Sinetron Para Lebah

10 4 0
                                    

Halo, namaku Haplo, aku lebah madu cowok.

Aku sekolah di Akademi Pekerja Setia dan diajarkan cara mengumpulkan madu. Kami bekerja untuk kepala sekolah yang kupanggil Mrs. Ratu. Aku pakai Mrs soalnya dia sudah punya anak—banyak sekali anak. Salah satunya mungkin saja aku, dan saudaraku yang itu, dan yang itu, dan yang itu.

Kalau Hachi, aku tak tahu apakah dia saudaraku atau bukan karena dia terus saja berkelana buat mencari ibunya. Ibuku kan Mrs. Ratu yang ada di singgsana tadi. Aku juga tidak terlalu suka Hachi, dia gampang menangis, meskipun aku tetap sayang dia sebagai rekan kerja. Aku yakin kalau para lebah membuat film tentang dia yang mencari ibunya di malam yang sangat dingin, anak-anak lebah bakal jadi cengeng dan berombongan mencari ibu.

Padahal kan ibu kami adalah Mrs. Ratu.

Dia cantik sekali, kau tahu? Dan dia besar. Aku tak tahu kenapa dia bisa sebesar itu sampai-sampai kupikit ia akan meledak. Tapi, ternyata tidak. Sepertinya menjadi besar adalah salah satu cara lebah cewek menjadi atraktif. Walaupun yah aku tak pernah sih dekat dengan lebah cewek mana pun soalnya di sini jarang ada cewek. Kalaupun ada dan dia kawin sama salah satu dari kami, anaknya selalu cewek. Lebah cewek itulah yang nanti bertelur sendiri dan menciptakan lebah-lebah cowok.

Makanya aku tidak punya ayah melainkan kakek.

"Kau masih belum menemukan lebah cewek yang mirip denganku ...?" tanya Hachi dengan raut sendu. Dia suka sekali membuat ekspresi yang memicu orang jadi pengin nangis. Kami sedang terbang berdua ke taman bunga di bagian utara.

"Hei, Sob. Sudah kubilang kalau kau ada dalam koloni ini, ibu kita semua sama. Kenapa kau tak paham juga?" sahutku heran.

"Tapi, uh, dia tak menyayangiku."

"Dari mana kau tahu?"

"Dia menyuruhku bekerja. Padahal saat aku lihat manusia, ibu-ibu mereka duduk di samping mereka. Menggendong mereka. Mencium kepala mereka. Dan bernyanyi lagu tidur."

"Kau harus berhenti menonton mereka, Hachi. Itu bikin kamu halu." Aku terbang mengitari Hachi. "Lagian, kenapa kau tidak mencari ayahmu saja?"

"Aku tidak punya. Kau?"

"Kupikir karena aku lebah madu dan kau lebah madu, kita sama-sama tidak punya ayah, Hachi. Dan itu berarti kita cuma punya ibu. Dan ibu kita sama." Aku menunjuk ke belakang dengan penyengatku. "Itu, di sana. Ibuku. Ibu kau juga. Jadi kau bisa berhenti mencarinya."

Hachi mengusap air matanya ketika kami terbang merendah ke salah satu bunga dan memulai pekerjaan. Aku sebenarnya suka pekerjaan ini, bahkan kupikir aku memang lahir untuk ini. Untuk mengumpulkan madu serta mengikuti perintah Mrs. Ratu. Namun, waktu kami baru saja hendak berbalik pulang, sesuatu menghantam kepalaku. Hachi juga mengaduh kesakitan. Kami sama-sama menoleh ke bawah dan menemukan sesosok makhluk yang melambai-lambaikan tangan.

"S-siapa ... itu?" tanya Hachi gemetaran.

"Kau mau melihatnya?" tawarku.

"B-bagaimana kalau itu penculik?" Hachi menelan ludah. "Penculik lebah madu cowok imut."

"Bagaimana kalau itu ibumu?"

Hachi terbelalak. "Menurutmu begitu?"

Aku mengedikkan kepala dan terbang merendah. Hachi mengekor di belakangku dengan takut-takut. Di atas tanah itu ada sesosok makhluk. Dia terbang beberapa senti saja dari atas tanah. Bagian bawah sini agak gelap karena bunga-bunga yang bermekaran, tapi ada berkas-berkas cahaya yang membantuku untuk melihat.

Aku dan Hachi tersentak kaget. Itu bukan lebah cewek besar seperti Mrs. Ratu. Itu lebah pekerja cowok yang penampilannya berantakan seolah dia telah berkelana dalam jangka waktu yang lama. Seperti Hachi jika saja Hachi terus berkelana bertahun-tahun tanpa pernah pulang.

"Anak-anakku! Aku tahu itu kalian! Dari tadi aku sudah memperhatikannya," kata lebah misterius.

"Anak?" Aku dan Hachi saling berpandangan.

"Ya, ya, benar. Anak. Kalian anakku. Kalian lahir dari telur buatan aku dan istriku."

"Tidak mungkin!" sanggahku, perlahan mundur. Lebah ini pasti sudah gila. "Tak ada anak lebah madu cowok yang lahir dari pasangan. Kami lahir dari telur tunggal ibu kami."

Lebah misterius itu tertawa.

"Nah, itu sebabnya aku diusir, Nak. Wah wah, kalian tumbuh dengan sangat baik, ya!"

"Diusir?"

"Yeah, soalnya aku melanggar kodrat. Telur kami seharusnya menghasilkan anak cewek, tapi yang keluar malah anak cowok kembar." Dia tersenyum. "Kalian."

"T-tapi, gimana Anda tahu kalau kami sungguhan anak Anda?" tanya Hachi yang mulai berani menampakkan diri. Dia terbang di sisiku.

"Seorang ayah lebah pasti akan tahu." Dia merentangkan tangannya. "Kemarilah, Anak-anakku!"

Aku dan Hachi saling tatap, sebelum perlahan bergerak ke arah lebah misterius. Kami berpelukan sampai aku merasakan sesuatu yang baru. Ini bukan rasa senang ketika bekerja. Bukan pula rasa kagum ketika memandang Mrs. Ratu. Ini adalah sesuatu yang lain. Sangat hangat. Seperti sebuah keluarga sungguhan.

Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah.

***

DWC Juni 21 23
Airu
"akhiri cerita kalian hari ini dengan kalimat "Seumur hidupku, aku tidak tahu kalau aku mempunyai ayah.'"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang