Tornado Lumpur

17 4 1
                                    

"Itu karena sahabatnya bodoh tulen. Makanya dia pun menolak pintar. Di dunia ini pergaulan memang krusial, Kar. Sama siapa kamu berteman bakal menentukan sebagian besar motif kamu dalam bertindak."

"Kamu mulai kedengaran sok dewasa kayak Alkena."

"Masa?" El tertawa getir. "Mungkin aku dewasa benaran meskipun aku belum pernah nonton sesuatu untuk anak tujuh belas tahun ke atas. Maksudku, aku cuma enggak tertarik. Kamu paham kan betapa aku lebih tergila-gila sama awan, tornado, dan lumpur?"

"Aku paham bahwa kamu aneh."

"Aku enggak paham kenapa betah jadi kawanmu selama ini."

El mengakhiri perbincangan kami saat pengumuman robot terdengar dari pengeras suara di luar gedung studi. Pukul delapan. Ruang X-CV aktif. Silakan masuk. Para pelajar kelas dua berbondong mengantre di depan pintu ganda, bergantian menggesek kartu pengenal di mesin pemindai. Alasan aku sampai berada pada barisan paling belakang pertama sebelum El adalah: aku kesusahan mengikat tali sepatu. Bukan salahku. Habisnya aku dilarang keluar selama masa penyebaran virus jambu dan tidak pernah lagi pakai sepatu selama hampir setahun. Ayolah, jangan kaget begitu. Di rumahku ada segalanya.

"Lekas cari tempat duduk," tukas Alkena dingin. Asisten guru kami itu mengetik namaku di layar hologram biru. "Soalnya Head Mistress sedang terkendala di Prospek Satu, bakal terlambat satu menit dari sekarang. Keberuntungan hari pertama, ya, Tuan Kar?"

"Halo, Tukang Kaku."

"Bilang terima kasih juga boleh."

"Aku pelit berterima kasih."

"Semoga harimu menyenangkan."

Aku pergi melewati lorong penetralisasi. Semburan udara pembersih menyemprotku dari segala arah, kemudian aku mengambil sarung tangan lateks dan menaikkan masker transparan. Saat pintu terbuka, aku bergegas menuju kursi besi yang tersisa dan menghindari tatapan orang-orang.

"Kukira kamu sudah mati," bisik El.

Aku meringis. Semua kursi disusun melingkar. Aku menjadi pusat perhatian berkat El dan suara bisikannya yang menggema di seluruh ruangan.

"Ketangkap lu?" tanya anak di sebelahku yang membuat anak-anak lain langsung terbeliak dan waspada. Mereka takut pada hukuman Head Mistress.

Aku mengangkat tangan, tanda agar tak perlu risau. "Enggak. Dia juga terlambat."

"Oh, maaf karena terlambat." Suara melengking seorang wanita di ambang pintu mengejutkan semua anak. "Tuan Kar, mungkin sebenarnya kita sama, ya?"

Aku menelan ludah dan mengamati langkah beratnya yang menuju ke tengah lingkaran. Head Mistress melipat tangan ke belakang tubuhnya yang berpostur tegap, kepalanya lurus menatapku dan rambutnya yang tersanggul rapi mengilat seperti ban mobil. Dia mengeluarkan arloji dari saku rok spannya.

"Pukul delapan setengah lewat satu menit. Kita mulai pembelajaran di pagi yang agak mabuk ini."

***

"Kamu jangan terlalu santai, deh," kata El dari layar hologram gadgetku di atas kasur. "Head Mistress bukan guru sembarangan. Kalau kamu kebiasaan telat, nanti ...."

"Apa?"

"Enggak tahu, sih. Itu masalahnya. Ketakutan terbesar kita kan berasal dari ketidaktahuan."

"Mulai lagi. Kamu INFJ, ya?"

"Aku bahkan enggak tahu apa maksudnya itu."

"El, dengar. Kamu aja yang terlalu gugup." Aku memutar bola mata sebelum menerapkan Kombo Super Sonik di VR Bagamon Hunters. "Ini baru jam delapan kurang lima menit."

"Aku sudah peringatkan kamu." El menghela napas. "Aku enggak tanggung jawab, ya. Dah."

Telepon hologram terputus.

Aku menaikkan kacamata VR dan menoleh ke belakang. El benar-benar sudah mematikan gadgetnya. Dia offline. Aku membereskan peralatan gim dan berbaring di atas kasur, membuka gadgetku. Kembali membaca aturan Sekolah Khusus Era Virus Jambu hingga terlelap. Melupakan segalanya.

***

"Kar! Kar!"

Aku tersentak bangun saat wajahku disiram air hologram dingin. Rasanya begitu nyata! Alkena yang kalut mengernyitkan keningnya dan bersedekap. "Lihat sudah jam berapa! Kamu dalam masalah besar, Pria Muda."

Mataku melotot pada jam digital di dinding yang menunjukkan pukul sepuluh. "Wow. Itu angka yang lumayan."

"Sudah kubilang kemarin cuma keberuntungan hari pertama! Keberuntunganmu mana ada."

"Bukan, bukan itu," aku turun dari kasur, "sejak kapan kamu masuk ke kamarku? Apakah karena virus jambu, orang-orang enggak cuma meninggalkan aktivitas luar rumah, tapi juga adab bertamu?"

"Kamu bisa berterima kasih nanti. Dan mungkin bakal merenungi tidurmu yang kayak orang mati," tukas Alkena. "Sekarang cepat masuk kelas!"

"Oke, tapi bisa enggak kamu keluar? Atau kamu mau lihat otot enam paketku waktu aku ganti baju?"

"Aku lebih bisa menahan muntah kalau melihat tornado lumpur daripada itu," katanya datar. Dia menekan pin di atas seragam dan menghilang dalam partikel program. Berteleportasi.

Aku bersiap dan segera pergi ke gedung studi. Jam berapa tadi? Hm ... sepuluh ... mungkin sudah lewat. Yah. Apa pun risikonya akan tetap kuterima. Aku kan bukan pengecut. Setelah melewati serangkaian proses penetralan, aku tiba di depan pintu ruang X-CV yang terbuka lebar. Tampak seisi kelas dalam ketegangan. Tatapan tajam Head Mistress menusukku.

"Tuan Kar. Keterlambatanmu tidak bisa ditoleransi. Sekarang kamu akan dihukum bersama teman-temanmu agar kalian sepantar."

Aku terkejut. Tidak. Ini namanya bukan risiko yang heroik. Ini ketololan sejati. Sejak kapan hukuman satu siswa diderakan kepada seluruhnya? Kebersamaan? Keadilan? Ini omong kosong. Namun, teman-temanku tidak peduli dengan ketidaklogisan sistem itu. Mereka lebih ketakutan.

Takut sekali.

Bahkan saat El melirikku diam-diam, wajahnya sudah sepucat pualam. Seperti mayat. Dia pernah bilang bahwa ketakutan terbesar datangnya dari ketidaktahuan, dan hal yang membuat mereka semua takut adalah: mereka tidak tahu jenis hukuman Head Mistress.

***

"Ya Tuhan, aku sudah capek sekali dengan virus ini. Kapan sih para profesor itu menyelesaikan vaksinnya?"

"Sebentar lagi."

"Tapi kenapa lama banget?"

"Soalnya butuh banyak imun dari anak-anak muda. Asal kamu tahu, mereka enggak bisa langsung disuntik begitu saja. Mereka harus dijinakkan."

"Terus buat apa sih kita menjaga kotak kaca raksasa yang isinya tornado lumpur ini?"

Alkena tersenyum. "Soalnya, ini anak-anak."

Yang sudah kami kumpulkan.

***

DWC Juni 13 23
Airu

"awali cerita dengan kalimat terakhir dari cerita hari ke-6"

[imspirasi ide pada 12/11/21 dengan sedikit improvisasi]

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang