Koruptor dan Tuan RR

20 6 0
                                    

Kadang aku mengira kalau jenis kami ini dikutuk atau semacamnya. Kesengsaraan hidupku dan nenek moyangku tidak jauh-jauh amat, soalnya kami paling dibenci manusia kedua setelah kecoak. Soalnya juga kami sama-sama dianggap hama. Bahkan saat aku dan para tikus lain sudah berevolusi hingga dapat berjalan dengan dua kaki saja (tidak lagi pakai tangan) serta berpakaian dan bicara, kami tetap tidak disukai. Yah, kami akhirnya bisa sih bicara secara literal, bukan lagi sekadar fabel-fabel yang dahulu sering dibacakan orang tua kepada anaknya.

Kami sungguh bicara.

Kata seorang ilmuwan ini yang aku tonton di videotron Times Square, pita suara binatang-binatang mulai berubah sehingga yang keluar bukan lagi lenguhan, kokokan, raungan, cicitan, atau sebagainya, melainkan bahasa. Ini juga ada hubungannya dengan otak dan lidah, tapi aku lebih yakin kalau ini gara-gara limbah yang tak sengaja buyutku santap.

Makanya sekarang aku sudah bekerja sebagai pegawai tetap di Agensi Binatang Kantoran di pinggiran Manhattan, dan aku pakai dasi. Masalahnya adalah aku seringkali tidak percaya diri karena di masa lalu, jenisku yang berdasi pasti dikaitkan dengan seorang kriminal rendahan yang disebut koruptor. Jadi, itu adalah sebuah impresi yang kelek. Padahal aku tak pernah mencuri uang atau harta agensiku. Aku hanya diberikan uang divisi kami sebab aku bendahara, lalu kupakai untuk berjudi dan mendapatkan lebih banyak uang. Jadi aku pun agak bingung apakah aku ini koruptor atau bukan karena uangnya makin bertambah, dan aku hanya mengambil lebihan itu sementara jumlah dasarnya tidak berubah.

Di ABK ada berbagai binatang lain yang juga sudah berevolusi. Rata-rata mereka pun sudah hidup menyerupai manusia. Mereka menikah, punya anak, bekerja, membayar pajak, mabuk di diskotek, dan lain-lain. Sementara aku—mungkin—juga menyerupai manusia, hanya saja manusia yang separuh pengangguran.  Aku memang bekerja dari pagi sampai sore, setiap Senin sampai Jumat, tapi sisanya benar-benar kosong. Itulah kenapa aku ingin sekali ada petualangan sekali seumur hidup, seperti waktu aku masih seekor tikus. Masih tikus secara harfiah.

Sehingga ketika aku melihat binatang yang amat familier ini keluar dari rumah pribadinya di antara apartemen kumuh, instingku jadi tergelitik. Setelah Tuan Raja Rimba alias Tn RR pergi dengan mobil listriknya, aku menyelinap ke pekarangan. Aku mengintip rumahnya yang lumayan megah. Ada ruang tamu, ruang duduk, ruang berkumpul, ruang makan, dapur, toilet, kamar, balkon-balkon, pelararan hijau, dan seterusnya. Tn RR jelas orang kaya. Mungkin ini juga diturunkan dari nenek moyangnya yang adalah penguasa di hutan. Nasib Tn RR jauh berbeda denganku yang merupakan keturunan penghuni-got-pencuri-makanan-bekas.

Namun, meski kaya, dia tampaknya tinggal sendirian. Mungkin inilah satu-satunya kesamaan di antara kami.

Waktu aku sudah puas mengintip dan melontarkan kedengkianku dalam hati, aku terkejut akibat Tn RR yang sudah datang dan menarik tali dasiku dari belakang. Aku meronta-ronta sambil berusaha melepaskan dasi itu, memohon padanya. "Saya—uhk—enggak bermaksud ngintip atau mencuri atau apa—uhk, dasi sialan—tolong lepaskan saya, Bulu Besar? Atau harus—uhk—saya bilang Gondrong? Anda masih saja gon—uhk—drongh."

Dia melepasku sehingga aku terjatuh sambil memperbaiki kerah dasiku, tapi dia masih mengadangku di teras belakang rumah itu. Wajahnya murka. Mungkin inilah yang dahulu buyutku lihat pula sehingga ia ketakutan sampai minta dibebaskan. Bedanya, sekarang sudah 2075 dan tikus tidak lagi terlalu khawatir pada singa karena tikus juga sudah capek hidup. Bukankah kami sudah hidup cukup lama sebagai parasit hingga detik ini?

"Siapa yang mengizinkanmu ke sini?" tanya Tn RR lantang.

"Enggak ada, Tuan. Sumpah."

"Lalu kenapa kau ke mari?"

"Saya mungkin agak kangen."

"Kangen? Kangen apanya?"

"Masuk ke dalam jaring ...."

"Itu bagianku, Bodoh! Aku yang masuk ke jaring. Kau yang melepaskanku."

"Oh astaga, ternyata otakku sekecil tubuhku."

"Itu masih lebih baik daripada kalau otakku enggak sebesar badanku. Itu memalukan."

Aku terbahak-bahak. Tn RR tersenyum hingga taringnya tampak. Dia menjabat tanganku sebelum aku menyambutnya.

"Gimana kalau kopi?" tawarnya. "Sambil nonton pertandingan Sepak Bola Nongravitasi. Kali ini tuan rumahnya Mars, besok-besok mungkin Saturnus—tahu kan—di cincinnya itu. Terbang."

"Uh, Anda terlalu manusiawi, Tuan. Kita butuh sesuatu yang lebih nostalgia."

"Apa? Kau mau sesuatu seperti air sungai yang sudah tercemar limbah dan nonton Kancil membodohi Buaya?"

"Kenapa enggak? Mungkin saja pestisidanya masih ada dan kita semua bisa kembali jadi kita secara harfiah."

Tn RR menyeringai. "Kau pasti sudah lelah menyerupai manusia."

"Ya. Kita saja yang meniru mereka sudah selelah ini. Aku tak bisa membayangkan jadi manusia sungguhan. Bagaimana mungkin mereka bertahan tanpa merasa ingin mati cepat-cepat?"

***

DWC Juni 12 23
Airu
"Pilih salah satu fabel di Indonesia. Recreate dengan latar waktu tahun 2075"

[Airu pilih tikus dan singa. Itu cerita yang paling Airu tahu gara-gara pernah lomba story telling]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang