Pamanku Seorang Penenun

13 3 0
                                    

"Henry!"

Mme. Sarah melambaikan tangannya padaku dari balik pagar. Dia menyeka keringat dengan lengan overallnya yang disingkap sampai siku. Aku bergegas menghampiri wanita paruh baya yang sedang memberi makan kuda-kuda itu.

"Cepat ambilkan jerami lagi dan urus ayam-ayamnya. Mana topimu?"

Aku meraba-raba rambutku yang terpapar sinar matahari pagi dan tersentak. "Tertinggal, Mam."

"Kau tahu harus apa."

"Setelah saya ambilkan jeraminya."

Mme. Sarah tersenyum sebelum aku beranjak ke lumbung. Bangunan kayu itu sudah sangat tua tetapi masih awet. Sejak aku bekerja di sini beberapa tahun lalu, saat berusia tujuh tahun, lumbung itu tak pernah berubah. Hanya sekali-dua kali aku dan Mme. Sarah mengecatnya dengan warna yang sama. Dia senang dengan hal-hal monoton yang sudah membuatnya nyaman dan terbiasa. Dia tidak suka perubahan terutama perubahan mendadak berskala besar.

Aku mengantarkan setumpuk jerami ke depan Mme. Sarah yang sedang mengelus kuda-kudanya sambil bersiul. Kemudian, aku pergi ke kawasan kandang di dekat sumur dan mengurus para ayam. Setelah bekerja, aku beristirahat di bawah pohon ek yang lebat daunnya. Angin sejuk menerpaku. Aku selalu suka bekerja di peternakan kecil Mme. Sarah. Aku selalu melewati jalan setapak sederhana yang diapit lahan hijau luas hingga ke ujung pandang. Ada pohon-pohon, dan hewan-hewan yang ramai, dan lumbung kokoh, dan rumah bersahaja milik Mme. Sarah yang aku suka atapnya.

Hal lain yang aku senangi adalah karena tempat ini dekat dengan rumah pamanku. Seusai aku bekerja, aku akan pamit pada Mme. Sarah dan berlari riang ke pondok yang tak jauh dari sana. Aku mengetuk pintu dengan bersemangat sampai seorang pria berjanggut membukakannya. Dia akan bilang, "Apa lagi yang kau cari? Kukis cokelat atau pai?"

Dan aku hanya memasang cengiran lucu, lalu masuk ke dalam.

Pamanku punya ruang bekerja yang nyaman dan selalu berbau kain. Aku suka bau-bau kain baru, seperti toko di kota besar. Dia tekun menenun dan menerima banyak pesanan. Waktu aku tanya kenapa ia mau melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan perempuan, dia bilang, sahabatnya melakukan yang sama.

"Orang itu bukan orang kaya, Henry, ia bahkan tidak sekolah. Dia menenun saja sepanjang hari. Tapi, dari hobi itulah dia menciptakan alat tenun baru yang lebih canggih. Ada delapan spindel! Di situlah dia memulai produksi mesinnya. Seperti kebanyakan orang-orang besar di Eropa. Seperti Arkwright."

"Jadi, Paman juga ingin menciptakan alat tenun baru."

"Tidak, tentu saja. Aku tidak pandai seperti mereka. Aku melakukan ini untuk menghormati kerja kerasnya."

"Apakah tidak ada orang yang memakai mesin buatan sahabat Paman?"

"Ada, tentu saja."

"Jadi, Paman tidak perlu memakainya juga tidak apa-apa?"

Pamanku terdiam. Jemarinya berhenti memutar benang. Aku masih duduk di bangku sebelahnya sambil mengayun-ayunkan kaki, menunggu jawabannya.

"Henry." Ia tiba-tiba memanggilku. "Kau mau berziarah ke makam ayahmu?"

***

DWC Juni 28 23
Airu

"buat cerita dengan latar revolusi Industri di Inggris"

Sweet Macabre [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang