We Died, We Lived

18 6 0
                                    

Man pada mulanya tidak tahu bahwa ia akan menjadi manusia terakhir, tapi ia tak sengaja mendengar percakapan langit. Malaikat-malaikat yang menyamar lewat di depan kebun saat ia bekerja sambil berbicara. Kata salah satu dari mereka, akan tiba suara yang memekakkan telinga sebentar lagi. Kemudian, mereka hilang.

Man kebingungan. Dia memang tinggal di pelosok yang jauh dari peradaban. Apakah ia amat ketinggalan berita? Dilihatnya sebagian langit yang entah di atas tanah mana memerah, terbelah seolah runtuh. Ada banyak bintang jatuh--atau sebenarnya pesawat? Satelit? Perumahan galaksi? Entah.

Ada banyak keanehan. Dunia selalu aneh. Man terus melanjutkan pekerjaannya walaupun percakapan dua malaikat penyamar itu masih dia ingat. Seseorang akan tersisa setelah kiamat. Tuhan berjanji akan mematikannya juga pada waktu yang tepat.

Ya, Man tahu dia manusia itu. Tapi, mengapa janji Tuhan tak kunjung terwujud? Kapan ia mati? Man terus bekerja seperti biasa sejak pagi hingga sore. Duduk di teras depan untuk minum cokelat malam, lalu tidur. 

Memang jarang ada pengunjung--tapi itu jarang. Bukan tidak ada. Belakangan ini sungguh tidak ada seolah para pengunjung, mitra berjualan atau orang-orang itu lenyap. Tak berjejak. 

"Andaikan ada teropong," pikir Man. Dia mulai tergerak untuk melihat dunia yang tak jelas ini. Yang ingin menyehatkan bumi mereka dengan asap dan sampah. Yang ingin mendidik generasi mereka dengan foya-foya dan tradisi pemalas. Yang terus berkendara di atas jalanan panjang--tak peduli jika itu berlubang atau punya jurang. Jalan. Pokoknya jalan.

Benar, kan? Sekarang jalanan itu punya akhir. Dia bukan seperti gang buntu. Masih ada jalanan lain--yang barangkali lebih panjang--setelah jalan itu. Man, dia tahu. Lagi-lagi mencuri dengar percakapan dua malaikat penyamar.

Kali ini, mereka tampak jelas. Tak lagi menyamar. Mereka pikir kondisi telah aman karena seluruh umat manusia lepas dari raga. Sebentar lagi giliran kita, kata salah satunya. Tolong jangan lupakan aku, aku yang punya sayap seperti ini. Malaikat yang lain menyahut.

Akhirnya, Man loncat dari bangku. Dia agak tua, tapi tidak terlalu sampai harus berhati-hati dengan tulang belakang. Tak apa. Dia sehat. Dia datang kepada mereka untuk bertanya, "Wahai! Apakah kalian tahu sesuatu tentang dunia luar?"

Kedua malaikat itu terbelalak. Salah satunya mengecek jam milik dunia langit. "Benar ini bulan Januari tahun 2301?"

"Benar," jawab lainnya.

"Seharusnya tak ada lagi manusia."

"Benar."

"Jadi aku tak boleh ada?" tanya Man. "Tidak apa-apa juga, toh tak ada bedanya menyingkirkan satu manusia di antara miliyaran yang harus diadili."

"Ada dan sangat berpengaruh," kata malaikat 1, menoleh pada temannya. "Kita harus laporkan sebelum--"

Bunyi keras entah dari mana menggelegar. Ketika itu pula kedua malaikat melayang dengan anggun sementara mata mereka tertutup. Man menyaksikan pelepasan jiwa yang begitu agung, tapi itulah yang aneh. Bagaimana mungkin dia menyaksikan?

Man bertekuk lutut di sebelah jasad para malaikat. Ada perasaan ngeri yang hinggap dalam sudut kecil hatinya. Ya Tuhan. Ya Tuhan, mohon panggil Hamda saat ini juga.

Dia tahu, dia belum pantas untuk menginjakkan kaki di langit apa lagi mendengar atau melihat Tuhan. Tapi sungguh, ia seperti tak lagi tahan menyaksikan. Maka, setelah ia berdoa dengan amat khusyuk tidak seperti hari-hari sebelumnya, Tuhan mengabulkan.

"Masuklah kalian semua," kata sebuah suara entah dari mana. "Kalian, para manusia terakhir yang berhak melihat segalanya ...."

[]

6/2/22
Buat cerita dengan setting tahun 2301.

Airu pusing dan ngantuk, akhir sekolah seperti garis kematian.

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang