biasa. Ada pula sebuah panggung kecil untuk penampilan grup akustik Sean Miller dan kawan-kawannya. Aku turun dari kasur dan bersiap berangkat ke kampus.

Hari ini, aku merasa berbeda.

Aku merasa sebagai Allison Red.

***

DWC Juni 9 23
Airu
"awali cerita hari ini dengan kalimat 'aku beruntung bisa bertemu dengannya'"

[khusus bab ini sifat "kengerian" enggak eksplisit ya, tapi masih sejalan sama Sweet Macabre yang bertema "cuplikan manis dari hal-hal gelap". Emang apaan kengerian dari bab ini? Coba kalian cari XD]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang