Bloody Weddings

31 12 0
                                    

Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat kasih sayang Tuhan yang melekat padaku. Dia dengan kuasa atas takdir melepasku dari belenggu-sesuatu-entah-apa. Belenggu tak kasatmata yang mencekik leherku hingga aku meronta, berguling dan merangkak. Namun, inilah dia bukti kasih sayang Tuhan.

Aku dibebaskan.

Sebuah kota baru, identitas baru. Tak akan ada yang mampu mengenaliku setelah perubahan besar--perubahan jelek--ini. Mereka tak akan lagi menemukan rambut yang bergelombang indah. Mata biru koral yang cemerlang. Gaun-gaun beludru sampai sepatu lentik ....

Tidak ada. Hanya ada manusia yang berselimut kesuraman. Segalanya musnah!

Hujan turun setiap hari di kota ini. Sudut-sudut persimpangan menyimpan perumahan kumuh, udara lembab dan kabut mengambang. Dia bergaya kota hantu yang setia dengan bangunan-bangunan tua klasik. Langitnya mendung, terus berawan tanpa menyisakan celah biru.

Tapi, benar aku bahagia. Aku sudah bebas. Kebahagiaan itu adalah saat aku bangun tanpa menemukan siapa pun di sisiku. Aku berangkat menuju sekolah yang bahkan tak peduli jika ada anak baru. Luar biasa. Sampai seorang anak perempuan datang. Melotot.

Dia menarikku ke ujung kelas dan berbisik getir, "Ini sungguh kau?"

Aku dengan jelas dapat melihat garis-garis wajah familiar darinya. Hanya sedikit perubahan rambut yang pirang akibat sinar matahari. "Anne?"

Dia menggeleng sambil menunduk, memijat pelipis. "Apa-yang-kau-lakukan-di-sini?"

"Aku belajar, Anne, di sekolah."

"Tapi--" dia menatapku lekat-lekat, "--di sini? Harus di sini?"

"Apa kau tidak suka bertemu denganku lagi setelah tiga tahun?"

Anne segera mendekapku. "Tentu aku merindukanmu. Aku menyayangimu, tak mau melihatmu sengsara. Itulah kenapa aku tidak ingin kau datang ke sini." Dia dengan segera menarik tanganku dan berlari keluar.

"Tunggu--" dia berhenti, "--di mana tasmu?"

"Itu tertinggal karena kau--"

Anne terbelalak. Bukan melihatku, tapi lebih ke belakang. Aku menoleh dan ikut terbelalak karena anak-anak yang sejak tadi diam di kelas, kini berjajar dengan kapak teracung. Salah satu anak perempuan berdiri paling depan mengayunkan kapaknya dengan anggun. "Bunuh dia."

"Cepat naik!" Anne segera mendorongku ke mobil dan menginjak gas--tepat saat sebuah kapak menghantam kaca belakang. Aku terkesiap.

"Siapa--kenapa?" napasku tersengal. "Kupikir tidak akan, mereka tidak akan kenal ...."

"Apa kau melupakan dia?" pekik Anne, membanting stir tiba-tiba untuk menghindari kapak yang nyaris mengenai ban. "Gadis itu sudah gila. Dia menghafal setiap hal darimu demi mencarimu hingga kau lenyap."

"Tapi, kupikir dia sudah memiliki orang lain. Dia tak akan mengejarnya lagi."

"Kau ... apa kau tidak mengerti?" Anne melirik kaca spion memastikan rombongan pembunuh itu semakin jauh. "Cinta bisa menjadi amat mematikan ... jika kau salah mengartikan."

"Itu hanya dendam pribadi kan, Anne?" Aku terpegun. "Penduduk kota memang tak bisa menerima hal ini. Aku pun menolak bahkan jika diminta bersuara, tentu aku akan berada paling depan. Tapi mereka ... tak pernah mau tahu duniaku. Mereka hanya tahu kejadian kami adalah dosa besar."

"Kota?" Anne menyeringai sarkastik. "Terlalu kolot bahkan untuk kubilang. Tapi, ya, benar ini kota. Kota orang-orang gila. Gila aturan. Aturan gila."

Anne mengganti gigi saat mobil menanjak. Kaca jendela mulai berembun akibat udara luar semakin dingin. "Ke mana kita pergi?"

"Maafkan aku," lirihnya. "Aku sungguh menyayangimu, kau sahabat yang sudah bagaikan keluarga. Itulah kenapa aku tak ingin kau sengsara ...."

"Anne," aku memandang jalanan berbatu yang semakin tak jelas karena kabut, "Ke mana kita pergi?"

"Maafkan aku," Anne menangis, "kau akan sengsara kalau terus ada di dunia ini ...."

"Anne!" Aku mengguncang pundaknya saat kabut memudar dan menampakkan ujung jalan batu. Jurang. "Anne hentikan! Aku masih punya harapan! Kita bisa ke kota A ... kota B ...."

"Tak seharusnya kau kembali ke sini. Jika sudah terancam, pergilah. Lebih baik pergi."

"Tapi kau satu-satunya bagiku! Dan kau di sini!"

"Dan aku mengacaukan hidupmu!" Mobil semakin laju hingga terlontar dari tepi jurang. Jatuh menuju sesuatu-entah-apa yang tertutup kabut. Semakin jauh ....

[]

Sesuatu-entah-apa ... selalu entah apa. Ada banyak hal yang tak kita ketahui, tapi terjadi, tapi datang. Lain lagi kehidupan yang tak selalu datang melainkan juga pergi. Anne pergi untuk selamanya. Pasti dia sedang mencari-cariku di kereta menuju surga? Memohon pada kondektur agar menahan kereta sebentar, "Sahabatku akan datang. Kami jatuh bersama."

Tapi, tidak!

Tuhan masih enggan bertemu denganku, ia tahu aku tak siap bertekuk lutut di hadapan-Nya. Tak siap karena tempurung lututku tentu akan lepas. Kakiku tak akan sanggup tegak dengan beban dosa yang kupikul sepanjang masa.

Aku berjalan terseok-seok di antara hutan belantara. Rasa sakit mendera seluruh tubuh dan jiwa. Hening. Hanya ada keresak-keresak dari tanah basah yang-entah-kenapa. 

Selalu entah-kenapa karena tak ada alasan pasti atas sesuatu. Termasuk mengapa ada seseorang yang juga bertamu di tengah hutan. Berdiri tegap sebelum menelengkan kepalanya sedikit, tersenyum. "Kamu di sana," lirihnya.

Dan kamu memang di sana. Tak bisa ke mana-mana. Siapa yang saking saktinya dapat berlari dengan kaki terluka dan darah yang mengucur dari kepala? Tubuh yang nyaris remuk dan lebam-lebam? Tidak ... seluruh tubuhmu bahkan telah bersimbah darah setelah kau memeluk mayat yang sebelumnya sahabatmu.

"Mari pulang," ajaknya. Dia perlahan mendekat sedangkan aku berjalan mundur, tersandung. Menatapnya dengan mata penuh ketakutan. Ya ... aku lemah. Aku selalu lemah. Dan dia yang kini berdiri tepat di depanku mulai mengurangi rasa pongah. Dia bertekuk lutut hingga wajah kami sejajar.

Dia tersenyum. Selalu tersenyum karena dia bahagia.

Aku, saat aku terbangun di kamar flat di kota baru, aku bahagia.

Aku bahagia karena dia tak ada.

Dia di kota lain karena aku kabur!

Tapi, kini pun dia sedang bersamaku. "Aku tak akan pernah lepas dari kamu," bisiknya ketika tangan dingin itu meraih daguku. Air mataku telah bercucuran. "Kita tak akan pernah terpisahkan. Oleh sahabat, oleh massa yang marah ...."

"Kamu milikku seutuhnya." Dia menatapku lamat-lamat. "Setelah tiga tahun, kini usiamu sudah cukup. Mari kita gelar pernikahan paling sempurna di sini ... ya? Di dunia kita. Hanya dunia kita."

Dia menungguku. Terus menatapku tanpa pernah berkedip dan menyimpan banyak arti. Air mataku tak dapat berhenti berderai. Aku tak mampu berbuat sesuatu apa. Karena seluruh tubuhku tak lagi berdaya ... aku mengangguk pasrah. 

[]

1/2/22
Airu

Ini bab pertama dalam DWC NPC 2022.Buatlah cerita yang berawalan, "Hari ini ketika aku terbangun, aku melihat ...."

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang