Bab 10

16.9K 433 1
                                    

Aku menghabiskan waktuku di tempat tidur. Obat dari dokter tidak membantu mengatasi mimpi-mimpi itu. Efek sampingnya membuatku terlalu lelah bahkan hanya untuk makan.

Kucoba meyakinkan diriku bahwa aku bukan anak kecil lagi yang harus takut dengan pedofil gila itu. Tapi saat aku tertidur, tatapan mata yang terekam di ingatanku, terus berulang menghantuiku. Aku sungguh tidak tahu kapan mimpi gila itu akan berhenti.

"El." Kak Sam muncul membawa sebuah nampan. "Sarapan, yuk. Kakak suapin." Kak Sam membantuku duduk.

"Kak Sam nggak kerja?" tanyaku.

"Bagaimana Kakak bisa kerja kalau adik kesayangan Kakak nggak mau makan begini? Sekarang, nggak usah mikirin kerjaan Kakak. Coba buka mulutnya. Aaa." Kak Sam menyuapkan sesendok nasi uduk ke mulutku.

Kak Sam adalah kakak tertuaku. Sejak kecil dia selalu memanjakanku, terutama setelah peristiwa traumatis itu. Dia merasa bersalah tidak menjagaku dengan baik saat aku diculik. Aku yang selamat saat itu, menjadi takut dengan semua keberadaan laki-laki di dekatku. Tapi, Kak Sam tidak pantang menyerah untuk merawatku, hingga tanpa sadar aku menusuknya dengan pisau. Tidak seperti Bian, aku menusuk Kak Sam di perutnya dan membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit.

"Jadi, siapa pria yang kemarin itu?" tanya Kak Sam sambil masih menyuapkan makanan ke mulutku. "Pacarmu?"

"Atasan di tempat kerja. Aku mengajukan pengunduran diri karena harus terapi, tapi dia menolaknya."

Kak Sam menatapku tidak percaya. "Kakak tahu kamu sudah dewasa untuk melakukannya." Dia melirik ke arah leherku. "Tapi, bukankah tidak etis atasan tidur dengan bawahannya?"

Aku menyadari tatapan Kak Sam. Cepat-cepat kututup bekas kiss mark di leherku. "Aku tidak punya hubungan apapun dengannya."

"Lalu, disebut hubungan seperti apa dimana atasan mengantarkan bawahannya pulang?" Interogasi Kak Sam masih berlanjut.

"Dia teman Kak Rio," kataku lirih.

"Jadi, kamu pacaran dengan teman Rio yang juga atasanmu?"

"Nggak, Kak! Aku nggak pacaran sama dia."

Kak Sam mengedikkan bahu. "Aku akan cari tahu sendiri kalau kamu nggak mau cerita."

"Kak!" rengekku.

"Kenapa? Ada yang dirahasiakan dari Kakak?" Kak Sam tampak lebih curiga.

Aku menghela napas panjang. "Saat kambuh, aku nggak sengaja menusuknya. Jadi, kumohon jangan terlalu keras padanya. Ya?"

Dahi Kak Sam mengerut. "Kamu pasti nggak bakalan cerita kalau nggak dipaksa begini. Lalu, bagaimana keadaannya saat itu?"

"Kurasa dia menahan tanganku. Jadi, sepertinya hanya luka kecil." Aku mencoba mengingatnya. Aku juga tidak melihat luka itu saat bertemu dengannya kemarin. "Entahlah, Kak."

Kak Sam menepuk kepalaku lembut. "Ya, sudah. Yang penting sekarang kamu harus makan." Sesendok nasi kembali melayang masuk ke mulutku. "Kita akan bahas lagi nanti."

***

Aku sudah muak dengan mimpi-mimpi itu. Aku juga mulai muak dengan semua terapi dan pengobatan yang kulakukan karena semua delusi sialan itu. Ini tidak akan berhasil. Tidak ada perubahan apapun yang dilakukan obat-obatan itu. Itu hanya akan mencegahku melukai diriku sendiri dan orang lain, tapi tidak dengan kehidupanku. Kehidupanku tetap saja terpuruk. Terbaring di atas kasur, kelelahan, dan kembali ke dalam mimpi itu lagi.

Kutelepon Mika. Nada dering dengan cepat berganti menjadi suara Mika yang menyapaku hangat. "Say, aku kangen banget sama kamu," rengek Mika di seberang telepon. "Udah lama banget kita nggak cari gebetan? Jalan yuk!"

Mika tidak pernah mengetahui tentang kondisiku yang sekarang. Dia hanya tahu bahwa aku pernah mengalami kesulitan dan terkadang dia mengantarku untuk sesi terapi beberapa kali.

"Yuk! Malam ini, ya! Kita ketemuan di kafe kayak biasa, ya?" Aku tidak akan mengacuhkan obat-obatan itu malam ini. Aku akan melupakan semua delusi itu dengan caraku sendiri. Malam ini, aku hanya perlu rencana untuk bisa pergi dari rumah tanpa ketahuan.

Aku segera berlari ke arah lemari pakaian. Aku mengambil sebuah mini dress berwarna abu dengan detail emas. Kukenakan gaun itu dan menatap diriku di sebuah cermin besar. Tubuhku terlihat lebih kurus dan wajahku menjadi sangat tirus. Kuharap para pria tidak akan kabur melihat sosokku yang seperti ini.

Dress yang kupakai memiliki potongan leher V rendah hingga ke perut. Bagian punggungnya backless. Tentu saja, aku tidak akan memakai bra. Aku hanya akan memakai sebuah celana dalam renda berwarna hitam. Heels dengan warna senada pun kupilih, tapi tidak akan kupakai hingga posisiku benar-benar aman. Tidak lupa sebuah clutch berisi dompet dan ponselku.

Dulu, beberapa kali aku berhasil menyelinap keluar. Aku pasti bisa melakukannya lagi. Tidak sesulit itu untuk turun dari balkon lantai dua. Beberapa bagian rumah, membantuku turun dengan selamat hingga kaki telanjangku menapak rumput di taman depan rumah.

Aku mengendap-endap melewati kamar Kak Sam yang lampunya masih menyala. Kuduga dia sedang lembur malam ini. Beruntung, pagar rumah belum dikunci oleh Bibi Zainab, ART rumah ini. Aku segera berlari dengan menenteng heels ke arah luar kompleks. Bahkan satpam kompleks sedang tidak ada di tempat saat aku melewatinya.

Kurogoh tasku dan mengambil ponsel, aku memesan taksi online. Segera aku memasang heels-ku dan menunggu hingga sebuah mobil sport berhenti di depanku. "Mbak Ellen?" Seorang pria muncul dari jendela mobil tersebut. "Taksi online?"

Aku mengerjapkan mata. Ini? Taksi online? Aku kembali menatap mobil sport berwarna merah itu. "Serius?"

"Iya." Dia menunjukkan layar ponselnya.

"So, aku harus duduk di sampingmu?"

Pria itu mengangguk. "Nggak masalah kan?"

Aku mengedikkan bahu dan berjalan memutari mobil. Kubuka pintu mobil merah itu dan duduk manis di dalamnya. Tiba-tiba pria di sampingku menarik sabuk pengamanku dan memasangkannya. Aku terkejut melihat wajah pria itu hanya berjarak sejengkal dari wajahku. "Terima kasih."

"Jadi, ada acara apa seorang wanita malam-malam berpakaian seksi?" Sang supir membuka pembicaraan sesaat setelah melajukan mobilnya di jalan.

"Cuma acara kumpul-kumpul," jawabku asal, tidak ingin memperpanjang pembicaraan.

Pria itu tertawa. "Apakah orang tuamu mempercayainya?"

Aku hanya diam dan mengabaikannya. Aku merasa tidak perlu meladeninya karena kuyakin ini pertemuan pertama dan terakhir kami. Hanya perlu sekitar sepuluh menit hingga mobil berhenti di depan sebuah kafe. Aku langsung melepaskan sabuk pengaman. "Tadi sudah kutransfer, ya. Thanks." Aku turun dan berlalu begitu saja memasuki area kafe tanpa melihat reaksi sang supir.

Mika melambai ke arahku saat melihatku berdiri di ambang pintu. Dia bersiul dan tertawa cukup nyaring melihatku yang berjalan ke arahnya. "Berani sekali malam ini, Nona," godanya, membuat mata semua orang di sekitar kami menatap ke arahku. "Kamu diet?"

"Nggak. Aku nggak diet." Aku duduk di samping Mika dan menyeruput es kopi miliknya.

"Tapi, tubuhmu jadi tambah kurus. Please, deh, kamu tuh mau secantik apa sih? Dengan tubuhmu yang dulu aja semua cowok langsung bertekuk lutut. Terus kamu mau nggaet siapa pakai diet-diet begini?" Mika menyentuh pinggangku. "Ampun, kapan badanku bisa kayak gini?"

Aku memutar bola mataku. "Ini akibat depresi, tahu? Kamu kalau mau kayak begini, coba cari cara biar depresi."

Mika tertawa. "Depresi apaan sih? Bukannya kamu bahagia sama gebetan yang terakhir kali? Si Bian itu."

"Aku lagi nggak mood bahas cowok itu. Ayo, kita pergi," kataku sambil menghabiskan es kopi Mika.

"Iya, iya. Nggak sabaran banget memang." Mika menggelengkan kepalanya.

Sex Games with A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang