What a Perfect Life to Be

36 10 0
                                    

Hidupku sempurna: paling sempurna sedunia. Setidaknya begitulah yang kutahu.

February 2020

+++

Terlalu bahagia untuk dikatakan bahwa menyapa hari baru adalah hal favoritku ketika bangun tidur. Kurasakan dinginnya AC telah merayapi kakiku. Aku berguling ke dalam selimut, bergemul dengan setengah sadar ketika jam beker tahu-tahu berbunyi. Masih memejamkan mata, kuraba-raba puncak nakas dan mematikan alarm. Sekali lagi aku menyusup ke balik selimut dan meringkuk. Aku ingin selamanya begini saja.

Tapi, tidak. Ada hari bagus yang menunggu.

Sedikit meregangkan tubuh di atas kasur super empuk yang sangat manja ini. Dasar manja! Aku beranjak dari sana untuk memakai sendal berbulu lembut menuju jendela panjang di dekat meja belajar. Gorden tebal beledu merah kusibak sehingga sinar matahari lembut dan malu-malu terkias di kaca.

Aku tersenyum. "Selamat pagi."

+++

Perutku juga manja. Dia pasti merengek setiap awal pagi dan memaksaku pergi ke dapur. Tidak, tidak. Bukan untuk memasak. Aroma gurih dan sedap yang merebak dari sana membuat perutku semakin bergejolak karena Mama sedang asik membalik telur mata sapi dan daging asap, meletakkannya di dalam roti gandum. Dia ibu rumah tangga. Dia punya banyak waktu luang untuk menjadi koki tiada tara.

"Pagi, Ma," sapaku ketika duduk di kursi putar tinggi. Dapur dan meja makan di rumahku berdesain bar klasik yang tak pernah menjemukan. Kupandangi masakan Mama yang tersaji di atas meja makan. Ah, selalu membuatku tergiur dan semakin kelaparan.

Ada kentang panggang bersaus mayonais, makaroni dan keju dengan asap yang masih mengepul, panekuk disiram sirup mapel dan roti bakar—baru saja lompat dari tempat pemanggang. Semua masih sangat hangat! Tiga pilihan minuman di dalam poci porselen: susu sapi, teh hijau dan kopi. Di depannya ada sekotak krimer dan gula serta cangkir-cangkir bening ukuran mungil yang berukiran cantik. Oh, juga buah-buahan segar! Baru dipetik dari kebun di bukit belakang.

"Pagi, Sayang." Mama memusut rambutku. "Makanlah, Mama akan panggil Papa dan Mike."

"My pleasure," gurauku. Kuraih remot dan menyalakan televisi ramping berlayar lebar yang menayangkan siaran favoritku. Ah ... sekarang saatnya menyantap hidangan dari surga ini.

Papa dan Mike segera bergabung tak lama setelah itu. Mike masih mengucek-ngucek mata sambil mengigaukan permainan caturnya. Papa sendiri ternyata sudah siap dengan kemeja kantor dan sangat rapi. Kami sarapan sambil mengobrol santai sebelum aku selesai dan pamit ke kamar.

Baiklah, perut yang manja, kini kau sudah kenyang dan energi meningkat penuh.

Aku memasuki kamar mandi pribadiku di ruang tidur. Kamar mandi terbersih, terharum dan terelit, didominasi keramik biru koral jernih dan terakota cerah. Kutatap diriku lekat-lekat di cermin wastafel. Tinggi menanggung, berkulit putih dengan rambut ikal mahoni yang tergerai mulus sesiku. Alis tegas, iris mata hijau zamrud cemerlang dan bibir kemerahmudaan.

"Dari negeri mana putri ini berasal? Dari mana?" gumamku sebelum tertawa.

+++

Setelah mengantar Mike ke sekolah dasar, sedan Papa melaju menuju sekolahku.

"Sampai nanti," ucapnya saat mengelus kepalaku.

"Sampai nanti," balasku sebelum keluar dari mobil dan memasuki gerbang.

"Hai!" sapa seseorang yang menepuk pundakku dengan menggebu-gebu. Carry sumringah. "Bagaimana pertandingan kemarin?"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang