Keturunan Badar

20 7 1
                                    

Ayahku hafal nama-nama penyiar berita tahun 1980-an. Ketiga saudaranya juga sama, soalnya mereka suka main "tebak penyiar" waktu zaman itu. Soalnya juga, mereka masih kecil. Dan sekarang mereka berempat sudah dewasa, sama-sama sudah menikah dan punya anak. Hanya saja ada yang mati karena kanker. Lalu ada yang menyusul mati karena serangan jantung. Lalu ada yang mati lagi karena entahlah. Tahu-tahu saja ayahku tinggal sendiri sebagai keturunan keluarga Badar yang tersisa. Dia menceritakan itu dengan bangga sebab keturunan Badar terkenal dengan berbagai keajaibannya.

"Ayah bisa kendalikan mimpi," ujarnya saat aku sedang menonton My Little Pony (jangan tanya kenapa anak cowok sepertiku nonton itu soalnya aku tak punya alasan).

"Karena pakai sihir?" tanyaku asal.

"Bukan. Karena Ayah keturunan Badar."

Berarti aku juga bisa, pikirku.

"Kalau Ayah mau lari, Ayah bilang: lari! Terus Ayah lari di sana. Kalau Ayah mau hilang, Ayah bilang: hilang! Terus Ayah hilang di sana."

"Kalau Ayah mau kentut?"

"Ayah bakal—hah?" Ayahku menggeleng. "Di mimpi itu kita bisa ngapain aja, Nang. Selami samudra, meluncur ke luar angkasa ... kok malah mau kentut."

Aku mengedikkan bahu. "Mungkin aja kan Ayah enggak bisa kentut waktu rapat kantor? Atau waktu kapan pun karena selalu ada orang? Di mana tempat yang enggak ada orang? Mimpi yang kita kendalikan dong."

Ayah mengelus-elus jenggot ilusinya. "Mungkin bisa dicoba."

***

Rumah kami terletak di dekat sawah. Setiap malam, aku selalu mendengar bunyi jangkrik, tonggeret, kodok, bahkan nyanyian entah siapa yang saling bersahutan. Kadang-kadang terasa amat aneh karena aku hanya tinggal berdua dengan ayahku. Sehingga kalau salah satu dari kami tidur, tidak ada satu pun suara manusia yang terdengar. Aku jadi gampang kangen suara cemperengnya Pinkie Pie, tapi aku tidak boleh menyalakan televisi di atas jam sepuluh. Makanya aku memaksakan diri buat tidur.

Dan itu rupanya SUSAH sekali.

Aku selalu kesulitan tidur sejak aku puber. Kata Ayah, itu gara-gara hormon, jadi aku tidak perlu takut atau terburu-buru ingin menikah. Nanti juga reda, pungkasnya. Aku tidak memahami ucapan Ayah karena itu tidak berhubungan dengan kasusku. Dalam kasusku, aku sulit tidur. Mungkin maksudnya sulit membedakan antara kondisi "sudah tidur" dengan "masih menatap plafon kamar tapi terasa tidur". Ayah pernah bilang kalau mimpi itu seperti kenyataan. Bedanya, benda-benda nyata berada pada kondisi tidak nyata atau mustahil. Misalnya padi menanam manusia atau kucing mengendarai sepeda ontel.

Mataku terpejam.

Ayo fokus! Ada hal-hal nyata yang enggak nyata atau enggak?

Aku membuka mata dan masih melihat plafon kamarku. Bedanya, di sana ada WAJAH mendiang saudara ayahku yang berbentuk mirip kuda poni. WAJAH itu menatapku dan menyeringai yang saking lebarnya sampai-sampai aku merasa akan dimakan.

Jangan makan aku. Aku bau.

Tapi mantra itu tidak mengubah apa pun. Aku berusaha memikirkan sesuatu yang lebih keren.

Aku mau terbang.

Kemudian, aku terbang—tanpa sayap seperti pegasus. Aku melesat ke luar jendela setelah menjulurkan lidah pada WAJAH jelek di plafon kamarku. Aku terbahak-bahak dan terbang dengan bebas. Ternyata begini rasanya mengendalikan mimpi. Ternyata begini rasanya menjadi keturunan Badar!

Aku meluncur ke bagian kamar Ayah dan mengintipnya dari luar jendela. Ayahku masih tidur sambil memeluk gulingnya. Astaga! Dia tampak berkali lipat lebih menyedihkan ketimbang saat mengenakan seragam dinas desa! Aku tertawa dan terbang ke sisi lain rumah. Aku mengintip kamar mendiang Kakek dan Nenek yang kosong. Hanya ada sisa perabotan tua dan sebuah koyo! Astaga! Itukah kenang-kenangan yang mereka tinggalkan untuk kami?

Aku tertawa sampai rasanya begitu lelah. Aku singgah di sebuah dahan pohon dan memandangi sawah yang luas. Padi-padi tumbuh subur dan bulan terang benderang di atas lahan itu. Angin malam berembus dingin. Tiba-tiba saja aku merasa amat sedih. Kesepian. Sebab tidak ada lagi orang yang tersisa di rumah itu selain aku dan Ayah. Aku pun bertanya-tanya kenapa bisa semua orang mati begitu cepat. Kakek, Nenek, ibuku, om-om dan bibiku .... Bahkan sejauh mata memandang, kawasan ini sangat lengang. Tidak ada apa pun kecuali sawah dan sebuah rumah besar yang tegak sendirian.

Rumahku.

Aku menggigil sebelum seseorang duduk di sampingku. Itu Ibu. Dia memberiku selimut. Kemudian ada om-omku yang bergelantung dari satu dahan ke dahan lain seperti pemain sirkus sementara para sepupuku berlarian di bawah. Nenek dan Kakek duduk di puncak pohon, berangkulan memandang langit. Bibiku bersandar di bonggol yang lebih besar sambil membaca buku.

Kemudian kulihat dari sepanjang luar jendela rumahku. Seorang pria berjalan terhuyung-huyung bagai separuh sadar. Dia mendekati kasurku. Dia mengangkat pisau dan menghujamkannya tepat ke jantungku. Aku meringis ngilu dan melesak ke dalam pelukan Ibu. Dia membelai kepalaku dengan lembut. Kami semua menonton rumah itu dari pohon ini. Menonton ayahku yang masih berjalan sempoyongan ke arah kasurnya sebelum merebahkan diri.

Kembali tidur dalam mimpi yang bisa dia kendalikan.

***

DWC Juni 2 23
"cerita dengan tema lucid dream"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang